Jakarta, CNN Indonesia --
Studio dan filmmaker mesti meracik ramuan yang pas agar film mereka dapat mendulang banyak penonton hingga mencapai untung. Racikan tersebut dicampur dengan satu sendok tantangan yang dihadapi tiap studio dan filmmaker: berjibaku dengan selera masyarakat yang beragam dan berubah secara dinamis.
Urusan bisnis tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari industri film di negara mana pun. Kacamata bisnis melihat film sebagai produk dagang yang membutuhkan strategi dan formula jitu agar laris di pasaran.
Itu sudah menjadi pemahaman dasar bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini, terutama para studio dan filmmaker. Untuk itu, mereka mesti beradaptasi dengan perubahan tren di masyarakat, mesti memperbarui formula dari waktu ke waktu, dari film ke film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitulah yang dialami oleh salah satu rumah produksi Visinema Pictures. Menurut Angga Dwimas Sasongko, sutradara sekaligus CEO rumah produksi tersebut, formula untuk promosi film Visinema umumnya menyesuaikan strategi dan target penonton yang ingin dicapai.
Promosi juga disebut sebagai satu dari sejumlah aspek yang perlu perhitungan tepat. Salah satu yang dicermati adalah rancangan film yang akan dibuat.
"Kalau kami dalam merancang sebuah proyek akan berhitung banyak hal, termasuk rancangan produksi dan promosi," tutur Angga kepada CNNIndonesia.com ketika ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (29/6).
"Intinya, tidak pernah ada formula yang pasti. Tergantung dari strategi dan KPI (Key Performance Indicator) yang mau dicapai dari masing-masing film," tegasnya.
Hal yang sama pun berlaku dengan MD Pictures. Produser sekaligus CEO MD Pictures Manoj Punjabi mengatakan formula promosi yang ia buat selalu berubah tergantung film yang diproduksi.
"Dari digital, media sosial, Instagram, TikTok, YouTube, itu semua kita angkat pasti. Terus, promosi offline di bioskop," kata Manoj kepada CNNIndonesia.com ketika berbincang via sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Lanjut ke sebelah...
Ambil contoh strategi promosi KKN di Desa Penari (2022) dengan Habibie & Ainun (2012) yang sama-sama ditangani MD Pictures. Kala merilis Habibie & Ainun sedekade lalu, Manoj mengoptimalkan televisi sebagai medium promosi.
Ia mengajak mantan presiden RI BJ Habibie, tokoh yang ceritanya diangkat dalam film tersebut, tampil di berbagai program hingga iklan di televisi. Sementara, promosi untuk KKN di Desa Penari dioptimalkan secara digital.
Selain itu, Manoj mengatakan tidak menggelar konferensi pers atau nonton bareng artis layaknya yang sering terjadi pada banyak film.
Kedua fllm tersebut menorehkan hasil yang gemilang. KKN di Desa Penari, hingga Kamis (30/6), mencatat lebih dari 9,2 juta penonton dan kokoh sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Sedangkan, Habibie & Ainun bertengger di posisi keenam dengan 4,5 juta lebih penonton.
 Habibie & Ainun yang dibintangi Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari menempati posisi ke-6 film Indonesia terlaris dengan 4,5 juta penonton. (Foto: MD Pictures via Imdb) |
KKN di Desa Penari diangkat dari cerita mistis yang viral di Twitter pada 2019 lalu lewat akun @SimpleM81378523. Utas itu menjadi viral, mendapat respons luas dari masyarakat, hingga akhirnya diangkat menjadi film layar lebar. Setidaknya, MD Pictures sudah punya modal dasar agar KKN di Desa Penari bisa membuat penonton pergi ke bioskop.
Film yang disutradarai Awi Suryadi itu sempat terjegal pandemi. Manoj berusaha menjaga KKN di Desa Penari agar tidak kehilangan penonton sehingga tidak memaksakan film itu tayang di tengah ombak Covid-19 yang masih tinggi.
Manoj sempat membuat KKN di Desa Penari "mati suri". Langkah tersebut ia lakukan demi momen emas untuk menggencarkan promosi dan akhirnya menayangkannya di layar lebar.
"Jadi kami diamkan 2 tahun film itu, 1 tahun 10 bulan didiamkan, enggak membicarakan soal KKN," ungkap Manoj.
Pengamat film Satrio Pamungkas sepakat dengan strategi yang diambil MD Pictures terkait KKN di Desa Penari. Akademisi film Institut Kesenian Jakarta itu menilai kesuksesan KKN di Desa Penari merupakan kombinasi dari pemilihan momentum yang jitu dan modal cerita yang apik.
"Ini momentum, sih. Dia (KKN di Desa Penari) itu jeli banget mainkan momentum," tutur Satrio Pamungkas kepada CNNIndonesia.com.
"Itu racikannya mungkin obrolan yang disukai, lalu dikemas dengan memainkan identitas sosial masyarakat Indonesia, dicampur lagi dengan sudut pandang pemikiran yang mudah diterima," lanjutnya.
Lanjut ke sebelah...
Meski demikian, upaya meracik formula baru tidak selamanya berjalan mulus. Jalan terjal juga kerap dilalui para produser dan filmmaker ketika film yang dirilis gagal di pasaran. Salah satu penyebabnya, menurut Angga, adalah "faktor X" dan anomali yang kerap terjadi di luar kontrol filmmaker.
"Tidak ada yang bisa menjamin strategi yang telah dieksekusi dengan baik itu bisa membawa kami ke KPI yang telah dilakukan, itu belum tentu," kata Angga.
"Selalu banyak anomali dan X factor yang kadang di luar kontrol kami juga, and it's okay," lanjutnya.
Fenomena tersebut terjadi baru-baru ini. Proyek ambisius Satria Dewa: Gatotkaca yang berbujet puluhan miliar rupiah ternyata melempem di pasaran.
Berdasarkan pantauan per Kamis (30/6), film tersebut hanya mencatat 186.133 penonton sejak rilis pada 9 Juni 2022. Angka itu kalah jauh dari Ngeri-Ngeri Sedap yang meraih lebih dari 2,3 juta penonton yang tayang satu minggu sebelumnya. Padahal, film garapan Bene Dion Rajagukguk itu relatif tidak menggelontorkan banyak dana promosi.
Satrio Pamungkas menerangkan fenomena tersebut disebabkan oleh selera masyarakat Indonesia. Penonton saat ini dinilai cenderung mencari film sebagai hiburan yang memiliki kedekatan dengan kehidupan mereka.
"Orang-orang itu datang ke bioskop udah enggak mau lagi cari capek buat melihat suatu hal yang imajinatif," ungkap Satrio.
"Gatotkaca itu mungkin secara sosial identitas kuat, tapi secara pleasure kalah sama Ngeri-Ngeri Sedap," lanjutnya.
Sementara itu, pengamat film dan budaya pop Hikmat Darmawan menilai salah satu penentu film laris ditonton justru berasal dari faktor ekstrinsik. Ia beranggapan fenomena film berbujet besar tetapi tidak laku merupakan suatu hal yang jamak terjadi.
Sebab, faktor ekstrinsik seperti tren di masyarakat punya pengaruh besar dalam menentukan nasib film di pasaran.
"Kalau ada film modal besar terus flop, itu biasa terjadi. Bisa jadi karena filmnya dapat omongan jelek. Meski, ada juga film yang semua kritikus bilang jelek tapi laris-laris aja," tambah Hikmat Darmawan kepada CNNIndonesia.com.
[Gambas:Photo CNN]