Jakarta, CNN Indonesia -- Penulis terkenal asal Jepang, Haruki Murakami mendapat masalah di Hong Kong. Novel terbarunya yang berjudul
Killing Commendatore disebut 'tak senonoh' oleh lembaga sensor.
Mereka lantas meminta buku itu dibungkus rapat serta diberi label peringatan. Ia bahkan dilarang dijual kepada kelompok minoritas. Jika ada yang menyalahi aturan, akan didenda sebesar US$1.270 bahkan menghadapi ancaman hukuman enam bulan penjara.
Sebagai kelanjutannya, protes pun merajalela. Bukan terhadap buku sang penulis, melainkan lembaga sensor di Hong Kong, yang dianggap mengancam kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka lantas membuat petisi online, yang mengutip
AFP kini sudah ditandatangani lebih dari dua ribu orang, untuk melawan pelarangan buku finalis peraih Nobel Sastra itu.
Petisi itu sendiri dibuat oleh gabungan 21 kelompok. Mereka sepakat menyebut pelarangan buku Murakami "akan membuat malu masyarakat Hong Kong" dan menyakiti sektor penerbitan serta kebudayaan negara itu. Namun, lembaga sensor belum juga mengubah keputusannya.
Pihak Murakami juga belum berkomentar apa pun terhadap kejadian itu.
Ini bukan pertama kalinya keputusan pemerintah di bidang seni budaya menuai kontroversi.
Menurut catatan
South China Morning Post, pada 1995 mereka juga menyebut gambar patung David karya seniman Michelangelo dalam sebuah iklan di surat kabar, sebagai 'tak senonoh.'
Toko buku independen juga berada di bawah tekanan setelah pada 2015 ada lima penjual buku-buku dengan judul tak pantas tentang pemimpin politik China, menghilang begitu saja.
Perpustakaan publik Hong Kong juga menyembunyikan buku-buku bertema LGBT, membuatnya hanya bisa dibaca oleh mereka yang meminta secara khusus dan menutup beberapa area karena ada kampanye dari kelompok konservatif. Mengutip
AFP, itu membuat emosi kelompok LGBT.
(rsa)