Review film Siksa Neraka: film ini dikembangkan ala sinetron azab tapi dengan banyak hal yang membuat gerutu di akhir. (dok. Dee Company/Umbara Brothers Film via YouTube)
2
Melihat Siksa Neraka bagai disiksa menyaksikan film 98 menit yang tak jelas juntrungannya.
Jakarta, CNN Indonesia --
Artikel ini mengandung sedikit beberan/spoiler...
Saya tidak tahu bagaimana memulai review Siksa Neraka ini. Yang jelas, saya merasa menyaksikan film ini memang bagai disiksa oleh berbagai aspek yang membuat saya bertanya apa yang sebenarnya saya tonton selama 98 menit.
Anggap saja, gerutu saya setelah keluar bioskop menyaksikan Siksa Neraka ini sebagai konsekuensi ekspektasi yang kelewat tinggi sebagai pembaca versi komiknya sejak kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari 20 tahun lalu, saya dalam versi bocil selesai membaca komik Siksa Neraka dengan bergidik. Lima tahun lalu ketika saya melakukan liputan khusus soal komik siksa neraka pun, saya masih membayangkan betapa serunya bila komik legendaris ini jadi drama live action di layar lebar.
Jujur saja, saya sudah menurunkan ekspektasi ketika proyek film Siksa Neraka diumumkan, apalagi saat trailer dirilis. Namun marilah mencoba berpikiran positif terhadap "film karya anak bangsa" hingga akhirnya melihat sendiri di layar lebar.
Kacau; ngalor-ngidul; alur cerita yang tak logis; kurang riset; emosi tak tersampaikan ke penonton; cuma modal adegan sadis; dan tak peka terhadap masalah sosial saat ini. Sungut-sungut itulah yang muncul usai saya melihat film Siksa Neraka.
Mari kita bahas perlahan. Saya sebenarnya masih memberikan toleransi yang sangat luas bila Lele Laila sebagai penulis ingin mengembangkan cerita Siksa Neraka dari versi komik yang ditulis MB Rahimsyah ini.
Pengembangan kisah yang dilakukan Lele Laila dengan segala imajinasinya yang bagai sinetron azab ini masih bisa saya terima secara konsep, karena memang dalam versi komik ceritanya begitu sederhana.
Foto: (dok. Dee Company/Umbara Brothers Film via YouTube) Siksa Neraka merupakan film horor berdurasi 98 menit ini disutradarai oleh Anggy Umbara dari naskah yang ditulis oleh Lele Laila dan MB Rahimsyah.
Dalam versi komik, Rahimsyah pada dekade '80-an hanya mengisahkan ulang saat Nabi Muhammad SAW ditunjukkan surga dan neraka dalam peristiwa Isra Mikraj. Rahimsyah pun cuma menarasikan melalui caption yang diperkuat dengan gambar-gambar mengerikan khas komik torture porn.
Tentu saja, kisah yang dinarasikan disangkutpautkan dengan nilai-nilai agama Islam dan berbagai jenis dosa yang biasa ditemukan dalam masyarakat, seperti mencuri, judi, tukang fitnah, korupsi, pezinah, hingga penyuka sesama jenis.
Sehingga ketika Lele mengangkatnya dalam bentuk naskah film, tentu pembabakan cerita sebab-akibat sangat diperlukan. Saya tidak mempermasalahkan konsep dasar cerita yang ditulis. Hanya saja, saya merasa eksekusinya kacau.
Kekacauan itu terlihat dari alurnya narasinya yang turut menunjukkan Lele, serta Anggy Umbara selaku sutradara, kurang riset dalam melogiskan kisah di luar jangkauan pengalaman manusia fana ini.
Saya sendiri bingung bagaimana ceritanya manusia yang belum dikubur tetapi jiwanya sudah berada di neraka, dan membuat saya mempertanyakan apakah saya melewatkan konsep tahapan hidup manusia sesudah mati yang pernah saya pelajari semasa sekolah?
Baiklah, tak usah yang loncat sejauh itu. Bagaimana ceritanya ada orang memilih berbasah-basahan menyusuri sungai padahal ada jembatan dan setelahnya pun ada keperluan manggung di sebuah pusat perbelanjaan?
Dalam dunia nyata, rasanya tak akan ada yang mau memilih baju sebadan basah padahal masih ada keperluan setelahnya. Sepatu basah saja sudah bikin kesal, apalagi ini pakaian sebadan kuyub semua.
Dari sini, saya merasa penulis kurang riset. Atau, mungkin ia terpaksa menyesuaikan dengan bujet produksi yang sebagian besar sudah habis untuk penggunaan CGI demi menampilkan gambaran neraka.
Jujur saja, kabar bujet produksi Rp5 miliar untuk film ini sebenarnya tak terbilang 'raksasa' pada skala industri film Indonesia saat ini.
Bila memang benar Siksa Neraka berbujet demikian, sebenarnya produksi masih bisa disiasati dengan menyederhanakan cerita dan membuat film ini fokus pada cerita bagian neraka alih-alih bertele-tele di bagian dunia.
Saya merasa kisah bagian dunia yang memakan waktu lebih dari separuh durasi masih bisa banyak dipotong. Toh selain bukan jualan utama, ceritanya juga tidak menyentuh, dan penampilan para pemain sama sekali tidak menolong kualitas ceritanya.
Bahkan menurut saya, mestinya Anggy Umbara bisa memaksimalkan teror kengerian di neraka di luar modal adegan gore dan kesadisan semata. Nilai emosi dan horor dengan mengikutsertakan permainan psikologis bisa disertakan untuk babak ini.
Namun agaknya Anggy lebih sibuk menunjukkan bagaimana mata dicolok, lidah dipotong, dan tubuh disetrika, yang mana menurut saya tidak memiliki dampak psikologis signifikan.
Padahal, Anggy bisa belajar dari bagaimana Saw dan film gore lain membuat penontonnya begidik, gelisah, hingga ketakutan dengan adegan di layar.
Review film Siksa Neraka: mestinya Anggy Umbara bisa memaksimalkan teror kengerian di neraka di luar modal adegan gore dan kesadisan semata. (dok. Dee Company/Umbara Brothers Film via YouTube)
Hal ini membuat prostetik dan CGI yang sudah 'mati-matian' dibangun seolah jadi gimik semata. Jadinya, pertunjukan babak neraka dalam film ini cuma sekadar menyeramkan tanpa ada esensi penting di baliknya.
Selain itu, saya kecewa ketika Anggy Umbara dan Lele Laila memilih menayangkan adegan hukuman time-loop untuk kasus bunuh diri. Terlepas dari persoalan kebebasan berekspresi dan kreativitas, ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ditunjukkan secara gamblang.
Jangan salah, saya tidak memihak pada sensor. Saya pun menolak keberadaan sensor film seperti dulu kala.
Namun mengingat lembaga sensor saat ini hanya sekadar mengelompokkan film berdasarkan usia penonton, sementara bioskop tak bisa diandalkan dalam memilah penonton sesuai aturan, maka ada banyak anak di bawah umur yang bisa melihat adegan 'berbahaya' itu.
Hal itu diperparah dengan fakta masyarakat Indonesia banyak yang tak peduli akan aturan klasifikan film tersebut dengan mengajak anak di bawah umur menyaksikan film 17+ ini.
Infografis Alat Penyiksa di Komik Siksa Neraka. (CNNIndonesia/Fajrian)
Padahal serangkaian adegan di film ini bisa membuat trauma, terutama adegan bunuh diri yang bisa saja diikuti anak-anak di masa depan. Hal sensitif ini yang dirasa tak dimiliki kreator dalam menggarap Siksa Neraka.
Saya pun menyayangkan pihak studio dan produser yang tidak memiliki kepekaan sosial akan efek samping penayangan adegan tersebut.
Studio mestinya punya kepekaan lebih dan bukan cuma berpikir soal cuan, apalagi film horor berbujet Rp5 miliar di Indonesia bisa dengan mudah balik modal cuma dari seperempat juta tiket terjual.
Bagi saya --seiring perfilman Indonesia yang sudah tua untuk ukuran manusia-- sudah waktunya setiap pihak dalam dunia perfilman mengutamakan kualitas sinema serta dampaknya, dan bukan hanya sekadar mencari cuan dari eksekusi juga cerita receh.
Bila tidak, maka cita-cita perfilman Indonesia yang maju dan bermartabat sebenarnya cuma halusinasi semata.