Chairil Anwar Pernah Bermimpi Jadi Menteri Kebudayaan

CNN Indonesia
Sabtu, 29 Apr 2017 09:52 WIB
Beken sebagai penyair nyentrik, Chairil Anwar ternyata pernah bercita-cita menjadi seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Chairil Anwar ternyata pernah bercita-cita menjadi seorang menteri pendidikan dan kebudayaan. (Foto: Pos Indonesia via Wikimedia Commons)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebelum berpisah dengan Hapsah Wiraredja, Chairil Anwar sempat mengutarakan mimpi-mimpinya. Putri semata wayangnya bersama Hapsah, Evawani Alissa menuturkan cerita yang pernah disampaikan sang ibu kepada dirinya.

"Ayah saya bilang ke mama, ‘Kalau panjang umur ingin jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tapi kalau saya tidak ada umur, nanti anak-anak sekolah yang akan berziarah untuk saya,’” tuturnya seraya menirukan perkataan ibunda kepada CNNIndonesia.com, saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu. 

"Dia bilang begitu ke ibu saya. Boro-boro jadi menteri, yang ada keluar masuk penjara karena puisinya itu vokal banget," imbuh Eva sembari terkekeh. 

Bila menelisik garis keturunan keluarganya, keinginan Chairil sebagai menteri bukanlah hal yang mungkin sembarangan dia ungkapkan. Dia, yang dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922, merupakan anak satu-satunya dari Toeloes dan Saleha. Pasangan ini berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai Bupati Inderagiri, Riau. Ia pun masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chairil mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Sejak menginjak usia 15 tahun, ia memang sudah bertekad menjadi seorang seniman. 

Sejarah keluarga itulah yang mungkin mendorong Chairil untuk berharap dan menjanjikan hidup yang lebih baik untuk sang istri dan keluarga kecilnya.  

Namun, mimpi Chairil menjadi seorang menteri pupus karena digerogoti penyakit yang mendiami tubuhnya, hingga akhirnya ia wafat pada 28 April 1949. 
Tak hanya itu, Hapsah sendiri sebelumnya sudah mulai ragu dengan mimpi Chairil itu dari tingkah lakunya sehari-hari yang lebih mendalami diri sebagai seniman. Hapsah memilih bercerai dan meninggalkan Chairil dengan mimpinya. 

Mengutip detikX, rumah tangga Chairil-Hapsah yang dimulai sejak 6 Agustus 1946 lebih banyak diisi dengan pertengkaran. Gaya hidup Chairil yang urakan tanpa penghasilan menjadi sumber utama percekcokan. Pada awal pernikahan, menurut penuturan Hapsah kepada sastrawan Rachmat Ali, Chairil sempat bekerja sebagai editor di percetakan Noor Komala dengan gaji lumayan.

Boro-boro jadi menteri, yang ada keluar masuk penjara karena puisinya itu vokal banget.Evawani Alissa, putri Chairil Anwar
Namun, hal itu tak lama dilakoninya. Chairil tak bisa mengikuti pola kerja yang terikat, termasuk harus berkantor tiga kali dalam sepekan. Dia pun tak suka menghadapi kenyataan harus diperintah-perintah oleh orang lain. 

“Dia bilang kepada saya, tidak bisa terikat, tidak bisa bekerja diperintah orang lain. Dia ingin bebas bergerak semaunya,” tutur Hapsah seperti disiarkan Intisari pada 1971.
Hari-hari Chairil kemudian lebih banyak diisi dengan membaca dan keluyuran ke banyak tempat yang disukainya. Ia berbincang dengan siapa saja yang ditemuinya di jalan atau warung kopi, mulai tukang becak, kaum intelektual, hingga kalangan menteri. Saat Chairil di rumah, waktunya dihabiskan dengan membuat sajak-sajak.  

“Ada kalanya di tengah malam dia membangunkan saya, minta disiapkan pensil dan kertas, lalu menuliskan sajak saat itu juga,” kata Hapsah.  

Hingga pada akhirnya, kehidupan keluarganya hanya ditopang oleh gaji Hapsah seorang, sebagai pegawai di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Disebutkan, honor satu sajak yang dibuat Chairil bila dimuat cuma Rp50. Itu pun biasanya lebih banyak dia gunakan sendiri untuk membeli buku-buku. 

[Gambas:Video CNN]

“Hidup kami repot dan serbakekurangan. Tapi Chairil cuma meminta bersabar. Bila ada usia panjang, dirinya yakin pada usia 30 tahun bakal menjadi Menteri Kebudayaan,” tutur Hapsah yang akhirnya menyerah dan memilih bercerai dengannya.
 
Usianya ternyata hanya sampai 26 tahun. Chairil meninggal pada 28 April 1949 dan dimakamkan sehari setelahnya, tepat 68 tahun lalu.

Kendati demikian, harapan Chairil yang lain masih tetap berlaku, dan seolah benar, bahwa makamnya kelak diziarahi banyak orang, dan itu merupakan pencinta puisi-puisi dia. 

Menurut penuturan Eva, setiap tahunnya masih ada orang-orang dari pecinta puisi Chairil Anwar yang kerap memperingati hari lahir atau hari kematian ayahnya. 

"Pencinta [Chairil] masih kumpul pas hari wafat, banyak juga yang memperingati di hari lahirnya, datang ziarah ke makam atau buat acara pembacaan puisi," katanya. 
Namun, melihat kondisi makam sang ayah yang dianggapnya kurang layak untuk seseorang yang berarti untuk dunia sastra, Eva berharap pemerintah lebih memperhatikannya. 

"Sekarang makam Chairil Anwar sulit dicapai, apalagi dengan kondisi saya begini [patah kaki]. Makamnya tertutup dengan makam lain, susah sekali jalannya. Saya harap dibuat lebih pantas, dipugar sepantasnya supaya bisa dikunjungi," harapnya. 

Eva pun menyampaikan bahwa sekelompok budayawan asal Sumatera Barat tengah memperjuangkan ayahnya menjadi pahlawan nasional, karena dianggap ikut berkontribusi lewat karya-karya puisi yang monumental. Hanya saja, untuk itu diperlukan pengajuan dari pihak keluarga. 

"Saya sendiri tidak keberatan bila ayah saya dianggap cocok sebagai pahlawan di bidang sastra. Kalau masyarakat pada umumnya merasa itu pantas, kenapa tidak? Bila masyarakat pencinta Chairil mendukung, saya akan ajukan untuk pemerintah," ujarnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER