Kegelapan menyapa saat memasuki rubanah sebuah gedung di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat (11/11) malam. Kemacetan dan hiruk pikuk lalu lintas Jakarta pada Jumat malam di luar bak berada di dunia yang berbeda.
Rubanah itu jelas bagai lokasi pilgrim bagi penggiat musik bawah tanah. Benar saja, aura dan energi yang berbeda dari acara ulang tahun ke-10 band punk Piston di ruangan itu langsung terasa begitu masuk ke dalam ruangan.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka yang hadir di ruangan itu jelas tahu, malam itu adalah waktunya bersenang-senang. Gerungan distorsi tebal muncul dari aula bagian dalam. Band Godplant tengah bersiap meski gitaris mereka absen malam itu.
Awalnya malu-malu, tapi hadirin pun tertarik magnet gaung set Godplant dan mulai memadati area depan panggung yang merupakan mosh pit. Hingga kemudian, band punk rock Bekasi, The Rang-Rangs, memanaskan ruangan temaram-gelap itu.
Peluh, gerakan acak, hingga berbagai aksi pengunjung ber-moshing-ria bermunculan di sela set padat dan serba cepat dari duo Miko dan Mika Tobing. Ragam sub-varian moshing seperti stage diving dan crowd surfing sudah bertebaran di tengah kerumunan.
Ketika tuan rumah, Piston, naik panggung, situasi semakin pecah. Lagu andalan Piston yang memiliki riff gitar hard rock dengan tempo cepat musik punk membuat ratusan pengunjung panas, di awal penampilan band itu.
Moshing jelas menjadi bahasa komunikasi dan kecintaan antara pelaku musik punk dan rock dengan penggemarnya pada malam itu. Moshing di kerumunan penggemar pada malam itu pun senada dengan definisinya.
Pada awalnya, moshing dikenal sebagai salah satu bentuk ekspresi gerak tubuh yang berkembang dari subkultur musik gorong-gorong alias underground di Amerika Serikat. Ekspresi ini lahir dari tarian pogo yang tumbuh subur di skena punk Los Angeles dan Washington DC pada dekade '80-an.
Menurut Joseph Barker dalam tesisnya, Tales from the Pit: Moshing in the Metal Scene di Faculty of The Graduate School at The University of North Carolina at Greensboro (2019), moshing kini telah menjadi padanan umum untuk mendeskripsikan gaya tarian serupa yang ditemui dalam berbagai pertunjukan musik. Termasuk di Indonesia.
Istilah moshing, mengutip William Tsitsos dalam Rules of Rebellion: Slamdancing, Moshing, and the American Alternative Scene: Popular Music (1999), pertama kali lahir oleh band hardcore punk asal DC, Bad Brains.
Saat itu, vokalis Bad Brains, H.R, kerap menggambarkan aktivitas penonton saling bertumbuk dengan kata "mash", serta sering menggunakan istilah tersebut dalam lirik-lirik mereka. Karena logat Jamaika yang kental, kata "mashing" yang ia sebutkan terdengar oleh penonton sebagai "moshing".
Bukan hanya gerak tubuh dan sekadar saling bertumbuk antar tubuh penonton, moshing dianggap sosiolog dan peneliti punk UIN Syarif Hidayatullah, Fathun Karib, sebagai bentuk interaksi antara penampil dan penonton.
"Pertunjukan musik itu kan interaksi sosial," jelas Karib yang juga vokalis dari band grindcore Cryptical Death itu kepada CNNIndonesia.com dalam kesempatan terpisah.
Menurut Karib, interaksi yang terjadi antara pendengar dan musisi sudah terjadi ketika lagu mulai diperdengarkan. Namun interaksi itu bukanlah interaksi langsung. Sama seperti saat mendengarkan kaset, musik, atau membaca lirik.
Sedangkan dengan moshing, interaksi yang terjadi antara penggemar dan penampil sudah lebih dari sekadar mendengarkan musik atau membaca sajak lirik.
"Tarian (moshing) itu untuk interaksi sosial. Karena lo bersepakat, ini kita kan omongin simbol-simbol, dengan lagu yang lo dengar. Itu kan bentuk konfirmasi, bahwa lo suka sama lagu itu," kata Karib.
Pendapat Karib terbukti dari pengakuan Anida, seorang penonton yang hadir dalam acara ulang tahun Piston yang juga sekaligus pemain bas dari band post-metal Amerta.
Lanjut ke sebelah...