Jakarta, CNN Indonesia -- Suhu kota Bandung Senin (13/8) pagi menunjukkan 19 derajat Celsius, cukup dingin dan nyaman untuk sekadar duduk-duduk sambil minum teh hangat sembari bersiap memulai aktivitas. Terlebih jam baru menunjukkan pukul 06.00 WIB.
Namun, di waktu itu, para pegiat komunitas permainan tradisional, Komunitas Hong sudah sibuk menyiapkan tempat untuk menyambut tamu dari TK Bintang Mulia Lembang. Ada yang membakar sampah, menyapu halaman atau mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan.
Tonggak nama-nama
permainan tradisional yang akan dimainkan mulai dipasang di sekitar amfiteater, area utama bermain. Beberapa alat permainan pun mulai dikeluarkan dari gudang bekas lumbung padi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didirikan oleh 'doktor' permainan tradisisonal, Mohamad Zaini Alif sejak 2005, Komunitas Hong terletak di Jalan Bukit Pakar Utara No 26 Dago Pakar, Bandung.
Kisah Zaini dan Komunitas Hong bermula dari niatnya memperkenalkan permainan tradisional pada anak-anak. Ia memulainya dari lingkup kecil di depan pekarangan rumahnya di Dago Pakar pada 2001.
Kepada
CNNIndonesia.com, Zaini yang ditemui usai menguji sidang mahasiswa di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, mengungkapkan bahwa kala itu hanya ada lima orang anak yang ia ajak bermain permainan tradisional.
"Lalu makin hari makin bertambah. Ibu-ibunya pun berterima kasih karena anaknya jadi tidak terbawa gim komputer yang bisa menghabiskan uang Rp10 sampai 20 ribu," kenang Zaini.
Merasa kegiatan tersebut penting, Zaini yang telah meneliti permainan tradisional sejak 1996 itu pun mulai mencari tempat yang lebih luas.
Ia memanfaatkan tanah kosong di depan rumah-rumah tetangga untuk bermain. Sampai akhirnya, kegiatan yang dilakukan Zaini terdengar ke berbagai pelosok.
"Banyak sekolah-sekolah yang datang ke kami minta bermain bersama. Pertama-tama kami bisa menerima mereka, tapi makin lama makin banyak dan butuh tempat yang luas. Dan berdirilah ini dengan nama Pakarangan Ulin Komunitas Hong," ungkapnya.
 Anak-anak TK kala berkunjung ke Komunitas Hong di Bandung. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Meski bagi Zaini area bermain Komunitas Hong cukup luas, tapi akses menuju tempat itu tak semudah yang dibayangkan. Gambaran kami saat menuju Komunitas Hong yakni seperti Saung Angklung Mang Udjo, ada area parkir untuk kendaraan bus, mobil, dan sebagainya.
Namun setibanya di sana, gambaran itu pupus. Komunitas Hong memanfaatkan lahan parkir di pinggir jalan depan pekarangan dari dua rumah. Lokasinya sendiri terletak di belakang beberapa rumah yang masih menjadi sanak keluarga Zaini.
Sebagai penanda, di depan hanya bertengger sebuah papan berwarna merah dan bertuliskan 'Pakarangan Ulin Komunitas Hong.' Para pegiat biasanya akan berdiri di pinggir jalan menanti tamu yang datang, mengantisipasi jikalau si tamu tidak melihat plang.
Setelah tamu datang, mereka akan diajak masuk melewati jalan setapak dengan pemandangan pekarangan rumah yang kerap dipakai untuk menjemur cengkeh. Sedikit masuk lebih dalam, pemandangan yang terlihat kandang kambing dan ayam.
Usai berjalan kurang lebih 25 meter, baru akan menemukan lokasi Komunitas Hong sebenarnya. Di sana, terdapat rumah-rumah kayu, lumbung padi, saung-saung kecil serta sebuah amfiteater. Sekeliling lokasi itu hanya dibatasi pepohonan bambu.
Kala menginjakkan kaki di Komunitas Hong, tamu dapat lebih dulu mengunjungi sebuah Museum Permainan Indonesia berukuran 4 x 8 meter. Di sana, Zaini menyimpan sejumlah arsip penelitian berupa data, artefak, serta foto-foto permainan tradisional.
Di depan museum yang menyerupai rumah panggung itu, terdapat sepetak halaman dengan sisi kanan dan kirinya bertengger lumbung padi untuk menyimpan peralatan. Sementara untuk ke amfiteater, area yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu dan bermain, bisa diakses dengan melewati jalan setapak bebatuan.
Menurut Zaini, ia mendirikan Komunitas Hong itu dengan kocek dari sakunya sendiri. Beberapa bangunan yang ada di sana dibangun dengan menggunakan barang-barang bekas. Namun seiring berkembangnya waktu, katanya, Komunitas Hong sudah dapat hidup sendiri.
"Semua tempat di sini tidak ada satu pun barang baru, semuanya bekas, seperti itu bekas lumbung mungkin usia aslinya sudah seratus tahun. Tiang-tiangnya pakai bekas kapal tenggelam, kemudian triplek dari bekas panggung pertunjukan festival, ada yang bekas pertokoan," ungkapnya di sela-sela waktu menanti tamu datang.
 Anak-anak TK asyik bermain permainan tradisional di Komunitas Hong. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Zaini yang pagi itu menyempatkan diri untuk ikut menyambut tamu sebelum menguji mahasiswanya menyampaikan bahwa ia berharap Komunitas Hong berdiri bukan hanya untuk mengenalkan permainan tradisional, melainkan juga memupuk mereka yang datang untuk ikut melestarikan.
"Ini momen pas menurut saya karena kalau anak-anak sekarang kita latihkan, kita berikan konsep pengenalan permainan tradisional maka akan lahir generasi bangsa ini yang lebih kuat di 30 tahun mendatang," harapnya dengan yakin.
Sebagai pengawal kegiatan, pemandu lebih dulu mengajak peserta untuk hompimpa, mengikuti tradisi yang kerap dilakukan setiap memulai permainan. Anak-anak itu ditemani 10 orang pegiat. Di Komunitas Hong sendiri, ada 50 pegiat yang ikut mengembangkan komunitas itu.
Pertama-tama, mereka mengajak bermain untuk ampar-ampar pisang. Menurut pemandu, itu melatih ketukan dan rasa.
Ada pula permainan sur-ser, tangan kiri mengepal dan diketuk ke paha kiri, sementara tangan kanan mengusap paha kanan. Permainan itu dilakukan bergantian untuk melatih keseimbangan otak kiri dan kanan masing-masing peserta.
Di samping itu, terdapat permainan rorodaan, papancakan, paparahuan sarung, membuat uletan dari daun kelapa, dan sebagainya. Di sela-sela permainan, peserta turut disuguhi makanan tradisional berupa pisang rebus, keripik singkong, dan minuman bandrek.
Disuguhi banyak permainan, anak-anak menyambutnya dengan gembira dan antusias meski terkadang ada raut bingung di wajah mereka.
Untuk peserta dari kalangan taman kanak-kanak, pegiat mengatakan bahwa biasanya mereka hanya diperkenalkan saja lalu didampingi untuk mencoba. Sementara untuk mereka yang remaja, biasanya akan dikompetisikan untuk menambah keseruan.
Selain kegiatan bermain seperti itu, Zaini mengatakan bahwa Komunitas Hong juga terkadang membuat program ke daerah-daerah lain.
"Kami juga selalu ada program ke pelosok Nusantara seperti tanggal 16 Agustus ke Pulau Kei di Maluku Utara untuk coba gali potensi mainannya dari data-data yang didapat dari Belanda. Lalu di sana kami mencoba mengenalkan ke mereka dan edukasi mereka dengan pendidikan karakter melalui permainan tradisional," ungkapnya.
Zaini juga memiliki mimpi untuk permainan tradisional di halaman selanjutnya...
Mendirikan Komunitas Hong adalah salah satu upaya Zaini dapat mendorong permainan tradisional tetap eksis. Sebelum itu, ia resah karena menyaksikan langsung kawan-kawannya di sekolah tidak merasakan kebebasan bermain permainan tradisional, seperti dirinya kala tinggal di kampung.
"Tidak merasakan kesenangan, tidak merasakan embun di pagi hari, tidak merasakan nilai kebebasan, kemudian berlari bersama, ke sekolah bersama yang menyenangkan," kenangnya.
Setelah menyelesaikan bangku SMA, keresahannya semakin menjadi saat melihat tidak ada lagi anak-anak yang main seperti dirinya. Dia pun lantas mengembara, mencari tahu, dan meneliti seluk beluk permainan tradisional yang mulai dilupakan.
Ia mengaku lulus dari Strata 1 sebagai Sarjana Permainan Tradisional meski mengambil jurusan desain produk. Menurutnya, 'gelar' itu hasil diskusi dan meyakinkan para dosen bahwa permainan tradisional itu penting, sehingga ia meneliti hal tersebut.
"Nah, dari sana saya makin menggelora. Saya seperti 'ini harus disampaikan,' dan makin lama makin menggali tentang permainan tradisional. Sampai saya masuk S2, saya mencari perubahan dan perkembangan permainan tradisional di Indonesia seperti apa, berubahnya di mana, perkembangannya seperti apa," paparnya.
Dari sana, lanjut Zaini, ia menemukan potensi dan nilai-nilai permainan tradisional yang harus disampaikan ke anak-anak. Temuan itu diteruskan sampai ia menempuh pendidikan S-3. Dalam strata ini, ia meneliti tentang transmisi permainan itu berlangsung, transmisi pendidikan melalui permainan, hingga ia pun menyandang titel sebagai 'doktor' permainan tradisional.
"Saya harap dapat memberikan manfaat ke banyak orang, salah satunya dengan membangun komunitas ini karena saya agak pesimistis waktu itu mainan di Indonesia akan ke sekolah-sekolah dengan terbatasnya waktu dengan target yang berbeda di kurikulum-kurikulum sekarang," ujarnya.
Dengan tekad itu, dia pun membuat beberapa komunitas serupa di beberapa wilayah dengan harapan dapat terus tersebar.
"Saya tidak ingin hanya buat satu tapi ibarat lampu menerangi semuanya, saya ingin membuat lilin saja, kecil-kecil tapi bisa menerangi di semua tempat," kata Zaini.
Di samping komunitas, Zaini juga membuat sebuah Museum Permainan Tradisional. Bagi Zaini, tempat itu perwujudan gengsi karena Indonesia punya begitu banyak jumlah permainan tapi tidak ada tempat untuk dapat mengakses informasinya.
 Permainan tradisional seperti kelereng sudah jarang ditemukan. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas) |
"Museum ini [dibangun] karena banyak pertanyaan yang kadang membuat saya berpikir keras," kata Zaini.
Zaini lalu mengisahkan kala dirinya di Jepang dan mengisahkan temuannya atas nyaris 2.600 permainan tradisional di Indonesia, peserta seminarnya bertanya jumlah museum permainan tradisional yang dimiliki Indonesia.
"Karena mereka meski tidak punya banyak [permainan tradisional] tapi sudah punya tiga museum permainan tradisional, Singapura ada dua, dan Malaysia punya satu yang besar. Negara lain punya, sedangkan Indonesia tidak," katanya.
Oleh karenanya, ia pun membuat museum permainan tradisional yang khusus dalam ruangan berukuran 4x8 meter.
"Mudah-mudahan mewakili permainan tradisional indonesia yang menampung data 2.600 permainan dengan berbagai foto dan artefak bisa dikumpulkan," harapnya.
Di sisi lain, ia juga membuat buku ensiklopedia yang diharapkan dapat dibagikan secara gratis kepada anak-anak Indonesia. Tujuannya, agar semua keluarga memiliki data dan menjadikan buku itu sebagai panduan untuk bermain dengan cara menyenangkan.
Hingga kini, Zaini mengatakan dirinya masih terus melakukan penelitian tentang permainan tradisional dengan harapan kelak ia dapat menyandang gelar 'profesor' permainan tradisional.
"Saya berharap [bisa] memberi keyakinan kepada anak-anak, semua orang, kalau sesuatu -apapun itu- yang tidak dianggap berharga tapi bisa jadi permainan tradisional, kalau kita menyukainya dan mau mengamalkan untuk semua orang maka akan jadi hal bernilai di Indonesia," harap Zaini Alif.