Jakarta, CNN Indonesia --
Dua Lipa memainkan gim panjang dan lama sejak debut album penamaan diri sendiri rilis pada 2017 silam. Waktu itu, dia keluar sebagai bintang pop cantik berpenampilan sensual dengan nada pop modern seperti dalam
IDGAF dan tentu saja,
New Rules yang jadi pedoman baru gadis-gadis untuk mengibaskan rambut pada mantan kekasih.
Ia meraih popularitas dengan mudah, menyusul kolaborasi bareng Calvin Harris dalam
One Kiss (2018). Dari situ saja dia sudah mendapat Brit Award di kategori Song of the Year, ditambah duet bersama Silk City di
Electricity yang juga meraih sukses di Grammy Award 2019.
Ketika Dua Lipa mengumumkan sedang menggarap album kedua, serta menyebut nama Giorgio Moroder dan Nile Rodgers, segalanya jadi lebih menarik. Moroder adalah nama lama dalam dunia musik dansa, ia bahkan disebut Father of Disco. Daft Punk punya tribute terhadap pria 79 tahun itu dalam album
Random Access Memories, track
Giorgio by Moroder di mana ia sendiri menarasikan kehidupannya.
Sementara nama Rodgers sendiri sudah beberapa dekade ini menjadi semacam jaminan sukses. Ia seorang penulis lagu, produser rekaman, dan komposer. Sentuhannya berada di balik sejumlah album yang memperoleh banyak sanjungan dan dipandang penting, termasuk milik David Bowie dan Madonna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sejumlah wawancara, solois kelahiran tahun 1995 ini mengungkapkan
Future Nostalgia sangat dipengaruhi oleh disko era 1970-an sampai pop 2000-an. Tak mengherankan jika
Good in Bed memiliki rasa Lily Allen. Album ini memuat sejumlah nada familiar, seperti petikan bass INXS dalam
Break My Heart, dan Olivia Newton John pada
Physical.
[Gambas:Youtube]
Muatan
Future Nostalgia persis seperti judulnya. Modernitas album ini ditunjukkan oleh vokal dan cara penulisan lirik Dua Lipa. Ia tidak bertele-tele dan percaya diri, seperti saat melantunkan,
"No matter what you do, I'm gonna get it without ya, I know you ain't used to a female alpha."Dua Lipa jelas terlibat penuh dalam album kedua ini. Ia menulis lirik untuk kesebelas lagu, dan sempat melontarkan pujian kepada produser peraih Grammy, Jeff Bhasker di lagu pertama,
Future Nostalgia.
Don't Start Now dan
Physical sendiri segera menjadi
anthem lantai dansa, bukan hal baru bagi Lipa.
Levitating punya kesan centil dan meriah.
Pretty Please lebih bernuansa gelap, meski sebenarnya berkonten seksual. Lipa banyak bicara soal gairah, seperti juga keberaniannya menyuarakan hal lain, misalnya dalam
Love Again ketika ia memutuskan kembali membuka diri setelah mengalami kekecewaan. Di sini, ia tampil bukan sebagai korban, justru sebaliknya.
[Gambas:Youtube]Boys Will Be Boys yang menutup
Future Nostalgia mengungkap semangat feminisme Lipa.
"Sick intuition that they taught us, so we won't freak out. We hide our figures, doing anything to shut their mouths. We smile away to ease the tension so it don't go south, but there's nothing funny now," lantunnya.
Future Nostalgia terasa seperti album yang akan dibuat oleh Madonna atau Kylie Minogue di era mereka masing-masing. Album ini bersemangat, menyenangkan, menunjukkan kedewasaan yang bebas, sekaligus membersitkan ambisi Lipa. Dengan bangga ia tampil bukan sebagai idola pop yang mengikuti arus industri, melainkan penyanyi yang tahu apa yang diinginkan.
(rea)