Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan hal yang mudah menembus gerbang
Srimulat. Mereka yang bisa menjadi anggota adalah para pelawak yang sudah pernah terlatih sebelumnya, atau memiliki daya juang untuk menampilkan yang terbaik.
Kadir Mubarak tahu persis perjuangan menjadi bagian Srimulat. Namun ia juga mengingat, bertahan untuk tetap bisa lucu bukan hal yang mudah. Perlu latihan yang berulang-ulang dan tak bisa selalu mengandalkan inspirasi spontan.
Kenangan Kadir kembali pada 1982. Kala itu, ia masih menjadi anggota kelompok gambus. Di sana, ia belajar main sandiwara dan kerap memerankan karakter antagonis karena tampangnya yang 'galak'. Hingga suatu kali, ia melihat penampilan Srimulat di TVRI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kadir sebelumnya sudah pernah mendengar tentang Srimulat. Nama grup lawak itu begitu tenar di masanya. Dari mulut ke mulut, dari cerita ke cerita, semua orang yang pernah menonton Srimulat lalu mempromosikan ke orang lain.
Pamor Srimulat kemudian merambah ke tingkat nasional ketika TVRI mengajak grup itu tampil sejak 1981. Ambisi Kadir mulai muncul: menjadi anggota Srimulat.
"Saya menonton Srimulat ada di televisi, entah kapan saya bisa jadi pelawak seperti ini ya. Enak juga jadi pelawak," kata Kadir saat mengenang momen itu saat berbincang dengan kami di rumahnya di Bekasi, akhir Agustus 2019.
 Kadir Mubarak tahu persis perjuangan menjadi bagian Srimulat. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Bola mata Kadir menatap ke atas, ke langit-langit, mengingat lebih jelas perjuangannya belajar melucu untuk bisa masuk Srimulat. Beruntung, saat bergabung dengan kelompok gambus di Solo, ia bisa mengembangkan diri untuk melawak.
Kadir ingat dirinya meminta izin kepada pimpinan grup untuk belajar melawak. Ia pun mengajak sejumlah temannya untuk ikut dalam proyek ambisinya itu.
Ia membuat naskah dagelannya sendiri, beradu peran sendiri, dan belajar berguyon sendiri. Tak ada sutradara yang mengajarkan. Tak ada senior-senior yang memberi wejangan.
"Setelah setahun belajar melawak, saya memberanikan diri masuk ke Srimulat," kata Kadir. "Surabaya pertama-tama,"
"Saya waktu itu gondrong. Enggak dites, cuma dilihat. Lalu mereka bilang 'pemain sudah penuh'. Sudah begitu saja. Ya wis saya mundur. Saya mikir, 'gimana ya saya bisa masuk Srimulat'. Tetap saya kepingin," lanjutnya.
Kadir pun mencoba lebih keras lagi. Ia kembali ke Solo, dan sesekali mengambil pekerjaan sampingan sebagai pembawa acara di Yogyakarta. Namun untuk itu, ia hanya ingin ambil tawaran yang mengizinkan dirinya untuk melawak.
Keberuntungan menghampirinya. Pekerjaan sampingan itu membawa Kadir berkenalan dengan kelompok mantan anggota Srimulat Solo -- para eks pemain yang dipecat karena mengambil pekerjaan sampingan tanpa izin.
Ia pun kemudian berlatih dan mendapat wejangan dari mereka. Dua kali dalam sepekan ia berlatih guyon dan berimprovisasi. Ia banyak memperhatikan para pelawak tampil dan berpikir apa yang bisa jadi bahan dagelan. Tak ada buku atau tontonan televisi yang bisa jadi andalan, apalagi kala itu sumber informasi masih terbatas.
 Penampilan Aneka Ria Srimulat Jakarta, terkadang mereka mengundang pelawak di luar Srimulat untuk ikut tampil. (Dok. Eko Saputro) |
"Itu autodidak. Kalau lawakan Srimulat ya, pelawak-pelawak ini kan --mohon maaf ya-- pendidikannya pas-pasan semua. Kalau kami ambil referensi dari mana itu janjian. Supaya saling mengerti. Jadi kita bikin lawakan di Srimulat itu alami apa adanya. Yang sehari-hari diomongin saja," kata Kadir.
"Pokoknya saling mendengarkan lawan main. Jadi kalau dia cerita, kita pelesetkan. Jadi dibolak-balik saja omongan di Srimulat itu, dikembangkan. Itu-itu saja. Diputar-putar," lanjutnya.
Peran kawan sesama anggota Srimulat ini menjadi penting bukan hanya soal berbagi referensi, tapi juga saat mengambil jeda di panggung. Ketika pikiran mendadak beku, sang pemain bisa saja mundur ke belakang untuk berpikir. Pemain lain yang siap mengeluarkan dagelan menggantikan.
"Itu kesempatan bagi kita untuk berpikir. Tungguin untuk samber. Itu spontanitas," ucapnya.
"Kalau di Srimulat jangan berharap berencana bakal bicara ini itu saat masuk panggung. Enggak akan bisa."
Perjuangan Kadir untuk bisa melawak sendiri dan mengembangkan kemampuannya juga dirasakan oleh Budi 'Vera' Herawati, pemain Srimulat Surabaya yang telah bergabung sejak 1977.
Bahkan perjuangan Vera lebih besar lagi, karena ia tak bisa berbahasa Jawa saat diterima
Teguh Slamet bergabung ke Srimulat.
Vera memang sudah berpengalaman ikut mentas sandiwara di grup Lokarya. Namun ia wanita asal Sunda dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan.
Saat ia lolos seleksi Srimulat, kekhawatiran akan kemampuan berbahasa itu pun muncul. Namun beruntung Teguh tak menuntut dia untuk lancar berbahasa Jawa Timuran.
 Vera memang sudah berpengalaman ikut mentas sandiwara di grup Lokarya. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Teguh justru meminta Vera hanya berbahasa Indonesia, tapi mengenakan pakaian yang seksi karena memerankan sosok hostes alias pramuria.
Vera yang sudah menjadi nenek dari dua cucu tersebut bersemangat mengisahkan proses dirinya beradaptasi hingga amat betah di Srimulat, sampai saat ini.
Vera mengakui bahwa Teguh tak pernah memberikan materi lawak kepada para pemainnya. Teguh, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin rombongan, hanya memberikan gambaran umum cerita dan pembagian peran.
Sisanya, pemain yang improvisasi. Bahkan tidak pernah ada naskah dalam kamus Srimulat.
Para pemain dituntut untuk bisa memahami potensi dalam diri, mengembangkannya, bekerja sama dengan lawan main di panggung, dan menampilkan yang terbaik. Meskipun, kadang Teguh juga tak puas.
"Saya kebetulan di Lokarya itu suka memberikan umpan. Suami yang mengajarkan itu. Ia suka memberikan saran saya baiknya seperti apa," kata Vera saat berbincang dengan kami di rumahnya di Surabaya, Agustus lalu.
"Saya setiap hari saat di Srimulat, kalau habis kelar babak pertama, suami saya menonton di belakang [menilai]," lanjutnya.
Pengalaman yang dialami Vera juga dirasakan oleh Miarsih. Sebagai wanita yang dipercaya memerankan sosok batur alias pembantu dalam pentas Srimulat, Miarsih butuh memiliki bahan monolog atau candaan yang cukup untuk menghidupkan suasana.
"Kita harus tahu teman-teman kita itu bagaimana. Kalau benar-benar kita mau lihat, mau belajar, ya akhirnya bisa. Akhirnya bisa mengalir sendiri," kata Miarsih.
 Miarsih bergabung dengan Srimulat pada 1972, setelah berpengalaman bermain dalam sandiwara keliling selama tiga tahun. Ia masuk Srimulat di usia yang belia, 18 tahun. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Miarsih bergabung dengan Srimulat pada 1972, setelah berpengalaman bermain dalam sandiwara keliling selama tiga tahun. Ia masuk Srimulat di usia yang belia, 18 tahun.
"Memang pak Teguh mengarahkan, namun kita [sebagai pemain] juga harus tahu. Umpamanya peran saya sebagai ibu melabrak wanita yang berhubungan dengan suami saya, itu harus saya dalami. Bukan hanya sekadar melakukan adegannya," kata Miarsih.
"Jadi seperti meresapi bagaimana rasanya punya suami terus lihat suami sama selingkuhannya. Itu memang kita harus meresapi benar-benar. Walaupun sambil melawak juga," lanjutnya.
"Umpamanya sekarang anak saya jadi korban drakula, saya mesti nangis. Ya saya harus benar-benar nangis. Dari dulu pak Teguh begitu, yang melucu yang laki-laki. Tapi kalau memang saya kebagian perannya sedih, ya sedih benar. [Saya bayangkan] anak saya jadi korban drakula, ditinggal mati, kan ya benar-benar nangis," kata Miarsih dengan ekspresif pura-pura menangis.
[Gambas:Video CNN]Dengan cara Teguh tersebut, Miarsih mengakui penampilan di atas panggung menjadi beban tersendiri bagi pemain. Bila aksinya tak lucu, maka bisa saja Teguh tak lagi memberikan peran tersebut.
Namun ia masih ingat, puluhan tahun lalu saat masih berjaya dan menetap di Gedung Srimulat Taman Hiburan Rakyat (THR) Srimulat, selalu ada sesi berkumpul bersama untuk pengarahan dan mengenal karakter juga cerita.
Tapi Miarsih juga ingat kadang para pemain lelaki punya cara khusus bila merasa buntu dalam mencari inspirasi.
"Biasanya anak-anak itu pergi mencari inspirasi. Kadang-kadang ke tempat yang sekarang sudah dibongkar... Dolly! Memang kadang ke sana mencari inspirasi," kata Miarsih tertawa.
Tulisan ini merupakan bagian dari Liputan Khusus CNN Indonesia. Ikuti selengkapnya di sini: Srimulat Tak Pernah Tamat. (vws)