Apalagi dengan penampilan memukau dari Ana de Armas yang mampu membawa jiwa juga karakter Marilyn Monroe dan Norma Jeane. Dua perempuan berbeda karakter dalam satu tubuh yang memiliki pengalaman hidup begitu getir.
Meski fiksi, kisah Norma Jeane alias Marilyn Monroe versi fiksi ini sejatinya mengajarkan banyak hal. Terutama soal kesehatan mental dan bagaimana perkataan, perbuatan, atau kondisi jiwa seseorang bisa berpengaruh pada orang lain.
Dalam Blonde, Norma alias Marilyn adalah gambaran orang yang dibesarkan dari orang tua delusional karena tak bisa lepas dari masa lalu. Ia lalu dicampakkan sejak kecil, hampa akan kasih sayang orang tua, yang kemudian semua luka batin itu secara tidak disadari menjadi benalu dalam dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demi bisa diterima dan dipandang, Norma rela menjalani dua karakter yang berbeda. Ia mengadopsi karakter Marilyn, ciptaan dari pria-pria materialistis Hollywood, hanya demi mendapatkan kasih sayang tulus.
Memang Norma mendapatkannya, tapi itu tak sejati. Patah hati demi patah hati yang ia lalui semakin membuat kondisinya memburuk. Belum lagi dengan lingkungan yang toksik dan hanya menjadikannya sebagai budak industri untuk menghasilkan cuan.
Hampa akan sosok ayah menjadikan Norma alias Marilyn mencari kehangatan tersebut dari laki-laki, yang sekaligus jadi kesempatan banyak pria bajingan menjadikan dirinya sebagai target dan objek.
![]() |
Norma dan Marilyn rela merendahkan diri, bahkan tidak menjadi dirinya sendiri, hanya untuk menyenangkan pasangan. Apalagi bila melihat latar waktu kisah film Blonde, ketika perempuan belum mendapatkan ruang kesetaraan seluas saat ini.
Mungkin narasi itu menggelikan untuk didengar bagi sebagian orang. Namun di luar sana, ada banyak orang yang secara tidak sadar mengalami atau melakukan hal yang sama dengan Norma dan Marilyn.
Ironi berikutnya dari film Blonde yang menampilkan kekerasan terhadap perempuan adalah bahwasanya film ini diproduseri oleh sineas yang dituding melakukan kekerasan terhadap istri juga anak-anaknya, baru-baru ini.
Masalahnya, salah satu produser film yang dimaksud tersebut bukan hanya memiliki kuasa di Hollywood dan memegang citra "Hollywood Darling", tapi juga punya penggemar yang fanatik. Plus, tudingan ini muncul dari perempuan yang kini sudah bukan lagi sebagai istrinya.
Terlepas tudingan tersebut, fakta keberadaan produser yang tersangkut tuduhan KDRT membuat film dengan konten KDRT adalah sebuah ironi besar dari industri hiburan bernama Hollywood. Bukan tidak mungkin, kisah serupa juga dialami banyak perempuan dalam industri lainnya.
Dengan kisah ini, apakah Blonde hanya sekadar film fiksi yang seksis atau justru sebenarnya teriakan sunyi dari kondisi industri yang bobrok kemanusiaan?