Review Film: Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 24 Sep 2021 19:52 WIB
Review Shang-Chi menilai film ini adalah sajian paling tepat dari Marvel dalam menghadirkan kisah superhero berlatar Asia. (dok. Jasin Boland/Marvel Studios/Walt Disney Studios Motion Pictures)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tak ada hal lain yang bisa saya katakan untuk Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings selain film ini merupakan sajian paling tepat dari Marvel dalam menghadirkan kisah superhero berlatar Asia, di tengah suasana pandemi yang suram ini.

Shang-Chi mematahkan skeptis saya soal niatan Marvel mengangkat kisah superhero berlatar Asia di tengah tren emansipasi terhadap masyarakat non-kulit putih di Amerika Serikat.

Melalui Shang-Chi, Marvel bukan hanya sekadar memberikan kepingan cerita baru dalam jagat semestanya yang rumit, tetapi juga menampilkan kekayaan juga keindahan budaya Asia yang rupanya fit dengan narasi keadisatriaan ala Barat.

Ada banyak hal yang bisa diulas dari Shang-Chi. Mulai dari segi tema cerita, karakter, pemain, aksi laga, CGI, sinematografi, hingga spektrum emosi yang luas. Semuanya terbungkus dengan manis selama 132 menit.

Meski saya bukan termasuk fandom Marvel sehingga tak akan merinci keterkaitan film ini dengan film-film MCU lainnya, saya bisa mengatakan sebagian cerita dan karakter dalam film ini turut merujuk pada film-film yang sudah rilis sebelumnya.

Dari segi tema cerita, Shang-Chi bukan cuma membahas bagaimana awal mula riwayat seorang superhero Marvel tercipta dengan kehebatannya yang seolah tanpa cela dan di luar nalar manusia awam, tetapi sekaligus memiliki beragam kerentanan sebagai sosok manusia biasa.

Sutradara sekaligus penulis Destin Daniel Cretton, dibantu oleh penulis Dave Callaham dan Andrew Lanham, memilih cerita yang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat Asia sebagai inti dari cerita film Shang-Chi: keluarga.

Cretton sebagai sineas keturunan Asia pastilah paham bagaimana cerita bertema keluarga akan sangat mudah merasuk dalam benak dan jiwa penonton Asia.

Meski begitu, ia dan penulis lainnya tak memilih cerita keluarga yang hangat seperti kebanyakan opera sabun atau drama keluarga lainnya.

Review Shang-Chi menilai film ini adalah sajian paling tepat dari Marvel dalam menghadirkan kisah superhero berlatar Asia. (dok. Marvel Entertainment via YouTube)

Justru, ia memilih cerita keluarga yang disfungsional, berantakan, sosok ayah yang tak dekat dengan anak-anaknya, atau tuntutan besar orang tua terhadap anak-anak, sebagai beban masa lalu Shang-Chi.

Mungkin keputusan itu tak lepas dari kesamaan pengalaman sebagai seorang anak keturunan Asia: tak pernah bisa seutuhnya lepas dari bayang-bayang orang tua. Sudah awam di berbagai forum diskusi, seorang anak Asia akan selalu dianggap anak-anak oleh orang tua mereka.

Para orang tua di Asia sudah amat dikenal kerap menyusupkan ambisi mereka sebagai 'mimpi' dari anak-anaknya. Hal itu dilakukan dengan dalih "demi kebaikan anak" dan "cinta orang tua kepada anak".

Tengoklah berapa banyak judul film, drama, atau curhatan di internet atau gunjingan di kafe membahas soal ini. Hingga kemudian, kisah anak yang kabur, menjauh dari orang tua, atau merasa kehilangan jati dirinya kala dewasa menjadi perbincangan santai sebagian anak muda Asia.

Kisah itu kemudian diambil dan dibungkus dengan beragam fantasi juga mitologi dari Asia, tepatnya Asia Timur. Meski begitu, tak sulit bagi masyarakat dari belahan Asia lainnya untuk merasa dekat dengan beragam mitos itu.

Misal, soal makhluk mitologi yang diyakini sebagai penjaga manusia dari makhluk kegelapan, atau sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka mengemban "tugas" yang bersifat supranatural. Beragam hal ini banyak ditemukan di tiap sudut-sudut benua Asia dan tak ada di tempat asal Marvel: Amerika Serikat.

Review Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings lanjut ke sebelah...

Review Film: Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :