Menikmati Warkop DKI versi film Reborn ini akan memiliki "pleasure" yang berbeda di antara para penggemar Warkop DKI dengan yang non-penggemar. Sehingga, yang menonton film komedi tersebut kemungkinan adalah orang-orang yang sudah familier dengan grup lawak tersebut.
"Fanbase itu masuknya ke pleasure. Mereka sudah banyak yang suka tentang Warkop," terang Satrio. "Nah, pleasure itu yang kemudian 'menjebak' penonton ke dalam bioskop."
Sedangkan, pengamat film dan budaya populer Hikmat Darmawan memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, formula yang paling mudah untuk membuat film menjadi laris justru terletak pada emosi dasar penonton, seperti emosi sedih dari film drama, gembira dan tawa dari film komedi, dan rasa takut dari film horor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Adalah tugas produser dan kreator film untuk meramu formula agar berhasil merayu emosi-emosi dasar penonton itu untuk pergi ke bioskop.
"Jadi appeal to that basic emotion itu dipenuhi oleh genre-genre film tersebut secara efektif," kata Hikmat.
"Kalau emosi dasarnya takut, penuhi dengan (nonton film) horor. Kalau emosi dasarnya ingin senang, (nonton) komedi. Kalau pengen mellow, haru, pengen nangis aja, ya, (nonton) drama," sambungnya.
Sutradara Angga Dwimas Sasongko memberikan pandangannya terhadap peringkat teratas film Indonesia terlaris yang didominasi oleh genre-genre tertentu. Jika hanya melihat penonton Indonesia, Angga menyetujui alasan yang sama dengan pandangan Satrio.
"Saya rasa penonton Indonesia selalu mencari sesuatu yang relevan. Setiap komunitas penonton, 'kan, punya dimensinya sendiri-sendiri," ungkap Angga saat ditemui CNNIndonesia.com di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (29/6).
Ia membandingkan aspek historikal dan sosiologis penonton Amerika dengan Indonesia. Kedua negara ini, menurut Angga, tentu memiliki perbedaan karakteristik dan kebiasaan menonton film.
Amerika, misalnya, telah melalui Perang Dunia I, II, hingga Perang Dingin. Sehingga, sebagai masyarakat kolektif, masyarakat Amerika memiliki visi yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.
"Misalnya, film seperti Avengers, Avatar, atau mungkin Top Gun: Maverick yang paling laku di Amerika," kata sutradara 37 tahun itu.
Sedangkan, jika dibandingkan dengan Indonesia, Angga menilai film Indonesia lebih banyak bercerita tentang kisah-kisah kecil, kisah yang ada di sekitar masyarakat dan dekat dengan rumah.
Karena, ungkap Angga, "Mereka bisa lebih merasa hadir di dalam layarnya ketika menonton."