Live-Action dan Penghakiman Para Penggemar Anime

CNN Indonesia
Minggu, 23 Jan 2022 13:15 WIB
Rumah produksi, terutama Hollywood, masih bersemangat membuat live-action anime meski banyak dari yang telah tayang tak disambut baik penggemar.
Rumah produksi, terutama Hollywood, masih bersemangat membuat live-action anime meski banyak dari yang telah tayang tak disambut baik penggemar. Foto: (Dune Entertainment via IMDb)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sambutan hangat penggemar mendorong industri hiburan kerap mengadaptasi karya orisinal menjadi medium yang lain, seperti novel atau komik menjadi serial atau film, begitu pula dengan video gim.

Di Jepang, hal itu biasanya berawal dari manga yang terbit dan diterima dengan baik oleh pembaca, kemudian berkembang menjadi serial animasi (anime), film animasi, video gim, hingga serial atau film live-action.

Pemindahan medium tersebut juga biasanya diberlakukan kepada manga atau anime yang memiliki basis penggemar kuat baik di Jepang maupun internasional, sebut saja Death Note, One Piece, atau Rurouni Kenshin (Samurai X).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menariknya, perbedaan sikap jelas terlihat, terutama di antara fan internasional, ketika sebuah manga diumumkan bakal diadaptasi menjadi anime, baik serial maupun film, dengan mengadaptasi menjadi live-action.

Fan biasanya menyambut hangat ketika manga diadaptasi menjadi anime, baik serial bahkan film. Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - The Movie: Mugen Train menjadi contoh nyata kondisi tersebut.

Film animasi hasil adaptasi manga bertajuk serupa karya Koyoharu Gotouge ini mendapatkan lebih dari US$49,5 juta dari pasar domestik. Berdasarkan data Box Office Mojo, film itu mengumpulkan US$405,2 juta dari pasar internasional.

Angka tersebut merupakan capaian fantastis mengingat Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - The Movie: Mugen Train tayang pada 2020 atau saat dunia dilanda pandemi Covid-19.

Tak hanya box office Jepang, film tersebut juga menguasai box office AS, Korea Selatan, dan banyak negara lainnya ketika tayang.

Contoh lainnya adalah Dragon Ball Super: Broly (2018) yang mengumpukan lebih dari US$115, 7 juta; US$30,7 dari pasar domestik dan US$85, juta dari pasar internasional.

Namun, situasi berbeda ketika manga atau anime itu diadaptasi menjadi live-action dan diproduksi di luar Jepang.

Dragonball Evolution (2009) yang membawa nama-nama besar seperti Stephen Chow sebagai produser, James Wang sebagai sutradara, Brian Tyler di bagian musik, serta Chow Yun-Fat sebagai salah satu bintangnya, tak bisa mendatangkan keuntungan yang besar pula.

Film yang diproduksi dengan bujet US$30 juta itu hanya mengumpulkan US$55,7 juta dari box office global.

"Karakter (live-action) enggak mirip dan pengembangannya kurang. Plotnya enggak solid, kadang suka ada plot baru yang enggak ada di anime. Kalau pakai efek ya CGI-nya jelek, ini juga bikin enggak nyaman untuk ditonton," ucap Indriana yang merupakan penggemar anime kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Salah satu penggemar anime, Indriana, mengungkapkan hal-hal tersebut kerap ditemukan dalam live-action anime hasil adaptasi Hollywood.

Beberapa live-action anime bahkan dicap sebagai yang terburuk, seperti Death Note (versi Netflix), Attack on Titan, serta Dragonball Evolution.

Hal-hal itu yang kemudian membuat banyak penggemar anime/manga 'trauma' bahkan cenderung menolak ketika mendengar rencana pembuatan live-action anime, terutama dari Hollywood.

"Rasanya sayang banget kalau harus mencederai pengalaman nonton animenya. Kecewa juga. Kan kita bisa juga lihat teaser atau line up cast-nya, kalau dari situ sudah keliatan menyimpang dari versi asli atau feel-nya enggak dapat, ya kenapa harus diterusin?" kata Indriana kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Lanjut ke sebelah...

Live-Action dan Penghakiman Para Penggemar Anime

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER