Belenggu Kehidupan Keluarga Pramoedya di Balik 'Bumi Manusia'

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Sabtu, 17 Agu 2019 08:15 WIB
Keluarga Pramoedya Ananta Toer harus menerima beragam ancaman dan teror semasa sang sastrawan jadi tahanan politik dan diasingkan di Pulau Buru.
Potret keluarga Pramoedya Ananta Toer. Ketika potret ini dibuat, Pram telah diasingkan di Pulau Buru. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)

Sementara Tatiana, pada salah satu suratnya mencurahkan keinginan hidup normal, layaknya anak lain yang dapat bercengkerama dengan ayah mereka.

"Papa, Ijan [Panggilan Tatiana] sudah masuk SMP perguruan Rakjat, diabsen guru agama tanya soal anak Ananta Toer. Ijan banyak ulangan bulan ini mudah-mudahan nilai bagus. Selalu berdoa papa cepat pulang, biar kita bisa kumpul kembali," tulisnya di awal surat.

"Ijan kalau melihat anak ketjil dibawa jalan-jalan oleh ayahnya, Ijan sangat iri padanja," tulis Ijan pada surat yang tertanggal 24 Februari 1976.

Ada sekitar 20 pucuk surat seukuran kartu pos yang sempat dipajang dalam sebuah pameran yang berlangsung pada April hingga Juni 2018.

Surat memang jadi satu-satunya obat rindu Pram dan keluarganya. Namun mereka pun harus menunggu setahun untuk bisa saling berbalas surat.

"Terima kasih tak terhingga untuk ajahanda, bukan saja dalam kata-kata tapi juga dalam bathin atas kiriman surat ajahanda tanggal 21 Mei 1976 sampai 15 Maret 1977, hampir setahun," tulis Titiek dalam surat tertanggal 23 Maret 1977.

Surat dari Pram sendiri, kata Titiek, lebih berisi perkembangan dan kejadian di tahanan. Namun itu pun yang biasa-biasa saja, katanya.

"Kadang dia bicara bahwa, 'papa sudah menulis buku, mungkin ini yang akan menjadi masterpiece-nya papa, mungkin ini akan kuberikan pada kau'," kenang Titiek sembari duduk di sebuah kursi rotan dan menyeruput teh hangat.

Saat mengirimkan surat, menurut Titiek, sang ibu biasanya turut menitipkan makanan, pakaian, serta obat-obatan. Namun, semua berakhir mengenaskan.

"Kalau mau Lebaran, anak-anak bikin rendang, sekalian obat-obatan dan baju. Terus setelah sampai sana, baju, rendang, obat-obatan jadi satu. Entah sengaja atau tidak, itu diaduk-aduk jadi satu," kata Titiek.

Potret Pramoedya Ananta Toer bersama sang istri, Maemunah Thamrin.Potret Pramoedya Ananta Toer bersama sang istri, Maemunah Thamrin. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)

Terbebas dari Belenggu

Pram dinyatakan bebas tanpa proses pengadilan dan tidak bersalah pada November 1979. Dia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dan langsung pulang ke rumah yang dibangun Maemunah di Utan Kayu, Jakarta Timur.

Satu tahun setelahnya, Pram merilis buku pertama Tetralogi Buru, Bumi Manusia yang ia tulis dalam kertas semen selama berada di pengasingan. Selepas itu, hidup Pram dan keluarga pun tak sepenuhnya dapat bernafas lega.

Novel Pram dilarang karena dituduh menyebarkan pemikiran Marxisme-Leinisme serta Komunisme. Hal itu pun lagi-lagi berdampak pada anak-anak Pram.

"Teraniaya berat, saya dari SD teraniaya terus, dikucilkan. Setiap sekolah dikatain 'PKI PKI.' Begitu dewasa enggak boleh berteman sama tetangga. Sampai mau ditembak," ungkap Setyaning Rakyat, putri ketiga Pram, sambil terisak menahan tangis mengenang tekanan yang dialami sejak masa kecilnya, kepada CNNIndonesia.com pada kesempatan terpisah.

Hal senada juga disampaikan Titiek. Menurutnya, selama ini mereka hidup dalam belenggu. Kini belenggu itu terlepas.

"Tidur pun di sebelahnya ada senjata. Pram itu hidupnya tidak pernah tenang. Karena dia diumur 50 tahun saja, sepertiga umurnya habis di penjara. Dia juga enggak tahu sebenarnya hidupnya di mana, zaman ini ditangkap, itu ditangkap," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keluarga Pramoedya Ananta Toer dari kiri ke kanan: Angga (cucu Pram), Rova (cucu Pram), Arina (anak Pram), Setyaning (anak Pram), Tatiana (anak Pram) dan Astuti (anak Pram), saat menyaksikan 'Bumi Manusia'. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)

"Dan kami, diancam macam-macam. 'Kalau Pram begini, kamu kakinya saya buntungin.' Sering begitu-begitu," kata Titiek.

Namun akhirnya, kini mereka mengaku bisa mencecap manisnya hidup saat menyaksikan perayaan sosok Pram lewat perilisan dua film yang diadaptasi dari karya sang ayah, Perburuan dan Bumi Manusia.

Kedua film itu dijadwalkan tayang bersamaan pada 15 Agustus 2019.

"Terharu sedih, ih luar biasa ingin menangis saya. InshaAllah, semoga sukses, dan Alhamdulillah senang. Sedihnya hanya karena papa enggak bisa liat ini," kata Setyaning saat momen perilisan Bumi Manusia.

Usai menonton film beberapa kali, Titiek mengatakan bahwa ia pun begitu bergembira. Air mata haru tak bisa lagi dibendungnya kala akhirnya melihat karya Pram dirayakan.

"Saya senang sekali, kan dulu-dulunya belum pernah, bukan belum pernah tapi selama saya besar, selama saya dewasa, saya belum pernah menyaksikan film-film dari karyanya Pram. Jadi saya baru kali ini melihat, dan saya juga berpikir gimana ya, sudah deh begitu saja," ungkap Titiek, kehabisan kata-kata.

(end)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER