Sineas Dekati Industri Perbankan untuk Suntikan Modal

Resty Armenia | CNN Indonesia
Rabu, 22 Feb 2017 07:32 WIB
Badan Ekonomi Kreatif mengupayakan kemudahan akses permodalan dari sektor perbankan bagi pelaku industri kreatif dengan menggelar Bekraf Financial Club (BFC).
BFC akan mempertemukan pelaku perfilman dengan industri perbankan. (Foto: CNN Indonesia/Resty Armenia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dunia perbankan selama ini belum disentuh oleh industri kreatif terutama film, untuk menjadi sumber permodalan. Padahal ada peluang besar di sana. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun mengupayakan akses lebih mudah terhadap permodalan bagi pelaku perfilman.

Salah satunya dengan program Bekraf Financial Club (BFC), di mana lembaga perbankan dan sineas dipertemukan. Dari situ, mereka memberikan pemahaman tentang model bisnis masing-masing.

"BFC adalah salah satu upaya kami untuk meningkatkan aksesibilitas industri kreatif untuk mengakses produk-produk keuangan dari lembaga perbankan. Ini didasari pada semboyan, 'Kalau tidak kenal ya tidak ada kredit.' Artinya, lembaga keuangan harus mengenal dan menjamin sektor yang dia biayai," ujar Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (21/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

BFC, papar Fadjar, akan dilaksanakan secara berkala di beberapa kota dengan menghadirkan pelaku ekonomi kreatif dari 16 sub sektor, termasuk perfilman, dan mengundang pihak perbankan sebagai peserta. Sejauh ini, beberapa bank sudah berkomitmen untuk mendukung, seperti BNI, BNI Syariah, BRI Syariah, dan Mandiri.


Dalam acara ini, perwakilan pelaku ekonomi kreatif akan memaparkan secara rinci sub sektor yang digelutinya dengan model pembiayaan yang diharapkan bisa didapat dari perbankan. Di sisi lain, pihak perbankan dapat membuat skema pembiayaan yang sesuai bagi pelaku ekonomi kreatif.

"Untuk mendanai industri film, yang saat ini kami lakukan adalah kami ingin mendorong industri keuangan agar melihat industri film sebagai potensi bisnis. Artinya, kami buat ekosistem di industri film jadi kesempatan, karena bagaimana pun ini pendekatannya bisnis. Jika ini dilihat sebagai potensi bisnis, maka perbankan bisa masuk," ujar Fadjar.

Ia menambahkan, "Kami telah identifikasi hambatan ketika bertemu dengan industri ini, salah satunya adalah pemahaman secara umum. Pihak perbankan kalau tidak tahu sektor itu apa, ya tidak akan masuk. Makanya kami beri pemahaman kepada mereka bagaimana industri film sebenarnya."

Pendiri perusahaan film Maxima Pictures, Ody Mulya, mengungkapkan bahwa perbankan perlu mengetahui kelayakan film yang bisa dibiayai. Menurutnya, produser berperan besar dalam mempromosikan dan menjual film. Selain itu, produser juga bisa mempekerjakan pihak ke-tiga untuk mencari sponsor dan mendukung pembiayaan film.


Ody berpendapat bahwa skema berbagi pendapatan (revenue sharing) bisa dilakukan. Ia mengaku, skema tersebut pernah diterapkannya saat membuat film dengan dua sampai tiga pemegang saham.

"Karenanya, kalau dengan bank mungkin bisa lebih mudah lagi. Nanti tinggal bagaimana keinginan bank dan disesuaikan dengan film yang akan kami buat," ujarnya dalam sesi diskusi.

Ody menjelaskan, struktur biaya dalam pembuatan film cukup bervariasi. Biaya paling besar biasanya terletak di pos produksi, yakni mencapai sekitar 50 persen dari total keseluruhan. Sifat biaya ini pun harus terus berputar dan tidak boleh ditunda agar tidak membengkak.

"Bisa kami pilah-pilah biaya produksinya. Kan ada tiga, yaitu pre-produksi, produksi, dan post-produksi. Kita lihat nanti biasanya pre-produksi 25 persen, produksi 50 persen, dan post-produksi 25 persen. Itu tidak bisa pending, harus running terus, kalau tidak nanti makin membengkak."

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER