Warisan Chairil Anwar Hilang dalam Genggaman Sjumandjaja
CNN Indonesia
Sabtu, 29 Apr 2017 13:47 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Chairil Anwar meninggalkan sebuah buku yang berisi karya-karyanya. Namun, buku itu lenyap setelah dipinjam oleh sutradara Sjumandjadja. (Dok. Arsip Pusat Dokumentasi Sastra HB Jasin)
Jakarta, CNN Indonesia -- Semasa hidupnya, Chairil Anwar memilih hidup serbakekurangan lantaran kesal dengan keputusan sang ayah untuk menikah lagi. Dia dan ibunya mengadu nasib ke Jakarta tak lama setelah orangtuanya bercerai.
Sejak usia 15 tahun, Chairil sendiri sempat menyatakan tekadnya ingin menjadi seorang seniman. Mencoba meraih mimpinya itu, pada usia 19 tahun, saat pindah ke Ibu Kota, ia lantas memutuskan untuk mulai berkenalan dengan dunia sastra.
Dia mengisi jam-jamnya untuk membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis itu yang kemudian disinyalir memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Dengan hidup serba pas-pasan, dia menikahi Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946, saat berusia 24 tahun. Namun, mengutip detikX, rumah tangganya kerap dihinggapi pertengkaran. Gaya hidup Chairil yang urakan tanpa penghasilan menjadi sumber utama percekcokan.
Tak heran bila kemudian putri semata wayangnya dengan Hapsah, Evawani Alissa menyebut tak banyak peninggalan berharga yang diwariskan kepadanya. Dia hanya berpegang pada buku puisi yang ditulis oleh sang ayah. Itu pun hilang karena dipinjam penulis Sjumandjaja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peninggalannya ya puisi untuk ibu saya ada, kemudian ayah saya pernah meninggalkan radio untuk saya, karena tidak punya uang. Seniman zaman itu tidak punya uang. Beliau meninggalkan radio dari kayu, tapi sepertinya dijual sama ibu saya untuk belanja," kenangnya.
"Barang lain tidak ada, fotonya juga masih dicari-cari. Yang ada hanya lukisan anak Jakarta Utara [pencinta Chairil], saya sedang mencari ada yang tersisa, hanya foto Mama dan Chairil, saya heran bisa tidak ada," tutur Eva lebih lanjut.
Nahasnya lagi, satu-satunya buku peninggalan dengan tulisan tangan ayahnya sempat dipinjam oleh sutradara Sjumandjadja. Buku itu hingga kini tak pernah kembali ke tangan Eva.
"Sajak-sajaknya dipinjam Sjuman tahun '70-an. Buku semua dipinjam Sjuman, termasuk yang ada tulisan ayah saya, 'Ip [panggilan Chairil pada Eva, Iip] buku ini cetakannya masih banyak salah, kalau ada duit kita buat percetakan,’” katanya.
"Lalu beliau [Sjumandjaja] meninggal dan sajak-sajak yang dipinjamnya tidak pernah kembali. Aduh cak bagaimana sih cak," keluh Eva seraya menyayangkan peninggalan ayahnya yang kini entah ada dimana.
[Gambas:Video CNN] Eva sendiri tidak pernah mengenal langsung sosok ayahnya sang penyair tersohor. Dia dipisahkan dari Chairil setelah ibunya memutuskan bercerai. Umur Eva kala itu pun masih sangat belia. Di usianya yang belum genap dua tahun, ia pada akhirnya terpisah dengan ayahnya selama-lamanya.
Chairil wafat selang empat bulan dari perpisahannya dengan Hapsah, karena menderita berbagai penyakit, tepatnya pada 28 April 1949. Jasadnya kini bersemayam di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Walau bakat Chairil dalam menulis sajak-sajak puisi begitu handal, tapi menurut Eva itu tidak menurun padanya. Dia memilih menekuni bidang hukum dan bekerja sebagai seorang notaris.
Kendati demikian, dia bersyukur bakat itu menurun pada anaknya, atau cucu Chairil Anwar.
"Bakat menulis tidak menurun sama sekali, disiplin ilmu saya hukum, alhamdulillah turun ke cucu yang pertama kemudian anak saya, cucu saya [cicit Chairil]. Tapi apa pun itu saya mensyukuri di bidang hukum sehingga dapat memproteksi apabila ada yang menyalahgunakan karya Chairil," katanya.
Eva telah dikaruniai tiga orang anak dan empat orang cucu. Dalam kesehariannya, dia kerap bercerita soal sosok Chairil kepada mereka. Tak jarang pula dia meminta cucunya berpuisi, walau harus menawarkan imbalan terlebih dahulu.
"Cucu saya senang baca puisi, kalau lagi kumpul saya suruh mereka ‘Sini-sini mengamen sama Nin (panggilan cucu-cucu kepadanya), baca puisi.’ Nanti saya beri uang ke mereka," ujarnya sembari tertawa.
"Saya sendiri suka baca puisi, tapi tidak pandai. Pernah belajar dengan Rizal Manua dari Teater Tanah Air," tambah Eva. Menurutnya, puisi Chairil yang paling membekas dan menjadi favoritnya adalah puisi Aku.
“Aku, karena dari puisi itu sebetulnya menunjukkan pemberontak diri Chairil, sesudah ayahnya menikah lagi. Ayahnya itu bupati, dia dibesarkan dalam kondisi berkecukupan, tapi karena ayahnya menikah lagi itu yang buat dia pemberontakan," tutur Eva.
Hal itu yang kemudian menjadi inspirasi Chairil saat dia dan ibunya hijrah ke Jakarta, memulai hidup dari yang sebelumnya berkecukupan lalu menjadi gelandang, dan mulai membuat puisi.