Jakarta, CNN Indonesia -- Pohon harapan hancur akibat kekejaman, kejahatan, dan keserakahan seorang pemimpin. Kekejian sang pemimpin juga mengubah sebuah tempat menjadi kota mesin yang merusak lingkungan. Orang-orang berubah menjadi jahat. Kemiskinan dan kesengsaraan merajalela.
Untuk melawan kejahatan sang pemimpin, dibutuhkan sikap-sikap yang tercermin dalam 10 nilai integritas: jujur, adil, berani, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, mandiri, sederhana, peduli, dan sabar. Nilai-nilai yang diusung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pohon harapan dan pemimpin keji itu memang cerita pentas teater musikal ‘Raksasa,’ hasil kerja sama KPK dan komunitas Jendela Ide Bandung. Pentas Raksasa digelar 22-23 Desember, melibatkan anak-anak yang diceritakan berusaha menghidupkan kembali pohon harapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menolong Gembala, Mencari Jejak RaksasaKisah itu berawal dari perjalanan anak-anak bersama gurunya ke sebuah gunung yang asri, untuk belajar tentang alam dan pesan-pesan yang tersembunyi di baliknya. Mereka berjalan hingga hari perlahan menjadi gelap. Seiring perjalanan yang semakin jauh, mereka lelah.
Perjalanan pun dihentikan. Sang guru memutuskan beristirahat dan mendirikan kemah. Malamnya, mereka berkumpul dan bercerita tentang Gembala dan Raksasa. "Pada suatu masa, hidup seorang Gembala yang memiliki banyak domba,” demikian sang guru mengawali ceritanya.
“Suatu hari, gembala berteriak meminta tolong, mengatakan dombanya dimakan raksasa. Teman-temannya ingin menolong, namun Gembala malah tertawa. Ternyata Gembala itu berbohong. Di lain hari, raksasa benar-benar datang mengambil domba-dombanya. Gembala minta tolong namun tidak ada seorang teman pun yang percaya lagi padanya."
Setelah mendengar cerita itu, guru dan muridnya beristirahat. Lalu latar cerita beralih ke dalam mimpi para murid, dan mengalami kejadian serupa seperti yang gurunya ceritakan.
Petualangan sebenarnya pun dimulai. Di dalam alam mimpi itu, mereka memutuskan membantu Gembala mencari domba-dombanya yang dibawa oleh Raksasa.
Sang Gembala dan anak-anak itu menghadapi halang rintang mengikuti jejak Raksasa, mereka harus menyeberangi sungai. Tapi beruntung mereka dibantu oleh Naga putih. Kemudian mereka masuk ke hutan belantara, mencari akar putih yang ada di bawah pohon harapan.
Beruntungnya, mereka kembali dibantu oleh wujud seekor tupai yang sebelumnya mereka tolong. Namun setelah akar putih itu didapatkan dan Raksasa hendak dikalahkan, ada seorang ibu yang ternyata juga membutuhkannya, untuk pengobatan anak-anaknya.
Dengan ikhlas, anak-anak itu memilih memberikan akar putihnya pada sang ibu. Tapi ternyata, sang ibu itu merupakan wujud dari penjaga pohon harapan yang tengah menguji rombongan tersebut. Permintaan akar putih hanya sebagian dari ujian untuk mereka.
Rintangan selanjutnya: Kota Mesin. Kota yang digambarkan seperti kota metropolitan, dengan orang-orang yang tak peduli pada sesamanya. Mereka bertemu Davi, seorang anak yang terlihat ingin membantu mengantar ke pintu menuju kota Raksasa.
Tapi Davi kali ini bukan wujud pohon harapan. Ia justru memanfaatkan situasi dengan mencuri tas anak-anak itu. Mereka mengejar Davi menuju lorong bawah tanah, bertemu ibunya yang tak suka kebiasan buruk putranya. Ia meminta Davi mengembalikan tas itu. Tapi anak-anak justru iba, dan merelakan tasnya untuk Davi. Ternyata itu justru menyentuh hatinya.
Sebagai ucapan terimakasihnya, Davi pun kali ini benar-benar membantu anak-anak dan Gembala menuju tempat Raksasa. Mereka bertemu Raksasa dan sejumlah makhluk bumi yang hendak melakukan serangan ke penguasa Kota Mesin.
Raksasa dan makhluk-makhluk itu tak suka warga kota yang berisik, merusak alam, menebang pohon, membuat polusi udara dan sungai menjadi kotor. Tapi anak-anak dan Gembala optimistis, Kota Mesin masih punya orang-orang baik. Mereka pun membujuk Raksasa untuk menyerang penguasanya saja, agar mereka sadar akan perilakunya yang tamak dan serakah.
 Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri Robot-robot di Kota Mesin, salah satu lokasi fiktif di Teater Raksasa. |
Gembala, anak-anak, Raksasa, dan penghuni hutan pun melawan kekejaman penguasa Kota Mesin Omora. Menggunakan terompet akar putih, dengan bantuan para penonton, mereka berhasil melawannya. Pohon harapan pun kembali tumbuh dengan asri.
Seketika, anak-anak terbangun dari mimpi. Mereka lantas bersiap menuju perjalanan pulang. Tapi di tengah perjalanan, dari kejauhan terdengar suara mesin penebang pohon. Mereka pun sadar, tantangan yang ada dalam mimpi sama dengan yang ada di dunia yang mereka tinggali.
Pesan Nilai Integritas yang Kurang LugasDelapan orang anak dengan seekor anjing yang bertualang mencari Raksasa bersama Gembala itu, sebenarnya bisa membawa cerita yang lebih menarik jika dieksplorasi lebih dalam.
Sayangnya tujuan dasar menanamkan 10 nilai integritas sejak dini yang ditargetkan KPK pada siswa sekolah, tak diungkapkan secara lugas.
Dari 10 nilai yang hendak disampaikan, hanya ada beberapa yang mungkin dapat diterima oleh anak-anak. Seperti nilai kejujuran, saling tolong menolong, dan yang paling sering disebut yakni ajaran untuk tidak buang sampah sembarangan dan menjaga hutan.
 Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri Teater Raksasa didominasi pemeran anak-anak. |
Sementara, nilai-nilai lainnya hanya ditampilkan secara tersirat. Seperti yang disampaikan oleh psikolog anak Tika Bisono, pertunjukan itu kurang terang menyampaikan pesan. Apalagi jika sasarannya adalah anak-anak.
"Kurang terkejar 10 nilai integritasnya, lagu yang dibawakan pun kurang jelas. Peran gurunya tidak menyampaikan sesuatu, tertutup teriakan sehingga kurang jelas. Mudah-mudahan bukan karena gratis sehingga kurang serius," kata Tika usai pertunjukan, Kamis (22/12).
Untuk itu, menurut Tika, perlu ada penekanan intonasi. “Anak-anak sudah antusias tapi jangan biasa saja. Seharusnya 10 nilai itu bisa menjadi nama dari setiap karakter anak-anak, misal Si Jujur, Si Sabar, dan lainnya yang digunakan sebagai ciri khas," katanya.
Menurutnya, 10 sifat itu bisa dipersonifikasi. “Harusnya dengan 10 nama berdasar 10 sifat, bisa dieksplorasi menjadi karakter yang mencerminkan dirinya ketika berpetualang.”
Pada pertunjukan yang berlangsung selama 90 menit itu, nama anak-anak yang menjadi tokoh utama memang sulit diingat. Terlebih tidak ada yang menonjol atau memiliki ciri khas.
"Sepuluh nilai itu sulit-sulit, metodenya sudah oke tapi cara menaruh perspektifnya yang kurang dalam tari, peran dan nama-namanya. Seharusnya ini sangat efektif untuk anak-anak, tapi eksekusinya masih kurang," ujar Tika melanjutkan komentar.
Selama pertunjukan, anak-anak SD yang menjadi penonton memang sulit memahami nilai-nilai itu. Arin, siswa kelas 6 SD Al Masoem Bandung misalnya, hanya dapat menyebutkan beberapa nilai. "Memotivasi jangan buang sampah sembarangan, kemudian untuk menjaga lingkunga. Terus harus jujur, ramah, dan saling tolong menolong,” ujarnya menyebutkan.
Sementara teman sebayanya, Chelsea mengatakan, "Bagus, memotivasi, karakternya menjiwai, jadi manusia harus tetap jujur, tidak boleh bohong, dan jaga lingkungan, jangan sampai orang lain terganggu."
(rsa)