Ade Darmawan: Biennale di Indonesia Tak Seperti Singapura

Rahman Indra | CNN Indonesia
Minggu, 05 Feb 2017 12:01 WIB
Terlibat sebagai direktur artistik sejak 2009, dan kini direktur eksekutif, ia menilai Jakarta Biennale tak bisa dibandingkan dengan Singapore Biennale.
Perhelatan Jakarta Biennale pada 2015 dengan tema Maju Kena Mundur Kena. (Dok/Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Tahun ini, menjadi perhelatan Jakarta Biennale yang ke-empat yang sudah digeluti perupa Ade Darmawan. Ia pernah dipercaya sebagai direktur artistik pada Jakarta Biennale 2009, lalu ditunjuk lagi sebagai direktur pada perhelatan 2013, 2015, dan menjadi direktur eksekutif pada 2017.

“Selama rentang waktu dari 2009 hingga 2017, saya melihat Jakarta Biennale menjadi lebih besar, baik dari skala cakupan ataupun operasional, dengan jangkauan ke publik lebih luas,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia lalu merujuk pada perhelatan pada Jakarta Biennale 2015 lalu yang menurutnya direspons sangat positif oleh publik. Ini menyenangkan, kata dia, jika dibanding dengan perhelatan awalnya yang sejak 1970-an lebih dikenal hanya di kalangan seni tertentu saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sebelumnya ajang biennale itu berlangsung buat kalangan seni tertentu saja, akan tetapi sejak 2009 dan terus hingga sekarang lebih terbuka buat publik” ujarnya.

Keputusan panitia penyelenggara membuka diri ke publik, kata Ade, disadari atas pertimbangan biennale sebagai pameran seni penting yang mesti melibatkan banyak pihak, terutama public sebagai penikmat dan yang akan mengapresiasi karya seni.

Ini juga-lah, menurut Ade, yang membedakan biennale dengan pameran seni rupa kontemporer lainnya yang memiliki wilayah atau jangkauannya sendiri. “Jakarta Biennale berusaha melihat dirinya menjangkau lebih luas, tidak hanya mengundang orang datang, tapi juga bagaimana membuat mereka mengerti dan memahami karya yang dipamerkan,” kata dia.

“Makanya dari awal ajak teman media untuk sampaikan ini, karena kita bukan pameran besar, yang hanya untuk kalangan tertentu,” ujarnya.

Apresiasi dan respons publik

Ketika membuka pameran seni yang bebas dan terbuka buat public luas, persoalannya kemudian masih banyak yang enggan karena karya seni susah untuk dimengerti. Mengenai hal ini, Ade menilai mudah atau tidaknya dimengerti sebuah karya itu relatif bagi setiap orang berbeda-beda.

“Buat saya sendiri yang dari seni rupa, ada juga yang tidak dimengerti, jadi soalnya lebih ke cara penyampaian atau komunikasinya,” kata dia.

Ia menilai perhelatan pameran lalu harus mampu menyampaikan karya seni yang dihadirkan mudah untuk dipahami publik. Salah satu siasatnya, ia kadang menghadirkan dua karya dalam satu tema utuh sehingga menajdi satu pernyataan yang sama, dan membuat penikmatnya dapat memaknai dengan mudah.

Dalam Jakarta Biennale sendiri, kata dia, kurator dituntut untuk berpikir bagaimana merangkai karya dengan medium berbeda-beda jadi satu pengalaman menikmati yang baik. Medium itu terbuka, dari mulai lukisan, seni instalasi, patung, art performance dan video.

Lalu, bagaimana dengan respons publik sejauh ini?

“Penonton seni Indonesia itu gila-gilaan, dan antusias sekali, tapi masalahnya, masing-masing, seniman dan publik sebagai penikmat punya tanggungjawab, seniman lewat karyanya mudah dijangkau, publik mesti menyambutnya,” ujar Ade.

Dari 2013 dan 2015, kata dia, antusiasme public sudah bagus dan mulai membaik. Ia percaya publik Indonesia pada dasarnya apresiatif, dan haus akan kegiatan seni budaya. “Hanya saja, kadang seringnya dari kalangan seni mengelitkan diri, atau tidak punya cukup dana untuk menjangkau lebih jauh,” ujarnya.

“Saya setuju dengan adanya pendidikan seni sejak dini, jadi apresiasi bisa bertumbuh, tidak hanya dini, tapi terus-menerus, khususnya masa remaja," -Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2017
Namun, tidak hanya itu. Apresiasi seni di masyarakat juga dapat dikatakan rendah. Ini terkait dengan minimnya pemberian pengetahuan atau pendidikan seni sejak dini.

Salah satu sasaran penting, kata Ade, adalah masa remaja, karena di masa itulah pendidikan seni terputus. Dari kecil, anak-anak Indonesia sudah diajarkan menari, menggambar dan aktivitas seni lainnya, akan tetapi ketika remaja malah kosong. “Padahal, masa remaja itulah masa penting, dan mestinya ada program yang mengisi kekosongan itu,” ujarnya.

Dengan mengisi kekosongan pengetahuan seni di masa remaja, sekaligus akan mengurangi budaya konsumtif yang menjalar, terutama bagi yang tinggal di kota besar.

“Pertarungannya ada di situ, karena pada masa remaja sudah mulai punya uang dan konsumtif, jika diarahkan ke seni akan lebih baik,” tambah dia. (rah)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER