Tradisi ngabuburit dengan berbagai kegiatan di dalamnya yang biasa dilakukan masyarakat di Indonesia setiap kali Ramadan datang, nyatanya memang bukan berasal dari tanah Arab yang merupakan lokasi agama Islam berasal.
Bahkan, akademisi sejarah Arab dan perkembangan Islam Universitas Indonesia, Apipudin meyakini bahwasanya aktivitas mengisi waktu jelang berbuka dengan berbagai kegiatan itu tak terpikirkan di masa dulu di Timur Tengah.
"Zaman dahulu karena [kegiatan mengisi waktu jelang berbuka] tidak dianggap hal yang penting, tidak diceritakan. Cuman yang biasa dilakukan adalah berzikir menunggu waktu berbuka," kata Apipudin kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di berbagai literatur juga tidak diceritakan bagaimana orang menunggu waktu berbuka karena memang dianggap bukan sesuatu yang [penting], tidak terpikirkan. Lain hal dengan maulid atau Isra Mikraj," lanjutnya.
Dua momen tradisi dalam budaya Islam, maulid dan Isra Mikraj, terbilang memiliki riwayat literatur yang panjang. Kisah Isra Mikraj sendiri tercantum dalam kitab suci Alquran sebagai peristiwa Nabi Muhammad SAW melakukan perjalan malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem dan naik ke langit.
Sementara terkait maulid, ada sejumlah teori terkait awal mula tradisi perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW itu. Menurut AM Waskito dalam buku 'Pro dan Kotra Maulid Nabi' yang dikutip Detikcom, salah satunya adalah berasal dari kalangan ahlus sunnah oleh Gubernur Irbil di wilayah Irak, Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri.
Teori yang lain menyebut, dikutip dari Perayaan Hari Sejarah Lahir Nabi Muhammad Saw: Asal Usul Sampai Abad X/XVI karya Nico Kaptein yang diterjemahkan Lillian D. Tedjasudhana (1994), tradisi Maulid merupakan ide dari Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1193) yang bertujuan membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan semangat juang kaum muslimin kala itu.
Meski begitu, Apipudin menyebut sejumlah wilayah di Timur Tengah memang memiliki kebiasaan berbuka puasa secara bersama, seperti di Turki. Namun kebiasaan itu disebut Apipudin hanya berlangsung sesaat menjelang berbuka, bukan berjam-jam jelang berbuka seperti tradisi ngabuburit di Indonesia.
Di sana, masyarakat akan mulai berkumpul menyiapkan buka puasa bersama di lokasi yang sudah ditentukan. Dengan cuaca yang jarang hujan, kegiatan itu pun bisa dilakukan di atap terbuka sembari menunggu matahari terbenam sebagai waktu berbuka puasa.
"Orang kaya bisa menyediakan ratusan meja, menyediakan makan, orang tinggal datang, begitu juga di sekitar masjid. Itu memang menunggu berbuka, tapi bukan ngabuburit seperti kita," kata Apipudin.
Bila suatu daerah di Timur Tengah memiliki kebiasaan tertentu menjelang berbuka, seperti penembakan meriam di Mesir dan Libanon, Apipudin menyebut hal tersebut berkembang di tengah masyarakat tanpa ada pengaruh dari agama Islam.
"Kalau di Mesir, itu tradisi atau kebiasaan yang berkembang saja entah sejak kapan. Tapi pada saat zaman Nabi [Muhammad SAW], itu enggak ada. Dijamin enggak ada," katanya.
"Namanya budaya Islam itu kebiasaan atau turunan kegiatan yang hadir atau ada karena ekses atau sampingan ajaran Islam. Untuk menunggu waktu berbuka, orang bisa sangat bervariasi tanpa harus diajarin atau ditradisikan. Nah pada masa modern justru ditradisikan," lanjutnya.
Apipudin mengakui mulai ada perubahan tren di kawasan Timur Tengah yang sudah mengalami kemajuan ekonomi. Ia menyebut di sejumlah lokasi di sejumlah negara Timur Tengah, seperti pusat perbelanjaan, hotel, maupun di lokasi lain, kegiatan menjelang waktu berbuka mulai menjadi peluang mencari untung.
"Itu perkembangan perekonomian bukan karena tradisi. justru memanfaatkan tradisi untuk momen-momen tertentu untuk usaha mereka," kata Apipudin.
(end)