'Lilin' Zaini Alif untuk Menjaga Permainan Tradisional

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Minggu, 19 Agu 2018 10:23 WIB
Berawal dari keresahan, Mohamad Zaini Alif bertekad menjaga permainan tradisional Indonesia dengan mengenalkannya kepada anak-anak.
Berawal dari keresahan, Mohamad Zaini Alif bertekad menjaga permainan tradisional dengan mengenalkannya kepada anak-anak. (CNN Indonesia/Yoko Yonata Purba)
Jakarta, CNN Indonesia -- Suhu kota Bandung Senin (13/8) pagi menunjukkan 19 derajat Celsius, cukup dingin dan nyaman untuk sekadar duduk-duduk sambil minum teh hangat sembari bersiap memulai aktivitas. Terlebih jam baru menunjukkan pukul 06.00 WIB.

Namun, di waktu itu, para pegiat komunitas permainan tradisional, Komunitas Hong sudah sibuk menyiapkan tempat untuk menyambut tamu dari TK Bintang Mulia Lembang. Ada yang membakar sampah, menyapu halaman atau mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan.

Tonggak nama-nama permainan tradisional yang akan dimainkan mulai dipasang di sekitar amfiteater, area utama bermain. Beberapa alat permainan pun mulai dikeluarkan dari gudang bekas lumbung padi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Didirikan oleh 'doktor' permainan tradisisonal, Mohamad Zaini Alif sejak 2005, Komunitas Hong terletak di Jalan Bukit Pakar Utara No 26 Dago Pakar, Bandung.

Kisah Zaini dan Komunitas Hong bermula dari niatnya memperkenalkan permainan tradisional pada anak-anak. Ia memulainya dari lingkup kecil di depan pekarangan rumahnya di Dago Pakar pada 2001.

Kepada CNNIndonesia.com, Zaini yang ditemui usai menguji sidang mahasiswa di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, mengungkapkan bahwa kala itu hanya ada lima orang anak yang ia ajak bermain permainan tradisional.

"Lalu makin hari makin bertambah. Ibu-ibunya pun berterima kasih karena anaknya jadi tidak terbawa gim komputer yang bisa menghabiskan uang Rp10 sampai 20 ribu," kenang Zaini.

Merasa kegiatan tersebut penting, Zaini yang telah meneliti permainan tradisional sejak 1996 itu pun mulai mencari tempat yang lebih luas.

Ia memanfaatkan tanah kosong di depan rumah-rumah tetangga untuk bermain. Sampai akhirnya, kegiatan yang dilakukan Zaini terdengar ke berbagai pelosok.

"Banyak sekolah-sekolah yang datang ke kami minta bermain bersama. Pertama-tama kami bisa menerima mereka, tapi makin lama makin banyak dan butuh tempat yang luas. Dan berdirilah ini dengan nama Pakarangan Ulin Komunitas Hong," ungkapnya.
Anak-anak TK kala berkunjung ke Komunitas Hong di Bandung.Anak-anak TK kala berkunjung ke Komunitas Hong di Bandung. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Meski bagi Zaini area bermain Komunitas Hong cukup luas, tapi akses menuju tempat itu tak semudah yang dibayangkan. Gambaran kami saat menuju Komunitas Hong yakni seperti Saung Angklung Mang Udjo, ada area parkir untuk kendaraan bus, mobil, dan sebagainya.

Namun setibanya di sana, gambaran itu pupus. Komunitas Hong memanfaatkan lahan parkir di pinggir jalan depan pekarangan dari dua rumah. Lokasinya sendiri terletak di belakang beberapa rumah yang masih menjadi sanak keluarga Zaini.

Sebagai penanda, di depan hanya bertengger sebuah papan berwarna merah dan bertuliskan 'Pakarangan Ulin Komunitas Hong.' Para pegiat biasanya akan berdiri di pinggir jalan menanti tamu yang datang, mengantisipasi jikalau si tamu tidak melihat plang.

Setelah tamu datang, mereka akan diajak masuk melewati jalan setapak dengan pemandangan pekarangan rumah yang kerap dipakai untuk menjemur cengkeh. Sedikit masuk lebih dalam, pemandangan yang terlihat kandang kambing dan ayam.

Usai berjalan kurang lebih 25 meter, baru akan menemukan lokasi Komunitas Hong sebenarnya. Di sana, terdapat rumah-rumah kayu, lumbung padi, saung-saung kecil serta sebuah amfiteater. Sekeliling lokasi itu hanya dibatasi pepohonan bambu.

Kala menginjakkan kaki di Komunitas Hong, tamu dapat lebih dulu mengunjungi sebuah Museum Permainan Indonesia berukuran 4 x 8 meter. Di sana, Zaini menyimpan sejumlah arsip penelitian berupa data, artefak, serta foto-foto permainan tradisional.

Di depan museum yang menyerupai rumah panggung itu, terdapat sepetak halaman dengan sisi kanan dan kirinya bertengger lumbung padi untuk menyimpan peralatan. Sementara untuk ke amfiteater, area yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu dan bermain, bisa diakses dengan melewati jalan setapak bebatuan.

Menurut Zaini, ia mendirikan Komunitas Hong itu dengan kocek dari sakunya sendiri. Beberapa bangunan yang ada di sana dibangun dengan menggunakan barang-barang bekas. Namun seiring berkembangnya waktu, katanya, Komunitas Hong sudah dapat hidup sendiri.

"Semua tempat di sini tidak ada satu pun barang baru, semuanya bekas, seperti itu bekas lumbung mungkin usia aslinya sudah seratus tahun. Tiang-tiangnya pakai bekas kapal tenggelam, kemudian triplek dari bekas panggung pertunjukan festival, ada yang bekas pertokoan," ungkapnya di sela-sela waktu menanti tamu datang.
Anak-anak TK asyik bermain permainan tradisional di Komunitas Hong.Anak-anak TK asyik bermain permainan tradisional di Komunitas Hong. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Zaini yang pagi itu menyempatkan diri untuk ikut menyambut tamu sebelum menguji mahasiswanya menyampaikan bahwa ia berharap Komunitas Hong berdiri bukan hanya untuk mengenalkan permainan tradisional, melainkan juga memupuk mereka yang datang untuk ikut melestarikan.

"Ini momen pas menurut saya karena kalau anak-anak sekarang kita latihkan, kita berikan konsep pengenalan permainan tradisional maka akan lahir generasi bangsa ini yang lebih kuat di 30 tahun mendatang," harapnya dengan yakin.

Sebagai pengawal kegiatan, pemandu lebih dulu mengajak peserta untuk hompimpa, mengikuti tradisi yang kerap dilakukan setiap memulai permainan. Anak-anak itu ditemani 10 orang pegiat. Di Komunitas Hong sendiri, ada 50 pegiat yang ikut mengembangkan komunitas itu.

Pertama-tama, mereka mengajak bermain untuk ampar-ampar pisang. Menurut pemandu, itu melatih ketukan dan rasa.

Ada pula permainan sur-ser, tangan kiri mengepal dan diketuk ke paha kiri, sementara tangan kanan mengusap paha kanan. Permainan itu dilakukan bergantian untuk melatih keseimbangan otak kiri dan kanan masing-masing peserta.

Di samping itu, terdapat permainan rorodaan, papancakan, paparahuan sarung, membuat uletan dari daun kelapa, dan sebagainya. Di sela-sela permainan, peserta turut disuguhi makanan tradisional berupa pisang rebus, keripik singkong, dan minuman bandrek.

Disuguhi banyak permainan, anak-anak menyambutnya dengan gembira dan antusias meski terkadang ada raut bingung di wajah mereka.

Untuk peserta dari kalangan taman kanak-kanak, pegiat mengatakan bahwa biasanya mereka hanya diperkenalkan saja lalu didampingi untuk mencoba. Sementara untuk mereka yang remaja, biasanya akan dikompetisikan untuk menambah keseruan.

Selain kegiatan bermain seperti itu, Zaini mengatakan bahwa Komunitas Hong juga terkadang membuat program ke daerah-daerah lain.

"Kami juga selalu ada program ke pelosok Nusantara seperti tanggal 16 Agustus ke Pulau Kei di Maluku Utara untuk coba gali potensi mainannya dari data-data yang didapat dari Belanda. Lalu di sana kami mencoba mengenalkan ke mereka dan edukasi mereka dengan pendidikan karakter melalui permainan tradisional," ungkapnya.

Zaini juga memiliki mimpi untuk permainan tradisional di halaman selanjutnya...

Ingin 'Menularkan' ke Orang Lain

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER