Jakarta, CNN Indonesia --
Rasanya tidak berlebihan jika menobatkan film Everything Everywhere All at Once sebagai film terbaik 2022--meski tahun baru berjalan separuhnya. Jika kalian merasa kalian sudah tahu seperti apa filmnya hanya dari menonton trailer-nya, kalian salah besar.
Everything Everywhere All at Once bercerita tentang seorang perempuan imigran asal China bernama Evelyn Quan Wang (Miichelle Yeoh) yang kini tinggal Amerika bersama keluarganya. Ia dan suaminya, Wamond Wang (Ke Huy Quan), menjalankan bisnis penatu.
Suatu hari dalam satu hari, Evelyn dihadapkan oleh masalah yang bertubi-tubi. Ia mesti menghadapi suaminya; ayahnya, Gong Gong (James Hong); dan putri satu-satunya, Joy (Stephanie Hsu).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Evelyn tidak sempat untuk mengurus semuanya sendirian dalam satu waktu. Ia memiliki agenda yang lebih penting hari itu: mengurus pajak di Internal Revenue Service (IRS).
Namun, hari itu berubah 180 derajat ketika muncul Waymond dari semesta lain. Ia meminta bantuan Evelyn untuk menyelamatkan semesta dari ancaman Jobu Tupaki karena hanya istrinya itulah yang bisa mampu melakukannya.
Jika mesti memuji film Everything Everywhere All at Once dalam satu kalimat, maka film ini mampu mengemas segalanya yang terjadi di mana pun dalam satu waktu.
Selesai menyaksikan film tersebut, saya termasuk orang-orang yang mempertanyakan dari mana sutradara Daniel Kwan dan Daniel Scheinert mendapatkan ide gila seperti ini.
Film ini mencampuradukkan segala genre film yang bisa kalian bayangkan, mulai dari romansa, komedi, sci-fi, seni bela diri, hingga animasi.
 Evelyn punya agenda yang lebih penting hari itu bertemu petugas Internal Revenue Service (IRS) Deirdre Beaubeirdre (Jamie Lee Curtis). (Foto: AGBO Production via Imdb) |
Bahkan, ide untuk membuat "verse-jumping", istilah lompatan seseorang dari satu semesta ke semesta lain, memiliki syarat saja menjadi sesuatu yang segar.
Kenapa Evelyn mesti mengucapkan "Aku cinta padamu" kepada musuh menjadi syarat agar bisa melakukan verse-jumping? Dan, jika kalian sudah menontonnya, kalian pasti setuju ada satu syarat verse-jumping yang epik--tentunya tidak bisa dibocorkan di sini.
Penonton bakal dibuat terpukau dengan tertawa hingga menangis dalam film ini. Benar-benar tidak ada yang terduga dalam menonton film Everything Everywhere All at Once.
Saya juga mesti mengapresiasi semua kru Everything Everywhere All at Once di belakang layar karena telah bekerja keras dan membuat film ini semenyenangkan itu untuk ditonton.
Mereka mesti meracik ratusan frame Evelyn dari semesta lainnya menjadi satu, mempersiapkan banyak kostum yang "aneh" untuk Jobu Tupaki, hingga membuat adegan laga puncak menjadi seperti sebuah perayaan festival.
Jika ada satu adegan Everything Everywhere All at Once yang saya favoritkan, yang mungkin juga menjadi adegan favorit penonton lainnya, maka saya nobatkan kepada adegan batu. Kenapa?
Review lanjut ke sebelah...
Adegan batu itu sangat sederhana. Hanya mengambil beberapa angle kamera yang simpel, hening, dan hanya disediakan subtitle. Tapi, di sinilah puncak komedi itu terjadi.
Rasanya sulit mencari celah untuk menilai apa yang kurang dari film ini. Bahkan, di balik filmnya yang kacau--dengan konotasi positif, ternyata sesungguhnya film ini mengandung makna yang dalam.
Ya, memang film ini mengusung tema multisemesta yang memiliki probabilitas tanpa batas di semesta yang lain.
 Evelyn mampu melihat nasib Evelyn dari semesta lain lewat verse-jumping. (Foto: AGBO Production via Imdb) |
Jutaan kemungkinan-kemungkinan yang mereka ambil di masa kini dapat memengaruhi nasib seorang individu di masa depan, dan apa yang kita lewatkan jika kita tidak mengambil keputusan lainnya.
Itu satu hal. Hal lainnya adalah film ini pada akhirnya sesimpel film yang menceritakan kisah hubungan ibu dan anak.
Joy hanya ingin mendapatkan pengakuan dari ibunya atas jati diri yang sebenarnya, tapi Evelyn, sebagai orang tua yang datang dari generasi sebelumnya, tidak mampu memahami anaknya.
Namun, duo Daniel mengemas kisah keluarga ini dengan balutan multisemesta agar tidak membuat film keluarga seperti yang sudah-sudah.
Everything Everywhere All at Once juga membahas soal nihilisme ketika Evelyn diperlihatkan Jobu Tupaki bahwa hidup ini tidak bermakna, semua makhluk akan mati nantinya. Tapi, Evelyn mengabaikan hasutan Jobu Tupaki.
Apresiasi yang tinggi juga saya berikan kepada tiga tokoh utama film dari studio A24 ini, yaitu Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, dan Ke Huy Quen, karena telah memberikan performa akting yang optimal.
Ketiganya dapat menunjukkan kelas akting yang ciamik ketika mesti berganti-ganti identitas, kepribadian, dan tampilan fisik dari satu semesta ke semesta lainnya, yang mana hal tersebut pasti susah untuk dilakukan.
Salah satunya adalah semesta di mana Evelyn dan Waymond tidak menjadi sepasang suami-istri. Semesta itu menjadi tribut untuk film a la Wong Kar-wai.
Kalian yang sudah menontonnya pasti langsung sadar ketika tata rambut Waymond dibuat slick back, lengkap dengan setelan hitam. Kemudian, sinematografinya dibuat fokus di dua pemeran utama, sedangkan latarnya dibuat blur.
Tapi, tak hanya mengambil referensi dari film Wong Kar-wai, duo Daniel juga mengambil referensi dari film Ratatouille, A Space Odyssey, hingga The Matrix.
Masih banyak hal yang bisa diulas dari film ini, namun film ini dijamin membuat penonton puas dan senang ketika jalan keluar bioskop.
Jadi, jika kalian masih ragu untuk menonton Everything Everywhere All at Once di bioskop, tontonlah secepatnya selagi masih tayang di bioskop.
[Gambas:Youtube]