Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Pahlawan di Menteng, hingga Dirgantara di Pancoran, monumen-monumen tersebut berdiri gagah di tempat-tempat yang ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno.
Tak sembarangan, Sukarno paham betul visi Jakarta di matanya ketika membangun patung-patung tersebut. Sebut saja saat membangun Monumen Selamat Datang menjelang Asian Games ke-4 pada 1961.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriana, menjelaskan bahwa kala itu, Sukarno terlihat ingin mengubah poros jalan utama yang awalnya ada di Jakarta Utara. Poros baru ini menghubungkan Monumen Nasional ke Kebayoran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu ujungnya Kebayoran itu kota baru. Karena itu kota baru, dalam rangka Asian Games maka ditempatkan patung selamat datang, ditempatkan Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, ditempatkan juga Senayan," kata Yayat kepada CNNIndonesia.com.
"Jadi ruas itu jadi jalan utama yang ditujukan untuk menyambut tamu-tamu dari negara yang ikut Asian Games."
![]() |
Bergerak sedikit ke arah Lapangan Banteng, ada Monumen Pembebasan Irian Barat. Menurut Yayat, lokasi itu dulunya zona ruang terbuka yang berfungsi sebagai terminal kota.
"Lapangan banteng itu sisa kolonial yang dimanfaatkan untuk terminal. Agar orang mau peduli dengan Irian yang waktu itu dikuasai Belanda, jadi ditempatkan lah patung pembebasan Irian Barat untuk membangun semangat membela Papua, membela Irian," kata Yayat.
Untuk Monumen Patung Pahlawan atau Tugu tani, Yayat menganggap Sukarno menempatkannya di Menteng, lokasi strategis sebagai bentuk penghormatan kepada pemberi hadiah, yaitu pemerintah Rusia.
Di akhir masa jabatannya, Sukarno membangun Monumen Patung Dirgantara di Pancoran. Kali ini, Sukarno membangun satu patung untuk menunjukkan kekuatan dirgantara Indonesia, tepat di depan Wisma Aldiron yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara.
"Patung Dirgantara menjadi ciri suatu tempat yang saat itu dekat bandara Halim Perdanakusuma. Nah, penempatan patung di situ, di tengah ruang kosong itu, bisa mengisi kekosongan ruang," kata Yayat.
![]() |
Tak hanya menjadi landmark kota, Sukarno juga menyelipkan filosofi di setiap patung yang didirikan. Keberadaan patung-patung tersebut akhirnya membentuk ruang diskusi publik yang penting untuk membangun karakter atau identitas bangsa.
"Orang kan jadi bertanya-tanya, 'Apa sih ini? Oh, patung ini patung bermakna kedirgantaraan. Oh dirgantara itu apa? Kuasai langit, manfaatkan udara dengan segala kemampuan, jadi penempatan patung itu tak hanya mencirikan ruang wilayahnya, tapi juga makna simbolik dan filosofinya," kata Yayat.
Lebih jauh, Yayat menganggap Sukarno ingin merepresentasikan kehidupan kota di tengah Jakarta yang kala itu masih belum terlalu padat.
"Jadi walau belum ada gedung pencakar langit, tapi orang bisa melihat karya seni sebagai representasi kehidupan kota, bahwa tempat tersebut adalah kota," ujar Yayat.
Setelah Jakarta padat seperti sekarang, kehadiran patung-patung itu pun dapat menjadi oase di antara gedung-gedung pencakar langit.
"Kota tanpa seni itu garing, kering, kaku, hutannya hutan beton, jadi karya-karya seni itu seperti oase di tengah kekeringan," ujarnya.
(has/nly/has/bac)