Salah satu hal yang membuat musik Katy Perry membekas dalam ingatan saya adalah caranya merangkul momen muram dalam hidup, bangkit kembali dan berdaya seperti dalam lagu Firework, Roar, Wide Awake, ataupun Rise.
Kini, Katy Perry melakukan hal serupa dalam album Smile yang rilis pada 28 Agustus lalu, setelah album Witness (2017) yang tak terlalu hangat diterima oleh pasar juga kritikus.
Smile menggambarkan upaya beranjak dari rasa gelap dan putus asa yang dirasakan oleh Katy Perry setelah merilis Witness.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Witness cukup banyak menerima kritikan terutama perihal produksi dan lirknya. Secara komersil, album dan era Witness pun terbilang gagal mengulang kesuksesan Prism (2013).
Namun bukan hanya kegagalan album yang dirasakan Perry. Ia juga menjalani hubungan putus-nyambung dengan Orlando Bloom yang kemudian keduanya kembali rujuk dan lebih serius pada 2018.
Segala jungkir-balik kehidupan Katy Perry tersebut kemudian ia curahkan dalam Smile yang dirilis di tengah masa pandemi.
Namun Perry bukan hanya menghadirkan lagu yang merangkul segala hal suram dan melangkah maju menuju hal yang lebih baik lewat album Smile, tetapi juga menggambarkan kematangan personal seorang Katheryn Elizabeth Hudson.
Sebelum merilis Smile, Perry sebenarnya pernah mencoba peruntungan dengan merilis dua single pada 2019, yaitu Never Really Over yang bekerja sama dengan Zedd dan Harleys in Hawaii yang bekerja sama dengan Charlie Puth.
Keduanya menunjukkan Katy Perry masih diterima pasar. Kedua lagu ini pun tak tampak seperti saling terkait antara satu sama lain, artinya Katy Perry memang terlihat secara intuitif dan impulsif membuat dua lagu ini.
Sehingga, jadi sebuah kejutan ketika saya melihat Never Really Over dan Harleys in Hawaii masuk di antara 12 lagu dalam album Smile.
Bahkan Never Really Over dijadikan lagu pembuka dalam album Smile, yang mana menurut saya kurang cocok lagu ini ditempatkan di awal jika memang Perry memaksa harus tetap masuk dalam album keenamnya ini.
Menurut saya, lagu Cry About It Later yang lebih disko-rock gaya '90-an dan ditempatkan di urutan kedua lebih cocok sebagai lagu pembuka album Smile. Meski racikan melodi dalam lagu tersebut memiliki formula yang hampir sama dengan Witness, lagu ini terasa lebih mengena.
Secara narasi lirik pun, Cry About It Later yang mengisahkan upaya untuk menyembuhkan diri dari patah hati cocok dengan gambaran besar perjalanan Katy Perry dari terpuruk ke bangkit kembali dalam album Smile.
"I'll cry about it later / Tonight I'm gettin' some / Tonight I'm gettin' something brand new//" lantun Perry dalam Cry About It Later.
Narasi "move on" itu kemudian jelas terasa dalam lagu-lagu setelah Cry About It Later, yaitu Teary Eyes, Daisies yang menjadi lead single, Resilient, dan Not the End of the World.
Katy Perry pun menggambarkan perkembangan karakternya yang semakin matang secara personal dalam Daisies, pilihan lead single yang tepat.
Ia kemudian menjadi lebih kuat dalam Resilient yang menggambarkan semangat yang sama seperti dalam Firework (2010). Kedua lagu ini sama-sama digarap oleh Stargate dan Katy Perry.
Namun dalam Resilient, Stargate dan Katy Perry membuatnya dengan lebih santai namun tetap terasa emosional juga megah dibanding dengan Firework.
"I know there's gotta be rain if I want the rainbows / And I know the higher I climb, the harder the wind blows // Yeah, I've gone to sleep night after night punching a pillow / But do you know the darker the night, the brighter the stars glow? //" lantun Perry.
Tema yang sama dengan Resilient juga terasa dalam Not the End of the World, meski saya merasa lagu ini memiliki kemiripan melodi dengan Black Widow dari Iggy Azalea dan Rita Ora pada 2014 yang juga ditulis oleh Katy Perry.
Dalam Not the End of the World, Katy Perry menyebut tak lagi peduli akan masalah album yang 'flop', dan lebih fokus pada musik yang ia ciptakan.
"Flipping off the flop, now I just enjoy the ride / Just enjoy the ride, yeah, I just enjoy the ride //" lantunnya.
Tema kematangan personal seorang Katy Perry digambarkan dengan jelas pada paruh kedua album ini, seperti dalam Smile, Only Love, dan What Makes a Woman.
Pada paruh kedua album ini pula, Katy Perry mengisahkan dinamisasi hubungan cintanya dalam Champange Problems dan Tucked. Kedua lagu ini, baik secara cerita dan musik, cocok dengan Never Really Over dan Harleys in Hawaii.
Namun saya terkesan dengan lagu Only Love yang menjadi lagu paling personal dan mendalam pada album ini. Lagu ini juga sebenarnya memiliki nuansa yang sama dengan single Never Worn White (2020).
Bahkan, Only Love cocok bila dipasangkan sebelum atau pun sesudah Never Worn White dalam album reguler Smile. Sayangnya, lagu Never Worn White hanya muncul dalam versi penggemar.
"Lagu Only Love ini berbicara tentang apa yang terjadi jika kehidupan memberi kita kehidupan seperti kurva bola. Bagaimana kau akan melihat mana yang penting? Apakah kau akan menyusun kembali prioritas dalam hidupmu? Apakah kau akan membentuk ulang lagi?" kata Katy Perry dalam wawancara dengan NPR.
"Dan itu semua menjadi sangat nyata, jadi itu sangat emosional pada saat itu," lanjutnya merujuk pembuatan Only Love kala pandemi, ketika Perry sudah mengumumkan hamil anak pertamanya dengan Orlando Bloom.
"If I had one day left to live / And if the stars went out on me, the truth is / Yeah, there's so much I'd say and do / If I had nothing to lose, nah, nothing to lose//" lantun Perry dalam Only Love.
"Oh, I'd call my mother and tell her I'm sorry / I never call her back // I'd pour my heart and soul out into a letter / And send it to my dad // Like, oh my God, the time I've wasted / Lost in my head // Let me leave this world with the hate behind me / And take the love instead /Give me Only love, only love /" lanjutnya.
Begitu pula dalam lagu What Makes a Woman yang menjadi penutup dari Smile. Lagu ini memiliki musik yang berbeda dibanding semua lagu lainnya dalam Smile, yaitu lebih folk dan country.
Meski begitu, lagu ini adalah penutup yang pas atas perjalanan Katy Perry dalam Smile. Lagu ini pula yang menunjukkan sisi personal Perry kala menjadi seorang ibu yang justru jadi nilai plus.
Pada akhirnya, Smile menjadi album yang lebih personal dari seorang Katy Perry dibanding sebelumnya, bahkan Prism dan Teenage Dream (2010) yang mendulang kesuksesan besar baik dari segi penjualan album ataupun tur.
Smile menjadi pijakan baik bagi Katy Perry untuk menapak kehidupan barunya sebagai musisi juga seorang ibu.
Keleluasaan Perry dalam menuangkan intuisi musiknya tanpa harus terbebani masa lalu membuat lebih banyak lagu dalam Smile yang menurut saya cukup menjanjikan untuk menjadi hits, walaupun saya masih sanksi akan bisa selegendaris lagu-lagu lawasnya.
Terlepas dari keganjilan karena keberadaan lagu Never Really Over dan Harleys in Hawaii, album Smile menawarkan kisah bangkit dari keputusasaan ala Katy Perry di tengah pandemi yang jelas dibutuhkan banyak orang saat ini.
(end)