Jakarta, CNN Indonesia -- Ajang pameran seni rupa kontemporer Jakarta Biennale tidak bisa dibandingkan dengan Singapore Biennale, ataupun Biennale di luar negeri lainnya. Perbandingan ini dinilai tidak tepat, karena tidak sebanding, atau
apple to apple.Tanggapan itu disampaikan Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2017 saat dihubungi di Jakarta beberapa waktu lalu. Menurutnya, Jakarta Biennale, dan mungkin perhelatan pameran seni rupa kontemporer dua tahunan atau biennale yang ada di kota-kota lainnya di Indonesia digelar berbeda dengan yang ada di luar negeri.
“Di sini, di Indonesia, perhelatan biennale masih diusung dengan konsep
bottom up atau dari masyarakatnya, beda dengan biennale di luar negeri, yang
top down, dari pemerintahnya,” ungkap Ade memberi alasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Singapura misalnya, kata dia, ajang biennale telah menjadi agenda rutin pemerintah dan negara, dan mendapat dukungan penuh. Di Indonesia kebalikannya, biennale berlangsung dengan mekanisme
bottom up, atau inisiatif warga oleh karenanya kemudian ada Jakarta Biennale, Yogyakarta Biennale, Makassar Biennale, Jatim Biennale dan atau Sumatera Biennale.
“Menariknya, justru karena berbeda ini, ajang biennale di Indonesia menjadi sorotan khusus dunia seni internasional, karena memberikan model ajang seni yang menarik bagi mereka,” tambah Ade.
Lebih jauh seniman yang juga memamerkan karyanya di Singapore Biennale 2016 ini mengaku tidak bisa membandingkan, ataupun menganggap gelaran serupa sebagai sebuah ‘kompetisi’. Karena, kata dia, setiap perhelatan karakternya berbeda-beda.
Jakarta Biennale pun, lanjut Ade, pernah mendapat dukungan pemerintah, tapi tidak penuh. Sementara, kalau di Singapura, ada keterlibatan atau kepentingan pemerintahnya, selain untuk mendukung dunia seni setempat juga kepentingan wisata.
“Meski secara ketahanan, ajang di sini rapuh, akan tetapi saya lebih setuju dengan mekanisme
bottom up ini, karena keuntungannya bisa lebih kritis dan eksperimental dalam berkarya,” kata Ade.
Ungkapannya itu merujuk pada kenyataan bahwa jika agenda seni digelar pemerintah, maka akan ada batasan tertentu, dan menjadi medium (atau corong) dari apa yang ingin disampaikan pemerintah.
“Kalau didukung dengan memberi bujet lebih, kenapa tidak, tapi tidak dalam pelaksanaan, supaya tetap kreatif,” ungkapnya.
Jika harus membandingkan secara skala bujet, Ade menyebut perhelatan di Indonesia, Jakarta Biennale misalnya mungkin hanya sepersepuluh dari besaran bujet Singapore Biennale.
Dengan ketidakpastian bujet atau anggaran itu, lebih jauh Ade mengatakan, perhelatan Jakarta Biennale masih tertatih-tatih untuk terus konsisten ada. Setiap kali memulai persiapan, kata dia, semua harus mulai dari nol lagi karena banyak yang tidak berkesinambungan, baik dari pemerintah maupun dari swasta.
“Kepastian keberlanjutan jadi pekerjaan rumah paling besar, makanya kemudian kami bikin Yayasan Jakarta Biennale supaya ada orang yang khusus memikirkan perhelatan biennale,” tambah dia. Yayasan itu dibentuk pada 2015 lalu, dan menjadi penyelenggara Jakarta Biennale bersama Dewan Kesenian Jakarta.
Secara terpisah, Irawan Karseno, Ketua DKJ mengungkapkan hal senada. Perhelatan Jakarta Biennale, kata dia, memang berjalan tak seperti halnya perhelatan Singapore Biennale yang merupakan program pemerintah dan bujet besar.
"Tahun ini tidak dapat bantuan pemda, mungkin karena ada perubahan atau bagaimana, ke depan harapannya bisa berubah," ujarnya.
Lebih dekat ke publikbaca berikutnya...
Tahun ini, menjadi perhelatan Jakarta Biennale yang ke-empat yang sudah digeluti perupa Ade Darmawan. Ia pernah dipercaya sebagai direktur artistik pada Jakarta Biennale 2009, lalu ditunjuk lagi sebagai direktur pada perhelatan 2013, 2015, dan menjadi direktur eksekutif pada 2017.
“Selama rentang waktu dari 2009 hingga 2017, saya melihat Jakarta Biennale menjadi lebih besar, baik dari skala cakupan ataupun operasional, dengan jangkauan ke publik lebih luas,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia lalu merujuk pada perhelatan pada Jakarta Biennale 2015 lalu yang menurutnya direspons sangat positif oleh publik. Ini menyenangkan, kata dia, jika dibanding dengan perhelatan awalnya yang sejak 1970-an lebih dikenal hanya di kalangan seni tertentu saja.
“Sebelumnya ajang biennale itu berlangsung buat kalangan seni tertentu saja, akan tetapi sejak 2009 dan terus hingga sekarang lebih terbuka buat publik” ujarnya.
Keputusan panitia penyelenggara membuka diri ke publik, kata Ade, disadari atas pertimbangan biennale sebagai pameran seni penting yang mesti melibatkan banyak pihak, terutama public sebagai penikmat dan yang akan mengapresiasi karya seni.
Ini juga-lah, menurut Ade, yang membedakan biennale dengan pameran seni rupa kontemporer lainnya yang memiliki wilayah atau jangkauannya sendiri. “Jakarta Biennale berusaha melihat dirinya menjangkau lebih luas, tidak hanya mengundang orang datang, tapi juga bagaimana membuat mereka mengerti dan memahami karya yang dipamerkan,” kata dia.
“Makanya dari awal ajak teman media untuk sampaikan ini, karena kita bukan pameran besar, yang hanya untuk kalangan tertentu,” ujarnya.
Apresiasi dan respons publik Ketika membuka pameran seni yang bebas dan terbuka buat public luas, persoalannya kemudian masih banyak yang enggan karena karya seni susah untuk dimengerti. Mengenai hal ini, Ade menilai mudah atau tidaknya dimengerti sebuah karya itu relatif bagi setiap orang berbeda-beda.
“Buat saya sendiri yang dari seni rupa, ada juga yang tidak dimengerti, jadi soalnya lebih ke cara penyampaian atau komunikasinya,” kata dia.
Ia menilai perhelatan pameran lalu harus mampu menyampaikan karya seni yang dihadirkan mudah untuk dipahami publik. Salah satu siasatnya, ia kadang menghadirkan dua karya dalam satu tema utuh sehingga menajdi satu pernyataan yang sama, dan membuat penikmatnya dapat memaknai dengan mudah.
Dalam Jakarta Biennale sendiri, kata dia, kurator dituntut untuk berpikir bagaimana merangkai karya dengan medium berbeda-beda jadi satu pengalaman menikmati yang baik. Medium itu terbuka, dari mulai lukisan, seni instalasi, patung, art performance dan video.
Lalu, bagaimana dengan respons publik sejauh ini?
“Penonton seni Indonesia itu gila-gilaan, dan antusias sekali, tapi masalahnya, masing-masing, seniman dan publik sebagai penikmat punya tanggungjawab, seniman lewat karyanya mudah dijangkau, publik mesti menyambutnya,” ujar Ade.
Dari 2013 dan 2015, kata dia, antusiasme public sudah bagus dan mulai membaik. Ia percaya publik Indonesia pada dasarnya apresiatif, dan haus akan kegiatan seni budaya. “Hanya saja, kadang seringnya dari kalangan seni mengelitkan diri, atau tidak punya cukup dana untuk menjangkau lebih jauh,” ujarnya.
“Saya setuju dengan adanya pendidikan seni sejak dini, jadi apresiasi bisa bertumbuh, tidak hanya dini, tapi terus-menerus, khususnya masa remaja," -Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2017 |
Namun, tidak hanya itu. Apresiasi seni di masyarakat juga dapat dikatakan rendah. Ini terkait dengan minimnya pemberian pengetahuan atau pendidikan seni sejak dini.
Salah satu sasaran penting, kata Ade, adalah masa remaja, karena di masa itulah pendidikan seni terputus. Dari kecil, anak-anak Indonesia sudah diajarkan menari, menggambar dan aktivitas seni lainnya, akan tetapi ketika remaja malah kosong. “Padahal, masa remaja itulah masa penting, dan mestinya ada program yang mengisi kekosongan itu,” ujarnya.
Dengan mengisi kekosongan pengetahuan seni di masa remaja, sekaligus akan mengurangi budaya konsumtif yang menjalar, terutama bagi yang tinggal di kota besar.
“Pertarungannya ada di situ, karena pada masa remaja sudah mulai punya uang dan konsumtif, jika diarahkan ke seni akan lebih baik,” tambah dia.