Jakarta, CNN Indonesia -- “Dalam kondisi saat ini, seni pertunjukan memang agak kurang menggairahkan, terutama jika dilihat dari dari segi jumlah dan perbincangan mengenai pertunjukan itu sendiri,” ujar Faiza Mardzoeki, pegiat teater dari Institut Ungu.
Namun, meski sulit dan sedikit, seni pertunjukan selalu ada, dan hidup. Para pekerja seni terutama sejumlah grup teater ada yang tetap bertahan membuat karya di atas panggung.
Sebut saja di antaranya, seperti Teater Garasi, Teater Kami, Main Teater, Teater Sakata Sumatra, Teater Satu Lampung, Mainteater Bandung dan produksi teater yang ia gawangi sendiri setiap tahun dari Institut Ungu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa juga terjadi di bidang tari dan musik. Beberapa grup kesenian ada yang masih bergerilya tetap terus berkarya.
“Hanya saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Persoalan seni pertunjukan adalah masalah yang kompleks,” ujarnya.
Bicara soal pertunjukan tidak lagi hanya membahas persoalan dari sisi jumlah pementasan dan kualitas, tapi juga adanya persoalan infrastruktur, gedung pertunjukan, pendanaan, kajian atau studi, hingga apresiasi penonton dan lainnya. Semua persoalan saling mempengaruhi.
“Kita juga masih sangat kurang dalam hal kajian dan kritik seni pertunjukan,” ujarnya.
Tulisan-tulisan ulasan seni di media misalnya, saat ini nyaris hanya berupa laporan atau sebatas liputan sebuah pertunjukan, bukan kajian atau kritik yang mendalam.
Sementara, ulasan ini menjadi penting agar para kreator bisa terus belajar, dan penonton juga mendapat pengetahuan, selain dari pertunjukan itu sendiri.
“Di sampingi itu, regenerasi juga selalu menjadi pertanyaan para pegiat seni pertunjukan,” tambahnya.
Lalu, bagaimana?
Faiza menilai, idealnya ada program yang menyeluruh. Kemudian, diikuti dengan dana yang tersedia secara terencana untuk mendukung dan mengembangkan seni pertunjukan dari pemerintah dan dunia pendidikan secara serius.
Dengan demikian, kata dia, apa yang sudah dilakukan para pekerja seni selama ini semakin kokoh, dan berkembang. Adanya kajian yang menyeluruh juga akan mampu melahirkan generasi-generasi seni pertunjukan baru.
Kendala pementasanFaiza Mardzoeki sudah bergelut di pertunjukan teater sejak 2002. Hingga kini, ia sudah memproduksi 12 judul pertunjukan teater, di antaranya merupakan karya drama yang ia tulis sekaligus sutradarai sendiri yakni
Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer.
Karya tersebut ia tulis berdasarkan riset hampir dua tahun dan melakukan banyak wawancara kepada para penyintas tahanan politik perempuan.
Lalu, ada juga beberapa karya adaptasi, antara lain
Nyai Ontosoroh berdasarkan novel
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer,
Rumah Boneka dan
Subversif karya terjemahan dan adaptasi dari Henrik Ibsen
A Doll’s House dan
An Enemy of The People.
“Mengusung sebuah pertunjukan akan selalu ada kesulitan, tapi saya anggap sebagai bagian dari proses yang harus dihadapi,” ujarnya bercerita.
Pertunjukan, kata dia, bukan hanya milik penulis naskah, sutradara atau produser, tetapi ada visi dan kemauan yang perlu dihayati bersama oleh semua yang terlibat.
“Proses bersama-sama inilah yang perlu dihadapi, disiasati, dan didiskusikan, hingga akhirnya menjadi karya bersama.”
Di samping berproses, kesulitan atau tantangan lain dalam menggelar sebuah pertunjukan adalah mendatangkan penonton.
Bagaimanapun, meski diakui bahwa seni pertunjukan teater bukan sebuah produksi seni yang mendatangkan sponsor produk yang membantu mempromosikan ke khalayak luas.
“Yang saya promosikan adalah gagasan yang sama sekali tidak menghibur, misalnya bicara soal ‘65’ atau kekerasan terhadap perempuan. Jadi bagaimana mau mempromosikan ini? Ini yang sangat menantang untuk dipikirkan,” ujarnya lugas.
Di luar itu, sebuah pertunjukan menjadi berat karena tidak sebanding antara persiapan dengan waktu pementasan.
Kadang, waktu pementasan tergolong terlalu pendek, misalnya hanya mampu menghadirkan pementasan selama tiga kali seminggu. Padahal untuk satu pementasan, proses persiapan memakan waktu hingga enam bulan, setahun atau bahkan ada yang sampai dua tahun.
Lamanya proses persiapan inilah yang kemudian membutuhkan dana besar. Dana ini juga tidak mudah didapatkan.
“Dana memang sangat penting, karena bagaimanapun gedung harus dibayar, ada biaya promosi, honorarium para pekerja, dan lainnya.”
Sementara, dunia teater sangat sulit mendapatkan dana, karena kerap dianggap bukan produk seni yang mendatangkan sponsor produk.
Minimnya dukungan pemerintah“Teater bukan produksi massal, karenanya sangat dibutuhkan dukungan program serius, dari dana pemerintah, dan dari keberpihakan mereka yang punya akses dana di dunia swasta,” kata Faiza.
Di Indonesia, program serius dari pemerintah untuk seni pertunjukan dinilai Faiza masih sangat kurang. Dukungan swasta juga sangat minim.
“Para seniman berjibaku sendiri-sendiri, baik dalam hal mencari dana maupun dalam soal menambah wawasan pengetahuannya, karena produksi buku dan pengetahuan seni di Indonesia juga masih sangat sedikit.”
Belum lagi, persoalan penonton atau apresiator seni yang saat ini masih jauh dari harapan, dan perlu waktu lama untuk membangunnya.
“Dan ruang yang sangat baik untuk membangun penonton menurut saya adalah dunia sekolah.”
Kalau sejak masa sekolah, sudah diperkenalkan dengan sastra, drama, dan karya-karya seni, maka ketika besar, generasi berikutnya sudah bisa membeli tiket sendiri. Mereka akan mencari dan haus, rindu menonton, serta mengapresiasi karya seni.
Generasi ini yang kemudian bisa memilah karya apa yang perlu tonton, karena ada pengetahuan bukan sekedar pakai trik marketing ala cara instan masa kini, seperti media social.
Dalam hal ini, pegiat teater kemudian juga dinilai perlu melakukan
roadshow ke sekolah-sekolah dan universitas, mendiskusikan, memperkenalkan karya yang akan digarap termasuk dikusi sastra secara umum.
(rah/rsa)