Dalam Perkembangan Musik Keroncong di Surakarta pada 1960-1990 yang ditulis Dani Ratna Sari, mengutip penelitian Chysanti Arumsari secara jelas mengungkapkan alasan Jepang melarang pertunjukan keroncong Tugu.
Jepang disebut melarang pertunjukan keroncong Tugu karena dinilai bisa membangkitkan semangat pemuda hingga memicu terjadinya pemberontakan.
Keroncong Tugu memang memiliki irama yang berbeda dari beberapa yang berkembang di kawasan lain di Pulau Jawa, seperti Surakarta. Irama keroncong Tugu lebih rancak, cepat, dan bersemangat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Sedangkan keroncong di Surakarta disebut lebih lembut dan mendayu-dayu. Sehingga, Jepang menilai musik keroncong di Surakarta tidak membahayakan.
Kondisi tersebut, kata Arthur, membuat keroncong di Jawa Tengah semakin berkembang bahkan dijadikan alat propaganda, sedangkan keroncong Tugu harus kembali 'pulang' dan hanya dinikmati kelompok sendiri.
"Ketika '42 Jepang datang, mau enggak mau orang Tugu hanya main di kalangan dia sendiri kayak di gereja, atau di rumah habis makan malam. Biasanya di dalam rumah, enggak lagi terang-terangan seperti dulu. Karena Jepang kan melarang pesta-pesta," cerita Arthur.
Menyerahnya Jepang kepada Amerika dan sekutunya pada 1945 dalam Perang Dunia II tak hanya membuat Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Hal itu juga membuat keroncong Tugu mendapatkan kemerdekaan untuk kembali bermusik.
Nada dan irama yang selama ini disembunyikan bahkan dikubur bisa dibangkitkan kembali oleh orang-orang Tugu kala itu.
"Ya kemudian pascakemerdekaan, tahun-tahun '47 baru mulai lagi. Karena Belanda sudah datang lagi kan? Jadi kami sudah enggak terlalu dibatasi," tutur Arthur.
"Dan dulu juga masyarakat umum, mau pro-Belanda mau anti-Belanda juga menikmati, jadi enggak ada masalah," lengkap Arthur menjelaskan popularitas jangka panjang dari keroncong Tugu.
![]() |
Kini, ia masih yakin untuk meneruskan warisan tersebut kepada generasi-generasi baru. Ia juga berpesan agar generasi muda tak lengah menjaga warisan budaya di Indonesia.
Pesan ini disampaikan dengan emosional oleh Arthur, karena ia tak ingin para anak muda kembali menghadapi pengalaman buruk para moyangnya di masa lalu, pengalaman berdendang dalam kesunyian.
"Ya saya sih berharap bahwa pertama keroncong Tugu ini akan tetap ada. Regenerasi tetap terjadi. Tongkat estafet akan terus diberikan dari generasi ke generasi," lengkap Arthur.
"Terus untuk masyarakat, terutama anak muda, silakan kalian bermain musik atau berbudaya apapun, tapi jangan lupakan budaya bangsa sendiri. Karena pertahanan terakhir kalian adalah mempertahankan budaya." pungkas Arthur menahan haru.