Jakarta, CNN Indonesia -- Suara medok Reza Rahadian terdengar di kegelapan memecah kesunyian. Seiring ia membacakan surat pertama dari Panji Darman dengan tempo cepat, lampu panggung pun mulai menyala. Kekuningan. Penanda pentas dimulai.
Di kursi rotan yang diatur berhadapan, baru terlihat Reza duduk dengan pakaian khas Jawa. Jas, sarung batik dan blangkon. Di hadapannya, ada Marsha Timothy dengan pose layaknya wanita terhormat.
Pertunjukan teater Bunga Penutup Abad dipentaskan untuk ketiga kalinya pada akhir pekan ini, 17-18 November di Taman Ismail Marzuki, dengan kisah, alur, tata panggung, dan beberapa aspek lain yang masih sama. Ada Chelsea Islan yang masih berperan sebagai Annelies, Lukman Sardi sebagai Jean Marais, dan Sabia Arifin sebagai May Marais.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya kehadiran Marsha Timothy lah yang kini menjadi pembeda dari pentas yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Dia berperan sebagai Nyai Ontosoroh, tokoh yang sebelumnya dimainkan Happy Salma di dua pementasan awal pada Agustus 2016 dan Maret 2017.
Reza sendiri kembali menjelma menjadi Minke.
Di panggung, surat yang menginformasikan perjalanan Panji Darman ke Belanda selesai dibacakan. Minke dan Nyai kemudian berdialog tentang bagaimana mereka bosan harus terus dikurung di rumah besar itu, memikirkan, menunggu dan merindukan Annelies.
"Annelies telah berlayar," ucap Minke termenung.
Minke kemudian mengatakan tak sabar segera menyusul ke Belanda, tempat istri yang dicintainya kini berada. Annelies lah yang dijagai Panji Darman sepanjang perjalanan dengan kapal ke Belanda itu. Annelies pula sebab Panji Darman rajin berkirim surat.
Minke dan Nyai pun mengenang kali pertama mereka bertemu. Minke, siswa HBS diajak kawannya Robert Suurhof berkunjung ke Boerderij Buitenzorg di Wonokromo, Surabaya.
Sementara kawannya itu bercengkerama dengan kakak Annelies, Robert Mallema, Minke bertemu dengan sang gadis Indo cantik yang langsung memukau hatinya. Berkenalanlah ia dengan Annelies. Sikap santun, pujian, sampai ciuman Minke membuat Annelies melayang. Ia bahkan mengajak Minke tinggal di rumahnya.
 Marsha tampil lebih baik dari peran pertamanya di panggung teater. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Lambat laun keduanya saling jatuh cinta lalu menikah. Gunjingan sempat datang, terutama karena Minke pribumi, meskipun dari kalangan bangsawan dan terpelajar, dan Annelies berdarah campuran Belanda. Tapi Minke banyak dibela karena tulisan-tulisannya membuat hati masyarakat tergerak.
Masalah memuncak ketika Nyai dan Tuan, seorang Belanda bernama Herman Mellema, ternyata tak pernah punya ikatan perkawinan. Herman punya istri sah di Belanda sana, juga anak kandung bernama Maurits Mellema. Mereka menuntut hak.
Seluruh harta Herman menjadi milik mereka setelah Sang Tuan ditemukan meninggal di rumah pelacuran. Ada bagian untuk Annelies, tapi karena ia belum dewasa maka walinya jatuh ke tangan Maurits. Inilah yang membuat Annelies harus pulang ke Belanda.
Ia tak boleh ditemani Minke maupun Nyai. Hanya ada Panji Darman di sampingnya. Panji menemani Annelies dan merawatnya di Belanda, sampai Annelies meregang nyawa.
Bunga Penutup Abad merupakan panggung kedua bagi Marsha setelah tampil sebagai Ida dalam Perempuan-Perempuan Chairil. Peran itulah yang kemudian menjadi batu loncatan Marsha dalam dunia panggung hingga dipercaya memerankan salah satu peran wanita ikonis Nyai Ontosoroh oleh sang sutradara Wawan Sofwan.
Kiprah akting Marsha di film memang punya catatan yang baik. Ia bahkan dinobatkan sebagai Aktris Terbaik mengalahkan Nicole Kidman dalam Sitges International Fantastic Film Festival 2017 di Catalonia, Spanyol.
Namun, sulit rasanya melepas bayang-bayang Happy Salma saat memerankan karakter Nyai Ontosoroh di dua pementasan sebelumnya. Meski Marsha tak menunjukkan aksi yang buruk, tapi energi serta kharisma Happy belum tertandingi.
Dalam pertunjukan dua tahun silam, Happy membius penonton dengan keanggunan, keagungan, serta sikap terhormat yang melingkupi sepanjang pementasan. Ini ditambah dengan caranya mentransfer kekuatan kata-kata magis milik Pram.
Happy bahkan sebenarnya merupakan 'penyelamat' panggung Bunga Penutup Abad pada saat itu.
 Happy Salma berperan sebagai produser dalam pementasan Bunga Penutup Abad kali ini.(CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Namun keinginan Happy untuk tak ingin karakter itu melekat pada dirinya saja patut dihargai. Pilihannya yang bertindak sebagai produser di pementasan ini pun tentu tak diputuskan secara sembarang. Pasalnya, ia dan sang sutradara Wawan mengatakan memilih pemeran Nyai dari 72 daftar nama.
Selama pertunjukkan, aksi Marsha sendiri terbilang meningkat ketimbang panggung pertamanya. Keseriusan dan usahanya pun terpancar pada beberapa bagian, seperti pada momen ia mengetahui sang putri Annelies meninggal di tangan orang yang tak mengenalnya.
Marsha bisa meluapkan rasa kehancuran sekaligus ketidakadilan yang dialaminya dengan memikat.
Sayangnya, sesekali ia terdengar masih terselip lidah dan bingung untuk menyebut Minke sebagai 'Nak' atau 'Nyo [Sinyo]' hingga menggabungkan keduanya sebagai 'Nak Nyo.'
Sementara, dalam pertunjukan yang dipentaskan untuk ketiga kali ini, beberapa pemain lain terlihat menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Reza misalnya, pada pentas perdana Bunga Penutup Abad dua tahun silam yang juga menjadi panggung teater perdana untuknya, masih terlihat gugup. Suaranya kerap terdengar bergetar.
Namun kini, ia sudah lebih menguasai panggung. Kepercayaan dirinya tampak terpancar dari cara bercerita yang lebih luwes dan jelas. Bahasa tubuhnya pun mampu mentransfer emosi yang tengah ia resapi.
Reza bisa menampilkan rasa canggung sekaligus panik saat Annelies bercerita pada Nyai bahwa ia telah menciumnya. Penonton terbawa dan tertawa meski jelas tokoh Minke tak sedang melontarkan humor yang kentara.
Begitu juga dengan Lukman Sardi sebagai Jean Marais. Ia tampak begitu percaya diri. Untuk perannya, Lukman mendapat riuh tepuk tangan terdengar lebih keras ketimbang empat pemain lain di akhir pertunjukan.
Sayang, perkembangan yang sama tak ditunjukkan oleh Chelsea Islan...
(bersambung ke halaman selanjutnya...)
Sayang, perkembangan yang sama tak ditunjukkan oleh Chelsea Islan. Ia masih gagal menggali karakter Annelies dan tetap dengan gaya yang terlalu kekanak-kanakan.
Setiap kali ia memanggil 'Mama' dengan suara dan nada memanja, semakin terasa kekanakannya. Tak jarang terdengar suara bisikan penonton yang menertawakan atau menghela nafas karena tingkahnya yang seolah membuat jengah. Itulah yang membuat, sosok Annelies ciptaan Pram yang tak hanya cantik dan lemah lembut namun meyimpan kekuatan, tak kunjung muncul di panggung.
Terlepas dari akting para pemain, pertunjukan yang judulnya mengutip salah satu frase dalam tulisan Pram, Bunga Penutup Abad itu tak memiliki perubahan berarti. Set, musik, serta tata lampu dan cahaya masih sama. Sederhana.
Satu yang begitu mengganggu yakni saat perpindahan set. Hilir mudik kru pergantian set memecahkan fokus penonton saat menyimak kisah. Belum lagi prosesnya yang cukup lambat dan begitu kentara. Satu properti diletakkan satu orang. Betapa banyaknya kru yang hilir mudik cukup menghancurkan suasana yang telah dibangun oleh para pemain dan terlihat kurang efektif untuk pementasan besar.
Fatalnya, tindakan kru mencederai suasana terasa nyata kala adegan yang justru sangat krusial yakni saat Annelies hendak pergi ke Belanda. Dalam adegan itu, Annelies keluar dari kamarnya dengan menggunakan baju pengantin dan hendak memberikan salam perpisahannya kepada sang ibu dan suami.
Kala itu, Ann memang terlihat tak menutup rapat pintu yang ada di dalam set. Tiba-tiba, datanglah seorang kru yang menutup pintu tersebut dari belakang panggung. Sungguh sebuah kelancangan yang mengganggu konsentrasi penonton.
Padahal perihal tertutup atau tidaknya pintu bukan sebuah kesalahan fatal yang dapat mengganggu jalannya cerita. Kru seakan lupa bahwa teater membutuhkan momen magis tanpa adanya kemunculan pemecah dinding keempat di atas panggung.
Selain Marsha Timothy yang menjadi pembeda, Bunga Penutup Abad juga baru merilis soundtrack pementasannya di pentas ini. Dipimpin Ricky Lionardi, musik tercipta sangat persis dengan gambaran kisah lakon yang bernuansa miris, gamang, namun tetap hangat.
Sayangnya, lagu-lagu ini kurang maksimal disatukan dengan elemen-elemen lainnya. Banyak adegan yang dibiarkan senyap akan iringan musik sehingga adegan yang rata-rata berisi narasi jadi cukup membosankan. Bahkan dalam beberapa kali pergantian set yang memakan waktu lebih dari 20 detik, musik tetap dibiarkan senyap hingga yang terdengar hanyalah dorongan roda dan suara langkah kaki kru.