Adegan batu itu sangat sederhana. Hanya mengambil beberapa angle kamera yang simpel, hening, dan hanya disediakan subtitle. Tapi, di sinilah puncak komedi itu terjadi.
Rasanya sulit mencari celah untuk menilai apa yang kurang dari film ini. Bahkan, di balik filmnya yang kacau--dengan konotasi positif, ternyata sesungguhnya film ini mengandung makna yang dalam.
Ya, memang film ini mengusung tema multisemesta yang memiliki probabilitas tanpa batas di semesta yang lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Jutaan kemungkinan-kemungkinan yang mereka ambil di masa kini dapat memengaruhi nasib seorang individu di masa depan, dan apa yang kita lewatkan jika kita tidak mengambil keputusan lainnya.
Itu satu hal. Hal lainnya adalah film ini pada akhirnya sesimpel film yang menceritakan kisah hubungan ibu dan anak.
Joy hanya ingin mendapatkan pengakuan dari ibunya atas jati diri yang sebenarnya, tapi Evelyn, sebagai orang tua yang datang dari generasi sebelumnya, tidak mampu memahami anaknya.
Namun, duo Daniel mengemas kisah keluarga ini dengan balutan multisemesta agar tidak membuat film keluarga seperti yang sudah-sudah.
Everything Everywhere All at Once juga membahas soal nihilisme ketika Evelyn diperlihatkan Jobu Tupaki bahwa hidup ini tidak bermakna, semua makhluk akan mati nantinya. Tapi, Evelyn mengabaikan hasutan Jobu Tupaki.
Apresiasi yang tinggi juga saya berikan kepada tiga tokoh utama film dari studio A24 ini, yaitu Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, dan Ke Huy Quen, karena telah memberikan performa akting yang optimal.
Ketiganya dapat menunjukkan kelas akting yang ciamik ketika mesti berganti-ganti identitas, kepribadian, dan tampilan fisik dari satu semesta ke semesta lainnya, yang mana hal tersebut pasti susah untuk dilakukan.
Salah satunya adalah semesta di mana Evelyn dan Waymond tidak menjadi sepasang suami-istri. Semesta itu menjadi tribut untuk film a la Wong Kar-wai.
Kalian yang sudah menontonnya pasti langsung sadar ketika tata rambut Waymond dibuat slick back, lengkap dengan setelan hitam. Kemudian, sinematografinya dibuat fokus di dua pemeran utama, sedangkan latarnya dibuat blur.
Tapi, tak hanya mengambil referensi dari film Wong Kar-wai, duo Daniel juga mengambil referensi dari film Ratatouille, A Space Odyssey, hingga The Matrix.
Masih banyak hal yang bisa diulas dari film ini, namun film ini dijamin membuat penonton puas dan senang ketika jalan keluar bioskop.
Jadi, jika kalian masih ragu untuk menonton Everything Everywhere All at Once di bioskop, tontonlah secepatnya selagi masih tayang di bioskop.