Jakarta, CNN Indonesia --
Game of Thrones akhirnya benar-benar menuntaskan kisahnya di musim kedelapan setelah mengudara sejak 2011.
Episode pamungkas yang tayang pada Senin (20/5) pagi waktu Indonesia ini menjadi penentuan tentang siapa yang akhirnya duduk di atas takhta setelah diperebutkan sejak musim pertama.
Manis dan getir hingga kehancuran dan kemenangan mewarnai musim final yang berjumlah enam episode ini. Pada episode awal, babak akhir
Game of Thrones dibuka dengan manis akan pertemuan karakter-karakter utamanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penonton dibawa larut oleh momen tersebut usai menantikan kelanjutan kisah
Game of Thrones sejak musim ketujuh berakhir pada pertengahan Juli 2017. Namun momen yang cukup menghangatkan itu tak berlangsung lama.
Konflik demi konflik melaju cepat demi menuntaskan ancaman yang selama ini menghantui para penghuni benua Westeros, yakni Night King. Setelah berhasil menaklukkan Night King, mereka kemudian saling berperang demi takhta 'Iron Throne'.
Kejutan dari plot cerita telah melekat sebagai keunggulan akan kisah
Game of Thrones hingga kemudian amat digemari.
 Setelah berhasil menaklukkan Night King, para penguasa di Westeros kemudian saling berperang demi takhta 'Iron Throne'. (Dok. HBO) |
Dari musim ke musim,
Game of Thrones gemar menyuguhkan alur cerita yang sulit ditebak bahkan jarang berakhir dengan bahagia. Mereka pun kerap mematikan karakter utamanya.
Hal itu yang kemudian membuat penonton rasanya terus dibuat penasaran dan bertahan.
Hanya saja, musim final serial fantasi yang disadur dari novel karangan George R. R. Martin ini meninggalkan ragam reaksi. Sebagian besar merasa kecewa dengan alur cerita yang terkesan terburu-buru. Kejutan yang diberikan tak sesuai harapan.
Bahkan, sempat muncul petisi bahwa musim kedelapan serial ini harus diproduksi ulang.
Bila dibandingkan beberapa musim sebelumnya, musim delapan
Game of Thrones memang terasa mengambil langkah cepat untuk diakhiri.
Dari jumlah episode misalnya, sejak musim pertama hingga enam, HBO menyuguhkan setidaknya 10 episode per musim. Lalu berkurang menjadi 8 episode pada musim ketujuh dan kian berkurang di musim akhir yang hanya berjumlah enam episode.
Selain itu, segi cerita pengembangan dan penyelesaian pada beberapa karakter pun berakhir kurang memuaskan.
Pada Daenerys Targaryen misalnya. Ia menjadi karakter yang awalnya dibangun dengan citra protagonis yang kuat, membebaskan mereka yang tak bersalah, berusaha memutuskan roda kekuasaan, tapi kemudian berakhir menjadi pemimpin bengis nan haus darah.
 Daenerys Targaryen yang diperankan Emilia Clark. (Dok. HBO Asia) |
Kehilangan demi kehilangan yang ia rasakan bisa saja jadi alibi Daenerys untuk balas dendam. Namun langkah "balas dendam" yang ia ambil terkesan gegabah, bila tak disebut gelap mata.
Kemudian pada karakter Cersei Lannister. Karakter ini terbangun kuat dan amat jahat, namun berakhir dengan cara yang kurang epik. Serasa kurang setimpal dengan segala kebengisan dan kezaliman Cersei sepanjang kisah
Game of Thrones.
HBO dan kru
Game of Thrones seolah berniat memberikan akhir yang 'manusiawi' setelah sebelumnya memberikan penonton beragam tindakan penuh darah dan pemberangusan tak terperi.
Sehingga wajar bila sebagian penonton merasa tak terpuaskan hasratnya dengan enam episode akhir ini.
Terlepas dari alur cerita di musim terakhir yang kurang memenuhi ekspektasi dan terburu-buru, setidaknya episode pamungkas ini sebuah balasan manis yang setimpal bagi keluarga Stark yang sejak awal mendapat nasib nahas.
[Gambas:Youtube] (agn/end)