Jakarta, CNN Indonesia -- Faktor pendanaan dalam membuat sebuah film menjadi hal yang seringkali membuat para sineas pusing. Di Indonesia, permodalan film mayoritas dicari sendiri oleh rumah produksi. Hal itu tentu secara tidak langsung menghambat kreativitas para pelaku industri perfilman.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) belum lama ini meluncurkan sebuah program Bekraf Financial Club (BFC) yang menjembatani para pelaku industri ekonomi kreatif dengan lembaga perbankan agar keduanya bisa saling memahami dan bekerjasama, khususnya dalam bidang permodalan.
Produser eksekutif Rapi Films Sunil Samtani berpandangan, metode permodalan yang ingin mulai diterapkan Bekraf ini sejatinya hampir mirip dengan apa yang sudah berjalan di industri perfilman Hollywood selama ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sunil memaparkan, di Amerika Serikat ada metode
completion bond atau sebuah asuransi yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan penanggung (dengan balasan persentase biaya berdasarkan bujet) yang biasanya digunakan dalam pembiayaan film independen atau komersial.
Selain
completion bond, Sunil pun mengungkapkan bahwa industri perfilman Hollywood juga memiliki
film finance yang merupakan turunan proyek keuangan, yang berarti sebuah film menghasilkan pembiayaan sendiri ketimbang mencari dana dari sumber eksternal untuk membayar investor.
"Mereka [
completion bond dan
film finance] itu semacam organisasi yang membiayai film-film, jadi memberikan dana pinjaman 80 persen hingga 85 persen dari total bujet ke banyak film Hollywood, bahkan setiap kontraknya harus selalu ada persetujuan dari mereka, sehingga setiap rumah produksi harus membuka akun di situ juga," ujarnya saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Keuntungan dari penjualan film tersebut, imbuh Sunil, akan dibagi berdasarkan minimum interest yang telah disepakati kedua belah pihak. Menurutnya, hal itu merupakan cara yang efektif untuk mendorong rumah produksi membuat film-film berkualitas tanpa perlu terlalu pusing memikirkan tentang permodalan.
Karenanya, Sunil mendukung penuh upaya Bekraf untuk mempermudah akses permodalan bagi para sineas, baik yang masih merintis maupun yang sudah besar, dengan menggandeng pihak perbankan. Menurutnya, perbankan harus memahami bagaimana sistem pembiayaan film dan potensi perfilman Indonesia.
"Memang belum tentu semua film jalan, karena tidak ada formula khusus bagaimana sebuah film itu bisa sukses. Namun, minimal kita bisa belajar mengurangi risiko dalam membuat film. Misal, ambil dana Rp5 miliar, berarti harus memilih pemain bagus, jalan cerita yang komersial, serta promosi optimal. Jadi kalau mau minta dana ke bank, kita harus yakin bahwa film ini pasti jalan, karena kita juga cari profit dari situ," katanya.
Sunil pun memahami mengapa selama ini perbankan tidak melirik industri perfilman nasional. Ia memaparkan, tahun lalu film Indonesia yang mampu menembus satu juta penonton hanya sekitar 10 persen dari total keseluruhan film yang dirilis.
Lulusan salah satu universitas di Amerika Serikat ini mengungkapkan, selama ini Rapi Films mampu membayar sendiri seluruh biaya pembuatan film yang diproduksinya. Namun, ia tetap tertarik untuk bekerjasama dengan bank jika suatu saat rumah produksinya berniat untuk memproduksi sebuah film dengan bujet ekstra.
"Bisa jadi berbagi pendapatan, jika perbankan mau memiliki saham film. Kalau mereka mau investasi 20 persen atau 30 persen di film ini, mungkin ada beberapa pilihan. Bank bisa sebagai sponsor, karena saya tahu beberapa bank yang mau melakukan itu. Jadi ada beberapa skema yang bisa ditawarkan ke bank. Asal mereka sudah minat untuk masuk ke [industri] film, itu sudah enak," ujarnya.
Ia melanjutkan, "Saya rasa bank sekarang sudah mulai berpikiran film sebagai komoditi yang tidak kadaluarsa, karena akan ada terus, bukan seperti makanan. Ini akan ada terus seumur hidup. Bahkan, seperti film
Sundel Bolong yang diproduksi Rapi Films pada 1980-an, sampai hari ini kami bisa jual di televisi, bisa dapat Rp100 juta."
Pendiri Maxima Pictures Ody Mulya berpandangan bahwa para pelaku industri perfilman nasional sesungguhnya layak dibiayai, khususnya yang memiliki potensi namun tidak memiliki dana untuk merealisasikan kreativitas mereka.
"Mudah-mudahan ini bisa menjadi pembuka langkah untuk ke depan, bahwa bank sekarang bersedia untuk membiayai perfilman nasional. Selama ini, dari tiga menteri terakhir ini, semua baru wacana saja. Mudah-mudahan ini terlaksana, sehingga kami bisa meyakinkan bahwa risiko [investasi] di film itu tidak bahaya, seperti yang mereka takutkan selama ini," katanya.
Ody mengambil contoh bagaimana pemerintah Korea Selatan yang mau campur tangan dalam bidang permodalan dengan cara mendanai pembuatan film melalui lembaga Korean Film Council (KOFIC) yang berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata. Sementara di Indonesia, ungkap Ody, para sineas harus pusing mencari pendanaan film mereka. Sebagian besar sineas masih mencari dana segar dari para sponsor atau dana tanggungjawab sosial (CSR) dari perusahaan.
"Kalau kami punya materi yang potensial, namun tidak ada modal, di situ kami harus cari sponsor. Itu pun banyak pertanyaannya. Sponsor akan tanya siapa pemainnya, benefit untuk mereka apa, dan lain-lain. Bagaimana pun sponsor punya penilaian dan kepentingan juga, jadi tidak sekedar mau menyeponsori, harus ada
take and give," ujarnya.
Ody menuturkan, tak jarang para sponsor sangat mempertimbangkan siapa aktor dan aktris yang akan membintangi film yang akan dibuat. Selain itu, sponsor juga memikirkan soal genre film tersebut.
"Misal saya pasang Bunga Citra Lestari, paling tidak dia duta beberapa produk. Dengan begitu, jika saya tawarkan proposal ke perusahaan produk itu, maka sponsor akan mempertimbangkan, karena sang aktris adalah duta mereka," katanya.
Ody mengimbuhkan, "Cuma tetap saja ada faktor-faktor tertentu yang tidak boleh dilakukan. Misalnya seorang duta sponsor tidak diperbolehkan untuk main film dengan genre tertentu. Jadi setiap produk ada rambu-rambu sendiri. Itu kadang-kadang menjadi kendala juga."