Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memperluas pengawasan ke ranah media baru seperti Netflix, Youtube, Facebook dan lain sebagainya menuai kontroversi.
Pada laman petisi online Change.org, sekitar 70 ribu warganet (data per 15 Agustus 2019) telah menandatangani petisi menolak masuknya KPI ke ranah media baru.
Alasannya pun bermacam-macam. Mulai dari rencana KPI tersebut menyalahi undang-undang, hingga melindungi konten media baru yang menjadi alternatif atas kejenuhan konten televisi atau radio konvensional yang itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, patut dan layak kah KPI melakukan ekspansi pengawasan di luar media konvensional?
Pertentangan yang terjadi di ranah publik mengenai rencana KPI ini dikuatkan oleh mandat bahwa KPI hanya bertugas mengawasi penyiaran yang menggunakan frekuensi publik. Mandat ini tercantum dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang merupakan dasar utama pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Frekuensi publik yang dimaksud adalah spektrum frekuensi radio yang merupakan gelombang elektromagnetik dan dipergunakan untuk penyiaran. Frekuensi radio ini merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika frekuensi publik dijaga, dilindungi oleh negara, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat.
Hanya saja, pedoman dasar terbentuknya KPI adalah bukan semata-mata perihal pemanfaatan frekuensi publik.
Jika ditinjau dari amanah Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, lembaga negara independen ini didirikan agar terciptanya atmosfer penyiaran yang memperkukuh integritas nasional dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih dari itu, agar penyiaran di Indonesia mampu menghasilkan konten-konten yang informatif, mendidik, hiburan yang sehat, serta kontrol dan jadi perekat sosial. Hal inilah yang menjadi dasar filosofis mengapa diperlukan pengawasan terhadap penyiaran.
Pergeseran Komunikasi MassaKetika Undang-Undang Penyiaran disahkan pada 2002, tentu definisi penyiaran dan lembaga penyiaran yang ditetapkan masih sangat kaku.
Saat itu, aktor komunikasi massa masih dilekatkan pada lembaga penyiaran. Hal ini membuat dikotomi bahwa aktor komunikasi massa hanya dilakukan oleh lembaga penyiaran yang terdiri dari lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan lembaga penyiaran berlangganan.
Saat itu internet memang telah masuk di Indonesia, namun dengan penetrasi yang belum luas dan belum mengubah kultur masyarakat. Orang-orang pun masih mengandalkan media massa televisi, radio dan cetak sebagai objek konsumsi informasi.
Karena itu wajar jika KPI lebih bertugas mengawasi penyiaran pada media-media konvensional.
Kini, perlu ada pengkajian ulang mengenai siapa dan apa yang menjadi aktor komunikasi massa.
Apalagi proses komunikasi massa yang selalu dikaitkan dengan lembaga penyiaran, tidak lagi relevan dalam konteks kekinian. Manuel Castells, ilmuwan komunikasi dalam karyanya berjudul Communication Power, menjelaskan bahwa kita telah hidup pada era di mana komunikasi massa telah bergerak jauh di luar batasan-batasan media konvensional. Saat ini, aktor komunikasi massa yang dikenal dengan self-mass communicator telah menjandi unsur utama dalam sistem komunikasi yang baru dan mampu mengubah cara pandang, perasaan dan perilaku masyarakat.
Self-mass communicator yang dimaksud oleh Castell adalah bahwa setiap orang kini mampu berperan dan memiliki pengaruh yang kuat layaknya lembaga penyiaran.
Aktor komunikasi massa tidak lagi dipandang dalam skala makro yang melekat pada korporasi atau institusi, melainkan seharusnya ditinjau dalam skala mikro yang berwujud individu. Pada media baru khususnya media sosial, setiap orang dapat memproduksi informasi dan siarannya sendiri. Dengan satu tombol, pesan siaran pun dapat disebarkan oleh individu secara cepat dan luas.
Rencana KPI untuk meninjau ulang Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan terobosan yang tepat. Perubahan zaman yang disertai oleh perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat, membuat perangkat hukum ini cukup usang jika diterapkan dalam konteks kekinian.
Masyarakat dan KPI perlu "duduk bareng" untuk kembali merumuskan perangkat hukum penyiaran agar Indonesia mampu mencapai cita-cita dasar negara dalam dunia penyiaran.
Masyarakat sebetulnya tidak perlu resah jika pengawasan KPI masuk ke ranah media baru. Hal ini dikarenakan pengawasan tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Karakteristik dan pelaku penyiaran di media baru yang berbeda dari media konvensional memancing pendekatan yang berbeda dalam pengawasan media baru.
Pengawasan pun bukan bersifat penyensoran karena ini memang bukan tugas KPI dan bukan solusi yang tepat.
Diperlukan pendekatan dialogis antara KPI, pelaku penyiaran dan masyarakat dalam hal pengawasan konten-konten di media baru. Juga dibutuhkan sinergi antara ketiga elemen ini guna mencari akar masalah terhadap permasalahan penyiaran di ranah media baru dan juga solusinya dari perspektif akar rumput.
Meskipun KPI adalah lembaga independen selaku aktor pengawasan, tapi tetap masyarakatlah yang bertindak sebagai konsumen siaran di media baru, dan masyarakat tahu apa yang mereka butuhkan dan perlukan terhadap siaran tersebut.
Karena pada hakikatnya, setiap warga negara Indonesia memiliki kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi yang sehat melalui penyiaran yang secara tegas tertulis dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rencana hadirnya KPI dalam ranah media baru seyogianya bukan untuk membatasi hak masyarakat, melainkan bersinergi dengan masyarakat untuk menciptakan konten yang berkualitas untuk bangsa dan negara.
(vws)