Jakarta, CNN Indonesia --
Artikel ini mengandung beberan/spoiler.
Menyaksikan The Power of the Dog seolah diundang masuk ke sebuah kelompok yang semuanya memiliki berbagai latar masalah psikologi dan tak tertangani dengan baik. Masing-masing dari mereka hanya memendam masalah mental tersebut yang kemudian memengaruhi perilaku dan sekelilingnya.
Sutradara Jane Campion menyajikan kisah intim atas empat karakter utama The Power of the Dog: Phil Burbank (Benedict Cumberbatch), Rose Gordon (Kristen Dunst), George Burbank (Jesse Plemons), dan Peter Gordon (Kodi Smit-McPhee).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alur cerita yang ditulis Campion berdasarkan novel underdog karya Thomas Savage rilisan 1967 ini juga sebenarnya terbilang sederhana. Campion membagi dengan jelas film ini menjadi beberapa babak yang memiliki fokus dan konflik yang berbeda-beda.
Pembagian ini mungkin terasa baru bagi sebagian penonton. Transisi yang secara gamblang antar babak ini membuat Campion seolah mengajak penonton siap meloncat antar cerita, sehingga tidak kaget dengan perubahan yang mungkin dirasakan.
Meski begitu, fokus Campion yang konsisten dari awal menyoroti emosi dan psikologi empat karakter The Power of the Dog menjadikan segala perubahan itu tidak menjadi soal.
Ditambah dengan penampilan prima dari keempat aktor, laju cerita The Power of the Dog yang sebenarnya terbilang lambat ini tidak menggoyahkan konsentrasi saya untuk tetap bertahan hingga akhir.
 Review The Power of the Dog: film ini mengisahkan maskulinitas toksik dan dibawakan dengan gemilang oleh Benedict Cumberbatch. (KIRSTY GRIFFIN/NETFLIX/KIRSTY GRIFFIN/NETFLIX) |
Justru, gejolak emosi yang intens semakin terasa sepertiga terakhir cerita dan membuat segala teka-teki tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam film ini terkuak satu demi satu.
Campion dengan halus mengisahkan maskulinitas toksik dan dibawakan dengan gemilang oleh Benedict Cumberbatch. Ketoksikan sikap Phil Burbank ini dibawakan dengan cara yang tidak berlebihan, natural, namun tetap sampai kepada penonton.
Phil Burbank menampilkan dampak dari stigma dan norma berbasis gender yang diterapkan pada seseorang. Segala penilaian dan standar tersebut bertentangan dengan perasaan di dalam dirinya dan membuat Phil menjadi sosok berhati dingin.
Padahal, Phil juga seorang manusia biasa. Dirinya mengalami kecemburuan ketika adik kesayangannya memilih menikah, sementara cinta sejatinya kepada seseorang terpisahkan oleh norma sosial dan kematian.
Tragisnya, ketika Phil menemukan kembali seseorang yang bisa melembutkan hatinya, ia menjadi korban dari dendam yang sebenarnya adalah buah dari perlakuan kasarnya sendiri. Ia kena karmanya sendiri.
Sementara itu, Kristen Dunst sebagai Rose juga tak kalah memukau. Ia tak perlu menampilkan kegilaan perempuan yang frustrasi dan stres secara berlebihan hanya untuk menunjukkan betapa toksik dan mencekik tekanan yang ia terima.
Dunst tak perlu teriak-teriak menggila atau berlaku sinting hanya untuk menunjukkan seberapa rusak mental Rose. Hal ini sama seperti bahwasanya orang yang memiliki masalah pada mental, seringkali tak terlihat secara kasat mata.
Review The Power of the Dog lanjut ke sebelah...
Secara pribadi, saya memuji aksi Kodi Smit-McPhee dalam The Power of the Dog. Smit-McPhee menampilkan dengan baik gejolak emosi yang dirasakan seorang penyintas perundungan, yang ditindas akibat dirinya berbeda dari standar sosial tertentu.
Bukan hanya sekadar gejolak emosi, dendam yang mungkin dirasakan banyak korban perundungan dan bagaimana aktualisasinya dalam kehidupan juga digambarkan dengan baik oleh Smit-McPhee melalui Peter.
Peter juga menggambarkan, hati yang dingin akibat dendam juga trauma perundungan tak mesti berbentuk sikap kasar macam menghina atau menjelekkan orang lain seperti yang dilakukan Phil.
Meski sosok George Burbank lebih banyak terlibat di bagian awal-awal film, peran Jesse Plemons membawakan kecemburuan dan frustrasi orang yang selalu dianggap "adik" dan tak cukup baik dibanding "kakaknya" ini tak kalah penting.
Melalui George, The Power of the Dog menunjukkan hal yang berarti bagi seseorang bisa saja hanya berupa menemukan orang lain yang membuatnya tak sendirian lagi.
"Aku cuma.. Aku mau bilang betapa menyenangkan rasanya.. tak sendirian," kata George sembari menitikkan air mata setelah diajari menari oleh Rose.
 Review The Power of the Dog: Melalui George, film ini menunjukkan hal yang berarti bagi seseorang bisa saja hanya berupa menemukan orang lain yang membuatnya tak sendirian lagi. (dok. Netflix) |
Adegan yang sederhana dan disebut Campion modifikasi dari versi novel itu menggambarkan betapa rasa sepi yang dialami oleh seseorang yang merasa tak cocok dengan lingkungannya, namun tak bisa lepas dari hal tersebut.
George begitu tertekan dengan 'standar' yang diberikan oleh keluarganya, serta bayang-bayang dirinya dibandingkan oleh Phil. Masalah "adik" ini banyak ditemukan, terutama ketika pengasuhan orang tua kerap membandingkan anaknya dengan yang lain.
Hanya dengan pergulatan psikologi empat karakter tersebut, The Power of the Dog sudah cukup menggambarkan dengan jelas masalah manusia --hingga era modern-- meski dengan latar 1925 dan di sebuah pedalaman pegunungan: kesehatan mental.
The Power of the Dog juga menjadi gambaran betapa apik dan detail pekerjaan Jane Campion dalam menyusun cerita hingga mengarahkan para pemainnya mewujudkan kisah dari novel yang sempat tak dikenal publik ini.
Pengarahan Campion yang detail dan jelas pun menjalar hingga ke bagian produksi. Mereka mampu mengubah latar pegunungan Selandia Baru menjadi seolah-olah di pedalaman Montana pada 1925 dan memberikan suasana Western yang kental.
Sehingga, 12 nominasi Academy Awards ke-94 atau Piala Oscar 2022 rasanya tidaklah berlebihan untuk The Power of the Dog. Apalagi mengingat para anggota the Academy gemar akan film bertema humanisme atau kemanusiaan.
Walaupun mungkin bagi sebagian orang, The Power of the Dog adalah tantangan tersendiri untuk disimak. Mulai dari urusan durasi, laju cerita, sampai soal latar lingkungan yang 'sepi'.
[Gambas:Youtube]