Ribuan gig sudah ia jalani, Anida masih tetap terkesima dengan tumpah ruah energi kala penonton hanyut dalam moshing. Ia yang aktif turun ke mosh pit tak peduli meski terpental, terdorong, oleh sesama penonton yang tak ia kenal.
"Karena gue tahu kalau di tengah mosh pit itu kita menyenangi band yang sama, untuk meneriakkan lirik lagu yang sama," kata Anida. "Ya itulah mengapa ke mosh pit itu menjadi sangat menyenangkan, ketika kita bersatu karena musisi yang sama,"
Begitu pula dengan Dede, kekasih Anida yang datang malam itu tapi tak "terlalu aktif" lantaran kakinya terkilir usai mengalami kecelakaan motor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau lagi sehat, biasanya mosh juga sampai keseleo," kata Dede berkelakar disambut tawa dari sejumlah kawannya. "Apa yang gue rasain, di luar adrenalin, biasanya karena gue tahu lagunya. Jadi kayak karaoke tapi sambil silat gitu,"
Kisah Dede yang moshing sambil keseleo bagai menggambarkan stigma awam pada skena musik bawah tanah dan turunannya yang lekat dengan hal negatif, termasuk kekerasan.
Namun bagi Robonggo dari kolektif Paguyuban Crowd Surf yang juga sering menggelar pertunjukan penuh moshing, tindakan agresif dan cedera tubuh sudah jadi konsekuensi dari ekspresi kelompok penggemar ini.
"Orang kan ekspresinya macam-macam ya, ada yang memang agresif banget mukulin kanan kiri lo, cara pelampiasannya mukulin orang lah," kata Robonggo, malam itu. "Kalau memang ada yang resek, ya paling dipisahkan dulu sebelum menimbulkan kerusuhan,"
"Tapi kalau menurut gue, di setiap mosh pit tuh sudah pada sadar sendiri sih, enggak harus diingatkan untuk enggak resek. Walaupun ya memang ada aja, enggak mungkin kita mengontrol orang lain kan?" kata Robonggo.
"Walaupun lo mungkin banget ketampol, kesikut orang, ya tapi kita tahu kalau di sana semuanya lagi having fun," timpal Anida. "Di mosh pit sih semuanya sudah reflek untuk saling bantu ketika ada yang jatuh. Jadi menurut gue, itu lingkungan yang sangat menyenangkan,"
'Kesadaran' para penggemar moshing ini dianggap Karib terbentuk secara alamiah. Apalagi, nilai dasar punk adalah mengedepankan prinsip egaliter. Menurut Karib, nilai punk yang sesungguhnya tidak akan mungkin menciptakan konflik hanya karena moshing.
![]() |
Meski begitu, Karib mengakui bahwa tatanan panggung akan berpengaruh terhadap interaksi yang terjadi. Makin pendek jarak penampil dengan penggemar, pertunjukan akan terasa makin intim sehingga bisa memangkas konflik antar penonton.
"Di beberapa konteks punk kan ada anti idolatry, anti idola. Ketika lo membenturkan hubungan tadi, relasi sosial antara penampil dan para penonton, yang mana itu juga dipengaruhi oleh setting panggung," ungkap Karib.
"Maka dari itu, kalau main di kafe-kafe kecil itu lebih intimate, karena panggungnya enggak ada jarak sosial," pungkasnya sekaligus menjawab minimnya konflik horizontal yang terjadi antara penonton di gig bawah tanah.
Beberapa dekade setelah H.R dari Bad Brains mencetuskan moshing, gerakan itu kini tidak hanya dilambangkan sebagai tarian agresif yang membenturkan tubuh satu sama lain di mosh pit.
Meski kerap dinilai berbahaya dan bahkan menantang maut, Barker menyebut moshing adalah bentuk ikatan sosial yang mencerminkan solidaritas, kode etik, hingga menjadi nyawa utama dari sebuah pagelaran musik.
Kini, moshing juga tak lagi eksklusif. Tua, muda, pria, maupun wanita, kerap ditemui dalam sebuah mosh pit di pertunjukan musik yang sarat energi.
(end)