Jakarta, CNN Indonesia -- Komik di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Pada 1930-an, Kho Wan Gie sudah membuat komik dengan karakter ikoniknya Put On. Komik pertama itu dipublikasikan di harian
Sin Po.
Namun sampai sekarang, meski
Gundala Putra Petir dan
Panji Tengkorak sempat berjaya, perkembangannya tidak bisa pesat. Adanya dominasi komik Jepang sejak 1990-an, belum lagi dari Amerika dan Eropa, membuat komik Indonesia kehilangan kesempatan berdiri sendiri.
"Kita sudah terbiasa dengan komik Jepang, setiap bulan hampir 300 judul. Mereka cepat sekali dan begitu tamat langsung diterjemahkan. Aslinya mereka tiga bulan sekali, tapi terjemahan bisa satu bulan sekali," ujar Sunny, CEO penerbit komik lokal Kosmik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu yang menurut Sunny menyebabkan industri komik Indonesia tidak secepat perkembangan industri musik dan film yang dapat terus berkelanjutan. "[Industri komik] ada, tidak ada. Adanya gerakan sama inisiatif tapi belum industri yang sudah jadi. Karena kalau industri punya modal untuk berkelanjutan. Seperti musik dan film ada yang terus menerus," ujarnya.
Namun tujuh tahun terakhir Sunny merasakan adanya angin segar. Industrinya mulai menggeliat. "Dari 2009 sampai 2016 saya bisa bilang kita mulai bangkit. Misal 2009 ada satu komik, 2010 mulai 10 komik, terus 2011, 11 komik setiap bulannya," katanya.
Bagaimana bisa berkelanjutan, itu yang menjadi pekerjaan rumah bersama. “Masih meraba. Mencari apa yang disukai, belum seperti film yang misal dikasih horor akan laku," katanya.
Untuk itu, komik Indonesia harus punya beberapa syarat. “Karakter ikonik, cerita yang relevan, tapi itu pun ketika dicoba belum tentu berhasil benar yang dibutuhkan,” ujarnya.
Masalahnya, industri komik belum memiliki itu semua, terutama sosok ikonik seperti Reza Rahadian di dunia film. Menurut Sunny, itu akan menjadi daya tarik tersendiri. Tugas bersama lah untuk melahirkan itu, yang akan meningkatkan kualitas dan daya jual komiknya.
"Itu yang menjadi PR bersama, mencari formula yang punya
frame of mind," imbuhnya.
Sayangnya, sebagai faktor eksternal, apresiasi dan kompensasi juga belum stabil. Akibatnya, masing-masing kreator komik pun banyak mengambil 'job' lain. "Misal di penerbit A dia
ngomik ini, di B beda, di C beda lagi. Lalu yang di C laris, dia akan fokus di C. A dan B lepas. Iya kalau itu komik semua, kalau ke bidang lain yang lebih menjanjikan?"
Kendala lain yang juga menjadi tantangan adalah adanya peluang dan kemudahan memasuki industri di luar Indonesia yang sudah jadi. Sudah bukan hal yang jarang ketika ada komikus Indonesia yang bergabung dengan perusahaan komik besar lainnya seperti Marvel atau DC.
"Saya sendiri pernah mencoba terlibat di
Spider-Man. Masuknya mudah, bayarannya pasti. Tapi kalau anak muda semua ke sana, tidak akan jadi industri kita," kata Sunny.
Ia sendiri lebih memilih kembali dan membentuk Kosmik, perusahaan komik lokal. Pilihannya didasari pemikiran, meski dapat kerjaan pasti, ia tak merasa memiliki apa yang dibuatnya.
[Gambas:Video CNN]"Bangga ikut
Spider-Man, tapi bukan punya saya, hanya jadi tukang saja. Sampai kapan mau nukang terus, kan? Tidak perlu keluar Indonesia, Indonesia punya karakter saja terus gantian kita yang ekspor. Bukan tak mungkin," katanya menjelaskan pemikirannya.
Jika semua berpikiran demikian, industri komik Indonesia akan lebih berkembang. Potensinya banyak, baik di dunia konvensional maupun digital, dengan majunya teknologi.
"Dunia sudah terbuka lewat internet, dengan bahasa Inggris pun semakin terbuka peluangnya. Itu perlahan membangun, saat ini yang diperlukan hanya kepedulian," ujarnya lagi.
“Orang Indonesia perlu tahu ada komik Indonesia. Saat ini belum ada ikon yang mencuat, sehingga
top of mind akan komik Indonesia belum ada. Kita butuh ikon seperti film yang punya
AADC dan
Warkop DKI. Butuh mercusuar 'Oh ada komik ini dan bisa jadi bisnis.’”