Tim kreatif dari Shang-Chi juga patut diberi pujian karena membuat karakter yang seimbang. Tak ada karakter seutuhnya sebagai penjahat, begitu pula tak ada karakter yang seutuhnya pahlawan tanpa cela.
Sejahat-jahatnya Xu Wenwu, ia luluh akan kebaikan Ying Li hingga bisa mengubah seorang penguasa ambisius menjadi "family man" yang hanya ingin menghabiskan waktu bersama keluarga.
Atau sekuat-kuatnya Shang-Chi, ia memiliki ketakutan dan memilih kabur alih-alih menghadapinya. Semua karakter dalam film ini pun berkembang dengan porsinya masing-masing sepanjang film berjalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait aksi laga, saya harus memberikan tepuk tangan untuk tim koreografi Shang-Chi. Memadukan kung fu ala film-film Jackie Chan, bela diri tradisional China, dan pertarungan bengis ala Barat, dalam satu film jelas bukan perkara mudah.
Namun semua aspek itu mendapatkan porsinya masing-masing. Sehingga, sejumlah adegan di film ini akan terasa seperti menonton film Jackie Chan, kemudian berpindah seperti menyaksikan film silat China yang apik, lalu berlanjut bertarung dengan bengis di jalanan.
![]() |
Bagi mereka pencinta aksi laga juga aksi, Shang-Chi jelas akan memberikan kepuasan tersendiri. Sedangkan bagi mereka yang enggan melihat pertumpahan darah, film ini masih memberikan kenyamanan yang aman meski baku hantam hilir mudik di layar.
Selain tim koreografi, aksi laga yang ciamik tak mungkin bisa lepas dari para pemainnya. Tony Leung dan Michelle Yeoh, bagi saya, adalah dua aktor yang membuat Shang-Chi begitu komplet terasa berjiwa Asia. Bak bawang putih dalam masakan Asia, tak ada itu maka tak terasa sedap.
Di samping mereka berdua, Awkwafina juga menjadi bintang dalam Shang-Chi. Perannya mungkin semula hanyalah 'tim hore'. Namun perkembangan karakter yang terjadi tanpa harus mengubah tugas awal tersebut menjadikan dirinya sebagai penyegar dalam film ini.
Hal berbeda justru saya rasakan untuk Simu Liu. Rasanya masih terlalu dini untuk menilai karakter Shang-Chi langsung melekat pada dirinya hanya dari satu film solo debut ini. Berbeda ketika dulu Robert Downey Jr muncul pertama kali sebagai Iron Man atau kala Chadwick Boseman menampilkan diri sebagai Black Panther.
Jelas masih butuh waktu bagi Marvel Studios memoles Simu Liu agar aktor China-Kanada itu bisa menjadi ikon Shang-Chi seutuhnya, seperti pada aktor-aktor Marvel lainnya.
Meski begitu, ragam sajian visual dengan sinematografi yang apik, CGI yang mulus pada sebagian besar adegan, hingga beragam emosi yang campur aduk berada dalam Shang-Chi adalah sajian yang membuat penonton betah duduk selama 135 menit di bioskop.
Belum lagi sisipan-sisipan untuk memuaskan "ego Asia" penonton dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Marvel jelas paham cara memanjakan penonton dari pasar besar perfilman dunia. Tentu dengan harapan, gimmick-gimmick tersebut bisa membuat penonton datang kembali.
Pada dasarnya, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings memanglah cerita superhero Marvel pada umumnya namun dengan tampilan Asia. Meski begitu, hal yang patut diapresiasi adalah Marvel bukan hanya menjadikan 'hal Asia' tadi sekadar tampilan penarik penonton, tetapi juga menjadikannya sebagai inti dari film ini.
(end)