Jakarta, CNN Indonesia -- Set panggung tampak biasa saja dengan hanya berlatar hitam gelap dan lantai tanpa ornamen. Hanya ada beberapa kursi duduk mini berderet di bagian dalam panggung.
Pada 10 menit bagian pertama adalah pengenalan sosok Pangeran Dretarastra, Yudistira, Arjuna, Kunti, Dursasana, dan berikutnya anggota keluarga Pandawa dan Kurawa lainnya.
Di sebelah kiri panggung kemudian tampak layar yang menampilkan sederet teks, entah itu berisi narasi cerita atau terjemahan dari dialog yang disampaikan pemain yang kerap terdengar asing karena mencampurkan bahasa Jawa, Jepang, Tiongkok, dan Tagalog.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita lalu berpindah dari satu adegan ke adegan lainnya dengan pemain yang berganti kostum atau kadang mengenakan topeng yang silih berganti.
"Bisakah manusia hidup tanpa hasrat, nafsu dan gairah," tanya Yudistira pada penonton sesaat sebelum kemudian Perang Kurusetra pecah dan panggung yang tadinya sunyi menjadi lebih riuh.
Seperti diketahui, Perang Kurusetra adalah klimaks dan menjadi bagian penting dari kisah Mahabharata. Dikisahkan pangeran Dretarastra yang buta sejak lahir terpaksa menyerahkan tahta kerajaan Kuru kepada adiknya Pandu. Ketika Pandu wafat, Dretarastra menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan sampai putra sulung Pandu, Yudistira dewasa.
Putra Dretarastra (Kurawa) khususnya Duryudana, berambisi menguasai tahta Dinasti Kuru yang kemudian memicu perebutan kekuasaan antara lima putra Pandu (Pandawa) melawan seratus putra Dretarastra (Kurawa). Dalam perang yang berlangsung selama 18 hari ini, Pandawa dipimpin Yudistira, sementara Kurawa dipimpin Duryudana.
Perang yang Meriah Bayangan akan perang yang riuh dan situasi yang
chaos buyar begitu sutradara Hiroshi Koike asal Jepang membuatnya jadi lebih harmonis lewat gerak para pemain yang kompak, dan musik pengiring yang mengentak mengikuti irama.
Kisah epik
Mahabharata yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu (28/9), tersebut juga digubah sedemikian rupa. Penonton akan melihat kehadiran sosok Drupadi yang gelisah dan berbicara dalam bahasa Jepang.
Ada juga sosok Kunti yang resah dan menari mistis usai bercengkrama dalam bahasa Jawa versus Tagalog. Sementara sosok Arjuna tampil gagah dengan busur raksasanya bergerak ke sana ke mari sembari menunggang kuda.
Di separuh akhir pementasan, Perang Kurusetra yang riuh ditampilkan meriah dengan tarian yang kompak dan menguasai panggung. Musik mengentak mengisi ruang, begitu juga kaki-kaki yang turut berbunyi saat bersentuhan dengan lantai panggung. Semua berdentum harmonis.
Para pemain lalu menambah riuh lewat tepukan tangan seirama, serta teriakan-teriakan yang saling sahut menyahut.
Eksperimen Proyek AmbisiusKesan eksperimen sangat berasa dalam pementasan yang diusung Hiroshi lewat proyek ambisiusnya yang ia beri tajuk Hiroshi Koike Bridge Project (HKBP). Hiroshi membayangkan bahwa seni budaya dapat melintasi batas waktu dan negara, juga menjadi karya universal yang dapat dinikmati walau kemudian saling bercampur satu sama lain.
Beranjak dari pemikiran itu juga kemudian ia melibatkan sembilan pemain yang berasal dari latar belakang berbeda, dari empat negara, yakni Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Filipina. Masing-masing menyampaikan dialognya lewat bahasa masing-masing.
Para pemain tersebut yakni Gunawan Maryanto, Suryo Purnomo, Riyo Tulus Pernando, Sandhidea Cahyo Narpati, dan Wangi Indriya dari Indonesia. Empat lainnya yakni Carlon Matobato dari Filipina, Koyano Tetsuro dan Shirai Sachiko dari Jepang, dan Lee Swee Keong dari Malaysia.
Maka, di atas panggung, penonton akan mendapati Drupadi berdialog dalam bahasa Jepang, Arjuna dalam bahasa Indonesia, atau Yudistira dalam bahasa Jawa. Ada juga sosok Kresna dalam bahasa Tagalog, dan Duryudana dalam bahasa Tiongkok. Sekilas tampak janggal, akan tetapi di sinilah pesan yang ingin ditegaskan Hiroshi, lewat percampuran budaya.
Untuk menjembatani keragaman bahasa yang membuat penonton berjarak dengan pementasan, ia menyiapkan terjemahannya yang ditampilkan di layar. Akan tetapi, itu hanya sebagai medium saja, Hiroshi sebenarnya ingin memberikan suguhan cerita Mahabharata lebih fokus pada gerak dan musik.
Gerak tari yang dihadirkan para pemain diolah sedemikian rupa, dengan lagi-lagi, merupakan percampuran antara gerak tradisional dan kontemporer. Ada gerakan tari tradisi Jawa dan Bali bercampur dengan gerak tarian Jepang dan juga Filipina.
Entakan musik, juga secara bergantian menggabungkan musik dari instrumen tradisional seperti gamelan dengan musik elektronik. Jika diperhatikan dengan saksama, sutradara juga menyelipkan rap, saat para pemeran menyampaikan kisah cerita di beberapa bagian.
Kolaborasi antara komposer Kensuke Fuji dari Jepang dan Peni Candra Rini dari Indonesia dalam menghadirkan musik sebagai pengiring menjadikannya utuh dan kompak. Musik menjadi salah satu kekuatan pementasan ini yang membuat penonton turut larut dan menikmati jalannya pertunjukan.
Pengalaman Menonton Mahabharata Part 3 tidak hanya mengandalkan cerita yang disampaikan lewat beragam bahasa, tari dan musik. Jika cermat, ada penggunaan properti yang mengandung simbol-simbol lewat kain, kostum dan topeng yang dikenakan para pemeran.
 Hiroshi Koike Bridge Project mementaskan lakon teater bertajuk Mahabharata 3: Kurusetra War, di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki. Jakarta, Rabu 28 September 2016. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono. |
Sebagai penanda perang, sejumlah properti dihadirkan seperti bendera dari masing-masing pasukan. Ada enam bendera dengan logo berbeda. Ada tunggangan kuda dan gajah. Arjuna mengusung busur raksasa, sementara Pandawa dan Kurawa lainnya mengusung tombak atau gada.
Saat terjadi perang atau pertumpahan darah, sutradara mengusung kain panjang berwarna merah. Sementara, kain biru berfungsi sebagai simbol air atau laut yang bergemuruh. Permainan kain panjang merah dan biru ini di atas panggung memberi kesan tersendiri.
Lepas dari itu, kostum yang dirancang desainer Lulu Lutfi Labibi juga menyeruak mencuri perhatian. Lihat saja detail
layer,atau jubah yang dikenakan Pandawa. Pergantian kostum menjadi penanda pergantian karakter dan adegan.
Begitu juga dengan topeng-topeng. Meski ada beberapa topeng yang tampak familiar dan mungkin mengandung kisah sendiri, ada baiknya melepaskan diri dari kisah yang ada. Nikmati topeng sebagai pergantian adegan, dan nikmati pertunjukan secara keseluruhan.
Hingga di penghujung pementasan,
Mahabharata Part 3 yang disuguhkan Hiroshi bekerja sama dengan Yayasan Kelola dan Teater Garasi ini memberi kesan tersendiri karena sangat memanjakan mata dan juga telinga.
Saat beranjak pulang, ada senyum tersungging karenanya.
(rsa)