Jakarta, CNN Indonesia --
Tak ada hal lain yang bisa saya katakan untuk Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings selain film ini merupakan sajian paling tepat dari Marvel dalam menghadirkan kisah superhero berlatar Asia, di tengah suasana pandemi yang suram ini.
Shang-Chi mematahkan skeptis saya soal niatan Marvel mengangkat kisah superhero berlatar Asia di tengah tren emansipasi terhadap masyarakat non-kulit putih di Amerika Serikat.
Melalui Shang-Chi, Marvel bukan hanya sekadar memberikan kepingan cerita baru dalam jagat semestanya yang rumit, tetapi juga menampilkan kekayaan juga keindahan budaya Asia yang rupanya fit dengan narasi keadisatriaan ala Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada banyak hal yang bisa diulas dari Shang-Chi. Mulai dari segi tema cerita, karakter, pemain, aksi laga, CGI, sinematografi, hingga spektrum emosi yang luas. Semuanya terbungkus dengan manis selama 132 menit.
Meski saya bukan termasuk fandom Marvel sehingga tak akan merinci keterkaitan film ini dengan film-film MCU lainnya, saya bisa mengatakan sebagian cerita dan karakter dalam film ini turut merujuk pada film-film yang sudah rilis sebelumnya.
Dari segi tema cerita, Shang-Chi bukan cuma membahas bagaimana awal mula riwayat seorang superhero Marvel tercipta dengan kehebatannya yang seolah tanpa cela dan di luar nalar manusia awam, tetapi sekaligus memiliki beragam kerentanan sebagai sosok manusia biasa.
Sutradara sekaligus penulis Destin Daniel Cretton, dibantu oleh penulis Dave Callaham dan Andrew Lanham, memilih cerita yang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat Asia sebagai inti dari cerita film Shang-Chi: keluarga.
Cretton sebagai sineas keturunan Asia pastilah paham bagaimana cerita bertema keluarga akan sangat mudah merasuk dalam benak dan jiwa penonton Asia.
Meski begitu, ia dan penulis lainnya tak memilih cerita keluarga yang hangat seperti kebanyakan opera sabun atau drama keluarga lainnya.
 Review Shang-Chi menilai film ini adalah sajian paling tepat dari Marvel dalam menghadirkan kisah superhero berlatar Asia. (dok. Marvel Entertainment via YouTube) |
Justru, ia memilih cerita keluarga yang disfungsional, berantakan, sosok ayah yang tak dekat dengan anak-anaknya, atau tuntutan besar orang tua terhadap anak-anak, sebagai beban masa lalu Shang-Chi.
Mungkin keputusan itu tak lepas dari kesamaan pengalaman sebagai seorang anak keturunan Asia: tak pernah bisa seutuhnya lepas dari bayang-bayang orang tua. Sudah awam di berbagai forum diskusi, seorang anak Asia akan selalu dianggap anak-anak oleh orang tua mereka.
Para orang tua di Asia sudah amat dikenal kerap menyusupkan ambisi mereka sebagai 'mimpi' dari anak-anaknya. Hal itu dilakukan dengan dalih "demi kebaikan anak" dan "cinta orang tua kepada anak".
Tengoklah berapa banyak judul film, drama, atau curhatan di internet atau gunjingan di kafe membahas soal ini. Hingga kemudian, kisah anak yang kabur, menjauh dari orang tua, atau merasa kehilangan jati dirinya kala dewasa menjadi perbincangan santai sebagian anak muda Asia.
Kisah itu kemudian diambil dan dibungkus dengan beragam fantasi juga mitologi dari Asia, tepatnya Asia Timur. Meski begitu, tak sulit bagi masyarakat dari belahan Asia lainnya untuk merasa dekat dengan beragam mitos itu.
Misal, soal makhluk mitologi yang diyakini sebagai penjaga manusia dari makhluk kegelapan, atau sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka mengemban "tugas" yang bersifat supranatural. Beragam hal ini banyak ditemukan di tiap sudut-sudut benua Asia dan tak ada di tempat asal Marvel: Amerika Serikat.
Review Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings lanjut ke sebelah...
Tim kreatif dari Shang-Chi juga patut diberi pujian karena membuat karakter yang seimbang. Tak ada karakter seutuhnya sebagai penjahat, begitu pula tak ada karakter yang seutuhnya pahlawan tanpa cela.
Sejahat-jahatnya Xu Wenwu, ia luluh akan kebaikan Ying Li hingga bisa mengubah seorang penguasa ambisius menjadi "family man" yang hanya ingin menghabiskan waktu bersama keluarga.
Atau sekuat-kuatnya Shang-Chi, ia memiliki ketakutan dan memilih kabur alih-alih menghadapinya. Semua karakter dalam film ini pun berkembang dengan porsinya masing-masing sepanjang film berjalan.
Terkait aksi laga, saya harus memberikan tepuk tangan untuk tim koreografi Shang-Chi. Memadukan kung fu ala film-film Jackie Chan, bela diri tradisional China, dan pertarungan bengis ala Barat, dalam satu film jelas bukan perkara mudah.
Namun semua aspek itu mendapatkan porsinya masing-masing. Sehingga, sejumlah adegan di film ini akan terasa seperti menonton film Jackie Chan, kemudian berpindah seperti menyaksikan film silat China yang apik, lalu berlanjut bertarung dengan bengis di jalanan.
 Review Shang-Chi menyebut, sejahat-jahatnya Xu Wenwu (Tony Leung), ia luluh akan kebaikan Ying Li. (Courtesy of Marvel Studios/Marvel Studios) |
Bagi mereka pencinta aksi laga juga aksi, Shang-Chi jelas akan memberikan kepuasan tersendiri. Sedangkan bagi mereka yang enggan melihat pertumpahan darah, film ini masih memberikan kenyamanan yang aman meski baku hantam hilir mudik di layar.
Selain tim koreografi, aksi laga yang ciamik tak mungkin bisa lepas dari para pemainnya. Tony Leung dan Michelle Yeoh, bagi saya, adalah dua aktor yang membuat Shang-Chi begitu komplet terasa berjiwa Asia. Bak bawang putih dalam masakan Asia, tak ada itu maka tak terasa sedap.
Di samping mereka berdua, Awkwafina juga menjadi bintang dalam Shang-Chi. Perannya mungkin semula hanyalah 'tim hore'. Namun perkembangan karakter yang terjadi tanpa harus mengubah tugas awal tersebut menjadikan dirinya sebagai penyegar dalam film ini.
Hal berbeda justru saya rasakan untuk Simu Liu. Rasanya masih terlalu dini untuk menilai karakter Shang-Chi langsung melekat pada dirinya hanya dari satu film solo debut ini. Berbeda ketika dulu Robert Downey Jr muncul pertama kali sebagai Iron Man atau kala Chadwick Boseman menampilkan diri sebagai Black Panther.
Jelas masih butuh waktu bagi Marvel Studios memoles Simu Liu agar aktor China-Kanada itu bisa menjadi ikon Shang-Chi seutuhnya, seperti pada aktor-aktor Marvel lainnya.
[Gambas:Youtube]
Meski begitu, ragam sajian visual dengan sinematografi yang apik, CGI yang mulus pada sebagian besar adegan, hingga beragam emosi yang campur aduk berada dalam Shang-Chi adalah sajian yang membuat penonton betah duduk selama 135 menit di bioskop.
Belum lagi sisipan-sisipan untuk memuaskan "ego Asia" penonton dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Marvel jelas paham cara memanjakan penonton dari pasar besar perfilman dunia. Tentu dengan harapan, gimmick-gimmick tersebut bisa membuat penonton datang kembali.
Pada dasarnya, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings memanglah cerita superhero Marvel pada umumnya namun dengan tampilan Asia. Meski begitu, hal yang patut diapresiasi adalah Marvel bukan hanya menjadikan 'hal Asia' tadi sekadar tampilan penarik penonton, tetapi juga menjadikannya sebagai inti dari film ini.