Jakarta, CNN Indonesia -- 30 September dulu bagaikan malam ‘sakral.’ Semua harus berkumpul di rumah menonton film yang pasti diputar di jam yang sama:
Pengkhianatan G30S PKI.
Di tengah pelajaran sejarah anak-anak di sekolah, pasti ada sesi menonton di bioskop, menyaksikan Komandan Batalyon I Cakrabirawa Letkol Untung berkhianat dan berniat melakukan kudeta. Sasarannya membantai kejam tujuh jenderal.
Bertahun-tahun film itu diputar, sampai terpatri di benak setiap penontonnya. Hingga akhirnya ia tak diputar lagi karena dianggap merekayasa sejarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi tayangan yang memunculkan Soeharto sebagai ‘penyelamat’ itu sempat menorehkan sejarah di dunia perfilman Indonesia. Menurut data
Filmindonesia.or.id, Pengkhianatan G30S PKI merajai
box office pada masa itu.
Tercatat sejak 1973 hingga 1994, di Jakarta itu film terlaris yang ditonton di bioskop. Jumlah penontonnya mencapai hampir 700 ribu orang, angka yang bahkan sulit dicapai beberapa film Indonesia masa kini.
Jauh memang dari
Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! yang kini meraja dengan lebih dari enam juta penonton. Namun 700 ribu saat itu sudah luar biasa.
Film itu juga membawa pulang beberapa penghargaan. Pada 1984, Pengkhianatan G30S PKI merupakan film dengan Skenario Terbaik dalam Festival Film Indonesia. Piala Citra-nya saat itu diterima oleh Arifin C. Noer.
Di tahun yang sama, Pengkhianatan G30S PKI juga menjadi nomine—tapi tidak menang—untuk Film Cerita Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Tata Kamera Terbaik, Tata Musik Terbaik, dan Tata Artistik Terbaik.
Tahun berikutnya, film itu masih mengantongi piala dari ajang penghargaan yang sama. FFI 1985 mengganjarnya dengan Piala Antemas yang diberikana sebagai tanda pemenang Film Unggulan Terlaris 1984-1985.
Bertahun-tahun kemudian, terutama sejak reformasi digulirkan, membicarakan film itu seolah tabu. Namun ide yang disebarkan, bahwa PKI biang kerok pembunuhan tujuh jenderal dan hendak mengambil alih negara sehingga harus dimusuhi bahkan dibumihanguskan, masih terpatri sampai bertahun-tahun.
Lalu dunia perfilman seakan ‘bungkam’ soal isu nan sensitif itu. Tidak ada film yang berani menyinggungnya kembali. Kalau pun ada, sangat tersirat atau porsinya begitu samar.Seakan tak berani dijadikan isu utama film itu.
Gie misalnya, yang dirilis 2005 dan dibintangi Nicholas Saputra. Film Riri Riza dan Mira Lesmana itu berfokus pada sosok Soe Hok Gie sendiri, dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Salah satu latarnya, peristiwa 1965.
Latar yang sama digunakan
Sang Penari, yang memang mengadaptasi novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sesuai novelnya, itu tentang penari ronggeng yang terseret komunisme hanya karena sering tampil mengibur mereka.
Tapi alih-alih mengulik 1965 sebagai tema utama, film itu lebih mengedepankan cerita percintaan Srintil (Prisia Nasution) dan Rasus (Oka Antara).
Lentera Merah, film tentang pers kampus, juga sedikit menyinggung peristiwa 1965. Film yang dibintangi Laudya Cynthia Bella itu lebih mengusung tema horor, tentang hantu yang kembali ke masa kini sebagai mahasiswa baru.
Berhasil memikat hati sang pemimpin redaksi, gadis cantik bernama Risa itu ternyata jelmaan dari perempuan yang pernah dikurung sampai mati di dalam markas persma Lentera Merah lantaran dianggap penganut komunis.
Film pertama yang akhirnya membongkar paradigma PKI yang selama ini takut-takut dibahas itu adalah
The Act of Killing. Garapan sutradara Amerika Joshua Oppenheimer.
Jagal, versi bahasa Indonesia film yang mengejutkan itu.
Bukan hanya menyentak bangsa Indonesia sendiri, film itu juga membuka mata dunia akan genosida bak perlakuan Hitler terhadap Yahudi, di Indonesia.
Oppenheimer seolah memutarbalikkan dogma yang selama ini coba diterapkan selama bertahun-tahun melalui Pengkhianatan G30S PKI. Alih-alih menyebutkan bahwa PKI adalah musuh negara, ia justru menunjukkan betapa banyak orang tak berdosa terpaksa menjadi korban lantaran dicap komunis atau PKI.
Ia memakai kaca mata Anwar Kongo, calo bioskop di Medan. Mereka diminta tentara membantai jutaan orang yang disebut komunis, etnis Tionghoa, maupun kalangan intelektual yang diklaim ‘berbahaya’ bagi negara.
Dengan bangga Anwar dan kawan-kawannya melakukan itu. Kepada Oppenheimer, sambil tertawa-tawa ia mempraktekkan bagaimana caranya membantai mereka.
Ada yang dibunuh dengan cekikan kawat, yang dilakukan sembari mendengar lagu, mabuk dan berdansa. Ada yang lehernya digorok begitu saja.
Film itu seakan menceritakan apa yang selama ini tak terungkap. Peredarannya jelas kemudian dilarang. Pemutaran di mana-mana dibatalkan. Tapi Jagal masih bisa diunduh, ditonton di YouTube, bahkan diminta DVD-nya ke Oppenheimer.
Sementara di luar, film itu banyak mendapat pujian. Ia bahkan masuk nominasi Film Dokumenter Terbaik Academy Awards, meski kalah oleh
20 Feet from Stardom. BBC memasukkannya dalam 100 Film Dokumenter Terbaik Abad ke-21.
Masih banyak penghargaan lain yang diterima film itu.
Oppenheimer lalu merilis film ke-dua:
The Look of Silence.
Senyap, versi bahasa Indonesia-nya. Kali ini ia memakai kaca mata Adi Rukun, ahli kaca mata yang bertandang ke tetangga-tetangganya mencari tahu kematian kakaknya.
Sang kakak hilang akibat peristiwa 1965. Ia lalu mendapati fakta bahwa kakaknya tewas di tangan tetangga-tetangga, bahkan pamannya sendiri. Mereka yang tak sadar itu, baru merasa bersalah ketika Adi mendatanginya.
Lagi-lagi film itu menguak fakta yang mengejutkan, meski masyarakat dunia masih lebih terpana pada film pertama Oppenheimer, yang sejak membuat film tak lagi berani menginjakkan kaki di Indonesia.
“Saya sendiri tidak tahu apakah masih aman bagi saya untuk kembali ke Indonesia saat ini,” ujar Oppenheimer kepada
CNNIndonesia.com.
Oppenheimer lagi-lagi diundang ke Oscar berkat film ke-duanya tentang PKI. Pun demikian dengan Adi. Namun sayang, mereka tak sampai naik panggung utama.
Setelah dua film itu, Oppenheimer meneruskan proyeknya membuat karya lain. Masih berhubungan dengan sisi gelap manusia, tapi tak lagi tentang PKI.
Katanya, semua tentang Indonesia yang bisa ia angkat sudah dituangkan dalam
Jagal dan
Senyap. “Saya tidak berencana membuat
diptych (dua gambar yang bersisian)
The Act of Killing dan
The Look of Silence menjadi sebuah trilogi. Jika ada babak ke-tiga, dan babak ke-empat, dan babak-babak selanjutnya, maka babak itu adalah milik orang Indonesia,” tutur Oppenheimer mengungkapkan.
Dan Indonesia memang punya ‘babak’ baru, setidaknya soal perfilman dan PKI. Oppenheimer seolah membuka gerbang nyali orang Indonesia untuk berbincang tentang kekelaman yang terjadi di negaranya sendiri, bukan malah menutupi.
Sejak film yang diciptakan Oppenheimer untuk mencegah kekejaman terulang kembali itu, Indonesia punya beberapa film yang mengulik PKI. Visinema Pictures misalnya, mengeluarkan
Surat dari Praha, film tentang eksil 1965.
Ceritanya memang tentang kisah cinta, yang tersisa dari peristiwa itu. Tapi film yang akhirnya dijagokan Indonesia untuk maju ke ajang Film Berbahasa Asing Terbaik Academy Awards 2017 itu, juga membahas komunisme.
Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara, memasukkan dialog-dialog penekanan yang diucapkan Tyo Pakusadewo sebagai pemeran utama, bahwa terjebak di Praha dan tak punya kewarganegaraan seperti dirinya, bukan berarti komunis.
Memegang teguh mazhab yang dianut Soekarno, sosialis, atau ‘kiri’ seperti istilah yang beken belakangan ini, tidak berarti terlibat pembantaian enam jenderal yang mayatnya dibuang ke lubang buaya pada 30 September 1965.
Rahung Nasution memilih jalur dokumenter, tapi tidak seperti Oppenheimer. Ia ‘membuntuti’ pulangnya Hersri Setiawan, mantan tahanan politik 1965 ke Pulau Buru. Pulau itu pernah dijadikan tempat ‘pembuangan’ orang-orang yang dicap komunis, termasuk sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Judul film itu:
Pulau Buru Tanah Air Beta.
Tapi lagi-lagi beberapa kali pemutarannya dilarang. Di Jakarta, Yogyakarta, Semarang. “Bagi saya personal dan teman-teman yang memproduseri film ini, ingin melihat cerita tentang orang-orang yang coba dikalahkan,” kata Rahung saat diwawancara
CNNIndonesia.com. Tapi filmnya masih juga coba ‘dikalahkan.’
Ia tak sendiri. Diskusi dan festival ‘kiri,’ pemutaran
Jagal dan
Senyap di pekan literasi tingkat internasional, pun dibuat ‘porak-poranda.’
Di satu sisi negara ternyata masih takut akan kembalinya komunisme—penyitaan buku-buku yang dianggap ‘kiri,’ pelarangan tayang film-film yang membahas peristiwa 1965. Namun publik semakin berani bersuara, terutama lewat seni.
Oppenheimer, lewat
Jagal dan
Senyap, benar-benar mengantarkan Indonesia ke babak baru peristiwa 1965. Kalau orang asing saja berani membongkar dusta sejarah yang selama ini disuapkan orde, mengapa bangsa Indonesia tidak?
(rsa)