Jakarta, CNN Indonesia --
Film memang tak melulu mesti menjadi produk hiburan. Terkadang, film juga menjadi gambaran ironi, kenyataan pahit, sekaligus tamparan keras akan kehidupan yang tak seindah khayalan. Blonde melakukan hal tersebut.
Meski berlabel film biografi, saya mungkin akan lebih setuju menyebut film yang dibintangi Ama de Armas ini sebagai film fiksi yang terinspirasi kejadian nyata, lebih tepatnya terinspirasi dari kehidupan sang ikon Marilyn Monroe.
Nama, karakter, latar dalam Blonde mungkin disesuaikan dengan data dan cerita soal kehidupan Marilyn Monroe. Namun sejatinya, alur cerita, konflik, hingga lini masa dalam film ini tidak 100 persen mengikuti ataupun sesuai dengan kejadian di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dulu yang saya ingin sampaikan di awal review Blonde ini, perspektif bahwasanya saya yakin film yang ditulis dan digarap oleh Andrew Dominik dari buku karangan Joyce Carol Oates ini akan lebih baik dipandang sebagai film fiksi alih-alih sebagai film biografi.
Blonde menggambarkan kondisi paling pahit yang bisa dialami seorang perempuan dalam industri hiburan, industri yang mengeruk keuntungan dengan menghibur penikmatnya dan mungkin saja berdiri di atas tangisan juga penderitaan pelakunya.
Kenyataan pahit itu terlihat dari bagaimana sosok Norma Jeane alias Marilyn Monroe (Ana de Armas) dipandang dan diperlakukan dalam industri hiburan Hollywood yang seksis, terlalu maskulin, dan jelas merendahkan perempuan.
 Review Blonde: alur cerita, konflik, hingga lini masa dalam film ini tidak 100 persen mengikuti ataupun sesuai dengan kehidupan Marilyn Monroe. (dok. Netflix) |
Sejumlah asumsi itu juga sebenarnya tak sepenuhnya karangan pengarang. Masih jelas dalam ingatan berbagai skandal pelecehan dan ketimpangan berbasis gender yang terjadi di industri hiburan, baik di Hollywood maupun di Indonesia.
Memang, Blonde dengan segala penggambaran dalam film ini secara brutal menonjolkan seksisme, dramatisasi yang cukup berlebihan, hingga kekerasan yang bisa saja terjadi pada siapa pun, bukan cuma perempuan.
Namun apakah itu menjadi dasar film ini patut dicela seperti yang ramai belakangan ini? Saya rasa hal itu mungkin karena publik terbiasa atau rindu akan film yang menampilkan angan, harapan, atau inspirasi atas sesuatu karena dunia nyata begitu sulit untuk diterima.
Hal itu persis seperti yang jadi tujuan dari jualan Hollywood: American Dream, bahwasanya segala sesuatu yang diinginkan bisa terwujud bila kita berusaha dan terus bermimpi. Akan tetapi, seringkali terlupa bahwa kehidupan ini berjalan tidak atas kehendak manusia.
Mimpi dan angan-angan itu seringkali membutakan orang bahwa jalan terjal yang dilalui bukan hanya karena sekadar rintangan, tetapi memang kondisi pahit dari apa yang ingin diperjuangkan.
Blonde menampilkan gambaran ketika industri media dijalankan juga dikuasai oleh para laki-laki seksis yang hanya berorientasi pada cuan, cuan, dan cuan.
 Review Blonde: film ini menampilkan gambaran ketika industri media dijalankan juga dikuasai oleh para laki-laki seksis yang hanya berorientasi pada cuan, cuan, dan cuan. (dok. Netflix) |
Hal itu belum termasuk dari konotasi "hiburan" yang menarik bagi publik adalah pada topik dan objek yang banyak berkaitan dengan selangkangan, yang memuaskan gairah juga fantasi. Apakah gambaran ini terasa asing pada saat ini? Saya rasa tidak juga.
Blonde menggambarkan hal pahit di balik mimpi indah yang membutakan akal, meskipun disajikan dengan cara yang sangat tidak nyaman dan justru bikin sering-sering mengelus dada.
Lanjut ke sebelah...
Apalagi dengan penampilan memukau dari Ana de Armas yang mampu membawa jiwa juga karakter Marilyn Monroe dan Norma Jeane. Dua perempuan berbeda karakter dalam satu tubuh yang memiliki pengalaman hidup begitu getir.
Meski fiksi, kisah Norma Jeane alias Marilyn Monroe versi fiksi ini sejatinya mengajarkan banyak hal. Terutama soal kesehatan mental dan bagaimana perkataan, perbuatan, atau kondisi jiwa seseorang bisa berpengaruh pada orang lain.
Dalam Blonde, Norma alias Marilyn adalah gambaran orang yang dibesarkan dari orang tua delusional karena tak bisa lepas dari masa lalu. Ia lalu dicampakkan sejak kecil, hampa akan kasih sayang orang tua, yang kemudian semua luka batin itu secara tidak disadari menjadi benalu dalam dirinya sendiri.
Demi bisa diterima dan dipandang, Norma rela menjalani dua karakter yang berbeda. Ia mengadopsi karakter Marilyn, ciptaan dari pria-pria materialistis Hollywood, hanya demi mendapatkan kasih sayang tulus.
Memang Norma mendapatkannya, tapi itu tak sejati. Patah hati demi patah hati yang ia lalui semakin membuat kondisinya memburuk. Belum lagi dengan lingkungan yang toksik dan hanya menjadikannya sebagai budak industri untuk menghasilkan cuan.
Hampa akan sosok ayah menjadikan Norma alias Marilyn mencari kehangatan tersebut dari laki-laki, yang sekaligus jadi kesempatan banyak pria bajingan menjadikan dirinya sebagai target dan objek.
 Review Blonde: Marilyn Monro dikisahkan berada di lingkungan yang toksik dan hanya menjadikannya sebagai budak industri untuk menghasilkan cuan. (Matt Kennedy/NETFLIX/) |
Norma dan Marilyn rela merendahkan diri, bahkan tidak menjadi dirinya sendiri, hanya untuk menyenangkan pasangan. Apalagi bila melihat latar waktu kisah film Blonde, ketika perempuan belum mendapatkan ruang kesetaraan seluas saat ini.
Mungkin narasi itu menggelikan untuk didengar bagi sebagian orang. Namun di luar sana, ada banyak orang yang secara tidak sadar mengalami atau melakukan hal yang sama dengan Norma dan Marilyn.
Ironi berikutnya dari film Blonde yang menampilkan kekerasan terhadap perempuan adalah bahwasanya film ini diproduseri oleh sineas yang dituding melakukan kekerasan terhadap istri juga anak-anaknya, baru-baru ini.
Masalahnya, salah satu produser film yang dimaksud tersebut bukan hanya memiliki kuasa di Hollywood dan memegang citra "Hollywood Darling", tapi juga punya penggemar yang fanatik. Plus, tudingan ini muncul dari perempuan yang kini sudah bukan lagi sebagai istrinya.
Terlepas tudingan tersebut, fakta keberadaan produser yang tersangkut tuduhan KDRT membuat film dengan konten KDRT adalah sebuah ironi besar dari industri hiburan bernama Hollywood. Bukan tidak mungkin, kisah serupa juga dialami banyak perempuan dalam industri lainnya.
Dengan kisah ini, apakah Blonde hanya sekadar film fiksi yang seksis atau justru sebenarnya teriakan sunyi dari kondisi industri yang bobrok kemanusiaan?
[Gambas:Youtube]