Jakarta, CNN Indonesia --
Studio selalu ada alasan untuk mengangkat kisah manga atau pun anime menjadi live-action. Namun selalu ada alasan pula, versi mereka tak akan bisa menyaingi anime.
Adaptasi anime atau manga menjadi live action sejatinya telah berlangsung sejak dulu kala. Tercatat, film live-action adaptasi dari manga sejauh ini yang tertua adalah Fūryū Kokkei-tan: Sennin Buraku (1961).
Film tersebut diangkat dari manga Sennin Buraku dan dirilis di Jepang saat itu. Semenjak itu, berbagai film dan serial adaptasi live action dari anime atau manga terus bergulir hingga kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hollywood juga tak ingin ketinggalan. Sebut saja sejumlah film terkenal Hollywood seperti The Guyver (1991), Speed Racer (2008), Edge of Tomorrow (2014), hingga Alita: Battle Angel (2019). Semuanya adaptasi manga.
Meski begitu adaptasi manga atau anime ke live-action, terutama yang digarap oleh Hollywood, banyak dipandang tak akan bisa menyaingi versi aslinya. Sehingga tak heran, banyak proyek adaptasi dinilai flop.
Berikut sejumlah kenyataan pahit yang mesti dihadapi live-action adaptasi manga dan anime.
1. Pro dan Kontra
Proyek adaptasi dari anime dan manga menjadi live-action pasti akan selalu mengundang pro dan kontra, terutama bagi penggemarnya.
Bukan tanpa alasan penggemar bisa terpecah. Sebagian merasa bahwa proyek adaptasi menjadi live-action akan merusak kekayaan imajinasi dari manga dan anime, sementara sebagian lain merasa proyek live-action tidak akan sanggup setara bahkan lebih baik dari versi animasi atau manga.
Sementara di sisi lain, sebagian penggemar merasa adaptasi menjadi live-action bisa mewujudkan cerita anime dan manga dalam dunia nyata sehingga terasa lebih riil. Selain itu, sebagian yang lain juga memberikan kesempatan sineas untuk menginterpretasikan cerita anime dan manga itu.
 Salah satu proyek live-action yang berselimutkan kontroversi adalah Cowboy Bebop dari Netflix. (NICOLA DOVE/NETFLIX) |
Debat pro dan kontra ini telah berlangsung bertahun-tahun. Salah satu proyek live-action yang berselimutkan kontroversi adalah Cowboy Bebop dari Netflix.
Sejak awal diumumkan, adaptasi Cowboy Bebop sudah menjadi sasaran kritikan dan prediksi kegagalan. Hingga ketika proyek ini rilis, perdebatan semakin tak berkesudahan di dunia maya, terutama soal kualitas sinematiknya.
Hingga kemudian, Netflix mengumumkan proyek ini tak lanjut ke musim kedua.
2. Durasi dan Cerita
Proyek adaptasi kisah yang berasal platform cetak seperti novel, cerpen, manga, selalu menemui tantangan pada bagian cerita dan durasi.
Sangat sulit mengompres cerita yang begitu panjang dan berseri menjadi hanya 1-2 jam. Sehingga, kebanyakan film panjang termasuk live-action akan memenggal banyak bagian cerita.
Hal tersebut belum termasuk dengan penyesuaian-penyesuaian cerita yang ketika dalam bentuk manga atau anime terasa masuk akal, namun di format live-action menjadi ganjil.
Pemangkasan itu, seringkali, membuat ceritanya lebih logis namun mengurangi cita rasa kisah aslinya. Belum lagi bila ada 'kehilangan makna' ketika cerita asli dalam bahasa Jepang diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Sementara pada anime, perubahan signifikan jarang terjadi. Anime punya kemampuan lebih baik dalam mengadaptasi manga dan seringkali berjalan dengan durasi yang cukup panjang bila memang diperlukan.
Anime pun biasanya dalam bentuk serial, kalaupun dalam film, biasanya memiliki cerita khusus sehingga tak menemui kesulitan berarti dalam hal durasi juga cerita.
Ketidakmampuan live-action dalam mengemas cerita inilah yang seringkali membuat banyak penggemarnya kecewa.
lanjut ke sebelah...
3. Ekspresi
Salah satu kekhasan dari anime dan manga adalah permainan ekspresi dan emosi yang sebenarnya berlebihan juga kerap tidak masuk akal, namun memperkaya cerita.
Misalnya saja muka yang tiba-tiba berubah membiru atau memutih beserta bulir-bulir keringat raksasa kala panik atau takut, atau semburan darah dari hidung ketika melihat sesuatu yang menggoda, atau porsi kepala dan badan yang tidak proporsional.
Semuanya akan terasa aneh bila dipaksakan muncul seutuhnya dalam versi live-action. Hal ini lantaran ekspresi emosi manusia sungguhan berbeda dengan yang ditampilkan dalam versi manga dan anime.
 One Piece. Salah satu kekhasan dari anime dan manga adalah permainan ekspresi dan emosi yang sebenarnya berlebihan juga kerap tidak masuk akal, namun memperkaya cerita.: (dok. Toei Animation via IMDb) One Piece |
Namun tak semua anime tak cocok dijadikan live-action. Bagi anime atau manga yang memiliki gambar juga cerita yang lebih realistis, amat sangat mungkin sukses dalam bentuk live-action.
Misalnya saja Rurouni Kenshin alias Samurai X. Kisah manga yang juga sukses dalam bentuk anime ini kemudian diangkat dalam versi live-action dan juga menuai pujian.
Kemudian CBR mencatat kisah City Hunter juga menjadi live-action yang sanggup mewujudkan keunikan manga dan animenya dalam bentuk film nyata.
Kisah manga itu bahkan diangkat dalam bentuk live action selama beberapa kali, seperti pada 1993 yang dibintangi Jackie Chan, kemudian oleh China pada 2016, oleh Prancis pada 2019 dengan tajuk Nicky Larson et le Parfum de Cupidon.
4. Gaya dan Tampilan
Bukan Jepang bila tak memiliki penampilan dan gaya busana yang kandang nyentrik. Gaya itu juga terekam dalam banyak karya manga yang kemudian menjalar dalam bentuk anime.
Namun ketika karya manga dan anime itu diadaptasi dalam bentuk live action, masalah mulai terjadi. Seringkali, bentuk live-action yang mengangkat saklek tampilan karakter dalam versi komik menjadi terasa ganjil.
[Gambas:Youtube]
Misalnya saja, warna rambut. Dalam anime atau manga, karakter berambut warna-warni terasa menggemaskan. Namun ketika diperankan oleh manusia sungguhan dan bukan untuk urusan cosplay, warna-warni itu kadang terasa aneh.
Belum lagi soal kostum. Kostum yang dikenakan karakter dalam manga atau pun anime mungkin terasa keren, canggih, seksi, atau menggemaskan. Namun hanya sedikit live-action yang bisa mengangkat hal itu tanpa membuat penontonnya mengernyit.
5. Visual Efek
Visual efek adalah faktor yang seringkali membuat versi live-action selalu berada "di bawah" anime dan manga, tak peduli secanggih apapun teknologi CGI yang digunakan.
Menurut CBR, anime sebagai bentuk seni adalah salah satu penggunaan animasi yang paling menarik yang pernah ada.
Basis pembuatan anime yang berdasarkan frame per second, membuat anime punya kekuatan lebih dalam menggambarkan adegan secara lebih dramatis. Apalagi yang berkaitan dengan pertarungan dan fantasi.
[Gambas:Youtube]
Seperti dalam kasus Alita: Battle Angel dan Speed Racer. Meski keduanya dibuat dengan teknologi animasi yang canggih, dua film adaptasi tersebut tetap terasa tertinggal dibanding versi anime dan manga.
Selain itu, CBR menilai live-action, sekuat apapun berusaha, akan sulit mengejar kemampuan penceritaan visual yang dimiliki oleh anime. Dalam anime, setiap elemen warna, bentuk, efek dramatis, memiliki kekuatannya sendiri dalam menyokong narasi.
Sehingga, anime bukan hanya sekadar gambar berwarna yang bergerak. Gambar gerak itu merupakan campuran animasi dan teknik perfiman seperti editing, musik, tata suara, dan masih banyak lagi.
[Gambas:Youtube]