Jakarta, CNN Indonesia -- “Tamasya ke Antartika.”
“Jangan suka marah. Nanti marah suka sama kamu. Terus kalian jatuh cinta.”
“They don’t know that we know that they know we know.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah teks acak, kutipan, dan atau curhatan, -tanpa nama- itu muncul di tiga layar televisi yang disusun bertingkat di sudut Historia Kafe, Kota Tua, Jakarta, pada Sabtu (12/11).
Pengunjung yang memadati ruang kafe hanya bisa bertanya-tanya dan menebak-nebak dengan senyum tersungging, akan siapa berkirim pesan untuk siapa.
Di belakang televisi tersebut, tampak layar yang menampilkan gambar buoy yang mengambang di tengah laut, dengan cahaya yang berkedip-kedip.
“Buoy itu akan mengeluarkan cahaya dan kode morse, menerjemahkan teks yang sekarang ada di hadapan kamu,” ujar Ben Eaton, salah satu seniman dari grup Invisible Flock, asal Inggris.
Teks tanpa nama pengirim tersebut, kata Ben, dikirimkan oleh siapapun yang malam itu ada di sekitar Historia Kafe. Mereka berkirim pesan lewat sebuah nomor yang sudah ditentukan, yakni 0855-7467-9409.
Menurut dia, pesan mereka dapat dibaca di Kota Tua, diterjemahkan ke dalam kode morse lewat buoy yang ditempatkan di Ancol, dan tersampaikan juga di Liverpool, Inggris, tepatnya di Foundation for Art and Creative Technologi (FACT).
“Gagasan akan karya ini pernah kami tampilkan pada empat atau lima tahun lalu di Inggris, tapi saat itu hanya antar daerah di Inggris saja, kali ini kami membawanya lebih jauh, antara Jakarta-Inggris,” ujarnya.
Tiga layar televisi itu tampak kerap berganti pesan dengan cepat. Ada yang lucu, ada juga yang penuh emosi. Terkadang, ada juga yang sengaja mengajak teman di sebelahnya berdialog.
Semua berlomba mengungkapkan isi hati dan pikiran masing-masing, seperti menulis cuitan di twitter atau memberi caption di Instagram. Bedanya kali ini mereka mengirimkannya lewat pesan pendek.
Seni eksperimentalBen malam itu hadir bersama Victoria Pratt, minus Richard Warburton. Ketiganya merupakan grup seniman yang tinggal di Leeds, Inggris dan berkecimpung dalam dunia seni digital berskala besar menggunakan teknologi.
Kehadiran mereka di Jakarta merupakan bagian dari rangkaian UK/ID Festival 2016 yang diusung British Council, dengan membawakan karya seni instalasi yang diberi tajuk Someone Come Find Me- Remix.
Untuk karya eksperimennya kali ini, Ben bekerja sama dengan seniman kreatif teknologi Indonesia, bernama Miebi Sikoki. Persiapan akan kolaborasi ini sudah terjadi sebulan sebelumnya, ketika Sikoki berkunjung ke Inggris dan bertemu Invisible Flock.
“Karya ini terinspirasi dari tradisi lama ketika orang berkirim pesan dalam botol yang ditempatkan di laut,” ujar Ben berkisah.
Gagasan itu lalu dituangkan dengan menempatkan buoy, sebuah peralatan yang mengambang di laut, yang di dalamnya telah dipasang perlengkapan digital, serupa sejenis sim card. Buoy ini nantinya akan menerjemahkan pesan yang ia terima dengan memancarkan cahaya yang berkedip-kedip, dan merilis kode morse. Kenapa, morse?
“Karena morse adalah bahasa komunikasi tradisi lama yang dulu ada dan penting, tapi sekarang sudah hampir hilang, dan jarang digunakan,” ujar Ben beralasan.
Awalnya karya Invisible Flock berhenti sampai di sana, yakni mendorong orang untuk mengungkapkan isi pikirannya, apa saja, dari mulai curhatan, kutipan, sajak atau pesan perdamaian.
Namun, bersama Sikoki, karya itu lalu dieksplorasi lebih jauh, dengan turut ditampilkan di layar televisi dalam teks sebenarnya sehingga dapat dibaca dan dimengerti dengan mudah.
“Gagasan utama dari karya ini adalah bagaimana kita berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak hanya pada orang tertentu, tapi juga pada dunia,” ujarnya.
Orang-orang, kata dia, dapat berkirim pesan apa saja, bahkan mungkin semacam surat kaleng tanpa nama. Ini seperti berkirim pesan dalam botol yang menjadi tradisi zaman dulu, namun dalam konteks kekinian dengan teknologi digital.
“Saya pikir ini menyenangkan. Ini karya seni, yang mungkin ada yang beranggapan, tidak begitu berguna, tapi mendorong berpikir dengan cara berbeda. Berbagi pada dunia akan apa yang dipikirkan,” ungkapnya.
Grup seniman ini optimistis karyanya ini mendorong lahirnya bentuk komunikasi baru. Ketika orang-orang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya, tanpa takut atau khawatir akan dikritisi (karena bisa tanpa nama), dan sekaligus berdialog dengan publik yang jaraknya ribuan mil di Liverpool.
“Akan menjadi menarik, ketika pesan ini terhubung ke Inggris, dan orang di sana juga dapat berkirim pesan ke Jakarta,” ujarnya.
 Berupa buoy yang di dalamnya dilengkapi peralatan digital, karya seni instalasi ini mengajak publik untuk turut berpartisipasi dan seperti mengulang tradisi berkirim pesan dalam botol.(Foto: CNN Indonesia/Artho Viando) |
Mengajak publik terlibatSekilas karya seni instalasi ini tampak membingungkan karena tak biasa, dan rumit karena menggunakan teknologi digital yang menuntut waktu cukup lama sebelum dapat dicerna dengan baik.
Sederhananya, apa yang dihasilkan dari kolaborasi ini adalah sebuah karya seni instalasi dalam bentuk buoy yang ditempatkan di tengah laut, di Ancol dan keterhubungannya dengan sebuah alat yang ditempatkan di Historia Kafe, di Kota Tua.
Menikmati karya seni ini tidak hanya dari segi bentuk, tapi fungsinya. Berbeda dari karya seni biasa yang dinikmati lewat mata (melihat) atau telinga (mendengar), Someone Come Find Me mengajak publik untuk terlibat, dalam hal ini mengungkapkan isi pikiran dengan berkirim pesan.
Medium seni instalasi bikinan Invisible Flock dan Miebi Sikoki ini berlangsung di Historia Kafe, Kota Tua hingga 10 Desember 2016.
Karya ini juga menjadi satu dari sejumlah atraksi yang disuguhkan dalam program Digital Design Weekend yang berlangsung dua hari, 19 dan 20 November 2016, di Kota Tua, Jakarta, selain warung reparasi, pesta synthesizer, pojok kardus, gerobak bioskop, dan wayang virtual.