Jakarta, CNN Indonesia --
The Pope's Exorcist sebenarnya bisa saja menjadi film horor yang menjanjikan seperti ketika The Conjuring tayang tepat sedekade dulu.
Namun sayang, modal kisah yang terinspirasi pengalaman nyata dari sosok besar dan menggunakan aktor papan atas dalam film ini tak cukup dieksekusi dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
The Pope's Exorcist menyisakan kisah yang kepalang nanggung. Masih ada unsur horor tapi tak menakutkan, memiliki efek visual yang canggih tapi atmosfer mistiknya tak tersampaikan, dan cerita yang terlihat tersesat sendiri.
Kisah Pastor Gabriele Amorth, Kepala Eksorsisme Vatican 1986-2016, yang telah menangani lebih dari 50 ribu kasus dugaan eksorsisme sepanjang kariernya dalam film ini harusnya jadi modal besar untuk memukau penonton.
Apalagi, tak pernah terbayang sebelumnya bagaimana koleksi cerita dari 50 ribu dugaan kasus eksorsisme disimpan oleh seorang pejabat tinggi Vatikan yang tanggung jawabnya langsung kepada Sri Paus.
Film ini pun menggunakan dua memoar yang ditulis langsung oleh Amorth sebelum meninggal pada 2016, The Pope's Exorcist, An Exorcist Tells His Story dan An Exorcist: More Stories.
 Review The Pope's Exorcist: modal kisah terinspirasi pengalaman nyata dari sosok besar dan aktor papan tak cukup dieksekusi dengan baik dalam film ini. (dok. Sony Pictures Releasing via IMDb) |
Hal itu sebenarnya tampak lebih menjanjikan dibanding arsip pasangan Ed dan Lorraine Warren yang dipegang James Wan dalam The Conjuring saga. Terakhir kali, Wan terasa sudah mulai kewalahan secara kreatif dalam mengembangkan arsip tersebut.
Namun sayang, pengalaman Amorth dalam dua memoar tersebut gagal diekstrasi oleh Michael Petroni, R. Dean McCreary, dan Chester Hastings, dan berbuah naskah yang ditulis Michael Petroni dan Evan Spiliotopoulos terasa tanggung.
Atau, bisa jadi sutradara Julius Avery yang memang tak bisa membuat film horor yang bisa membuat penonton bergidik dan menjerit.
Padahal secara cerita, The Pope's Exorcist tak memiliki formula baru yang spesial. Polanya masih mirip dengan legenda The Amityville Horror yang digabung dengan pola kisah legendaris The Exorcist.
Ketika pola cerita itu muncul, saya sesungguhnya agak mengkhawatirkan apakah sutradara dan penulis bisa membentuk terobosan baru dari dua pola cerita yang klise di dunia film horor itu.
Avery, Petroni, dan Spiliotopoulos jelas kesulitan dalam membangun cerita. Alur cerita terasa jatuh dan bangun, dengan Russell Crowe yang juga tak sanggup menyelamatkan film ini.
Ada banyak adegan yang sebenarnya tidak penting, ditambah akting sejumlah pemain yang terlihat amatiran bila dibanding Crowe.
Selain itu, pesan samar yang disampaikan Avery, Petroni, dan Spiliotopoulos sungguh ditampilkan amat samar hingga tak bisa dicerna oleh otak.
Lanjut ke sebelah...
Trio Avery, Petroni, dan Spiliotopoulos memang terlihat ingin membangun cerita dengan setahap dengan setahap, dengan sesekali kilas balik ke masa lalu. Namun cara ini sebenarnya cukup rumit dan jelas ketiganya terpeleset cara mereka sendiri.
Latar cerita yang besar di bagian akhir tak sanggup ditopang dengan baik oleh fondasi masalah cerita di bagian awal. Ini membuat penonton tidak hanyut dalam cerita karena harus susah payah menyusun informasi.
Hal ini membuat segala horor yang tampil pun terasa hanya sekadar parade lewat semata, tanpa mampu mencengkeram penonton melalui kengerian demi kengerian berhadapan dengan iblis kelas kakap.
Memang kisah riil eksorsisme seringkali tak seseram dalam film, namanya juga dramatisasi. Namun justru dramatisasi dan kengerian itulah yang dicari oleh penonton penggemar film horor, khususnya eksorsisme.
Semenjak legenda The Exorcist muncul pada dekade 70-an lalu, penggemar film eksorsisme selalu ingin melihat bagaimana pertarungan antara iblis dengan 'orang Tuhan'. Lengkap dengan berbagai dramatisasi klise seperti suhu drop, salib terbalik, orang terlempar, hingga poltergeis.
Namun semua hal 'standar' itu kurang terasa di The Pope's Exorcist, sehingga terasa seperti membeli snack dengan bungkus party tapi hanya berisi sajian takaran anak lima tahun.
 Review The Pope's Exorcist: semua hal 'standar' dalam film-film eksorsisme kurang terasa di The Pope's Exorcist. (dok. Sony Pictures Releasing via IMDb) |
Meski ceritanya kopong, The Pope's Exorcist memiliki hal positif. Salah satunya adalah potensi yang tetap terlihat menjanjikan untuk dikembangkan.
Namun tentu itu dengan catatan Screen Gem dan Sony jelas harus merombak tim kreatif dan mencari orang yang sungguh menggilai dan paham akan cerita horor.
Saya pribadi sebenarnya masih penasaran apakah The Pope's Exorcist bisa berkembang, mengingat ada banyak cerita dari Pastor Gabriele Amorth yang belum terkisahkan. Bahkan, mencari 199 lokasi yang dimaksud dalam film ini pun bisa menjadi petualangan tersendiri.
Selain potensi itu, bagian visual dan sinematografi juga desain produksi film ini patut diberi pujian. Khalid Mohtaseb selaku sinematografer dan Alan Gilmore sebagai desainer produksi jelas bekerja dengan baik karena berhasil membuat keseruan dalam film ini.
Sementara itu, saya tak ada banyak komentar terhadap Russell Crowe mengingat perannya dalam film ini juga memang tidak seistimewa dan seikonis tersebut. Padahal, Crowe bisa saja menjadi pusat perhatian mengingat jam terbangnya.
Pada akhirnya, The Pope's Exorcist sesungguhnya lebih mirip hidangan yang memiliki resep menjanjikan tapi dimasak dengan cara yang salah sehingga memiliki rasa yang agak ganjil, walau tetap bisa dikonsumsi.
[Gambas:Youtube]