Ade Darmawan: Biennale di Indonesia Tak Seperti Singapura

Rahman Indra | CNN Indonesia
Minggu, 05 Feb 2017 12:01 WIB
Terlibat sebagai direktur artistik sejak 2009, dan kini direktur eksekutif, ia menilai Jakarta Biennale tak bisa dibandingkan dengan Singapore Biennale.
Perhelatan Jakarta Biennale pada 2015 dengan tema Maju Kena Mundur Kena. (Dok/Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ajang pameran seni rupa kontemporer Jakarta Biennale tidak bisa dibandingkan dengan Singapore Biennale, ataupun Biennale di luar negeri lainnya. Perbandingan ini dinilai tidak tepat, karena tidak sebanding, atau apple to apple.

Tanggapan itu disampaikan Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2017 saat dihubungi di Jakarta beberapa waktu lalu. Menurutnya, Jakarta Biennale, dan mungkin perhelatan pameran seni rupa kontemporer dua tahunan atau biennale yang ada di kota-kota lainnya di Indonesia digelar berbeda dengan yang ada di luar negeri.

“Di sini, di Indonesia, perhelatan biennale masih diusung dengan konsep bottom up atau dari masyarakatnya, beda dengan biennale di luar negeri, yang top down, dari pemerintahnya,” ungkap Ade memberi alasan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Singapura misalnya, kata dia, ajang biennale telah menjadi agenda rutin pemerintah dan negara, dan mendapat dukungan penuh. Di Indonesia kebalikannya, biennale berlangsung dengan mekanisme bottom up, atau inisiatif warga oleh karenanya kemudian ada Jakarta Biennale, Yogyakarta Biennale, Makassar Biennale, Jatim Biennale dan atau Sumatera Biennale.

“Menariknya, justru karena berbeda ini, ajang biennale di Indonesia menjadi sorotan khusus dunia seni internasional, karena memberikan model ajang seni yang menarik bagi mereka,” tambah Ade.

Lebih jauh seniman yang juga memamerkan karyanya di Singapore Biennale 2016 ini mengaku tidak bisa membandingkan, ataupun menganggap gelaran serupa sebagai sebuah ‘kompetisi’. Karena, kata dia, setiap perhelatan karakternya berbeda-beda.

Jakarta Biennale pun, lanjut Ade, pernah mendapat dukungan pemerintah, tapi tidak penuh. Sementara, kalau di Singapura, ada keterlibatan atau kepentingan pemerintahnya, selain untuk mendukung dunia seni setempat juga kepentingan wisata.

“Meski secara ketahanan, ajang di sini rapuh, akan tetapi saya lebih setuju dengan mekanisme bottom up ini, karena keuntungannya bisa lebih kritis dan eksperimental dalam berkarya,” kata Ade.

Ungkapannya itu merujuk pada kenyataan bahwa jika agenda seni digelar pemerintah, maka akan ada batasan tertentu, dan menjadi medium (atau corong) dari apa yang ingin disampaikan pemerintah.

“Kalau didukung dengan memberi bujet lebih, kenapa tidak, tapi tidak dalam pelaksanaan, supaya tetap kreatif,” ungkapnya.

Jika harus membandingkan secara skala bujet, Ade menyebut perhelatan di Indonesia, Jakarta Biennale misalnya mungkin hanya sepersepuluh dari besaran bujet Singapore Biennale.

Dengan ketidakpastian bujet atau anggaran itu, lebih jauh Ade mengatakan, perhelatan Jakarta Biennale masih tertatih-tatih untuk terus konsisten ada. Setiap kali memulai persiapan, kata dia, semua harus mulai dari nol lagi karena banyak yang tidak berkesinambungan, baik dari pemerintah maupun dari swasta.

“Kepastian keberlanjutan jadi pekerjaan rumah paling besar, makanya kemudian kami bikin Yayasan Jakarta Biennale supaya ada orang yang khusus memikirkan perhelatan biennale,” tambah dia. Yayasan itu dibentuk pada 2015 lalu, dan menjadi penyelenggara Jakarta Biennale bersama Dewan Kesenian Jakarta.

Secara terpisah, Irawan Karseno, Ketua DKJ mengungkapkan hal senada. Perhelatan Jakarta Biennale, kata dia, memang berjalan tak seperti halnya perhelatan Singapore Biennale yang merupakan program pemerintah dan bujet besar. 

"Tahun ini tidak dapat bantuan pemda, mungkin karena ada perubahan atau bagaimana, ke depan harapannya bisa berubah," ujarnya.

Lebih dekat ke publik

baca berikutnya...

Lebih dekat ke publik

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER