Dongeng Tentang Embun

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 27 Okt 2016 13:39 WIB
Kebun Raya Bogor 1908. Sejuknya kabut tipis di antara pepohonan purba, pukul enam pagi lewat delapan belas menit waktu Indonesia Bagian Barat.
Foto: Unsplash/Sander Smeekes
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebun Raya Bogor 1908. Sejuknya kabut tipis di antara pepohonan purba, pukul enam pagi lewat delapan belas menit waktu Indonesia Bagian Barat.

Cahaya lembut membias membelah antara pepohonan purba, membentuk nuansa di ujung-ujung pohonan perdu liar berbunga putih berhias warna nila di kelopaknya, kuncup-kuncup lembab membasah menguapkan rinai notasi-notasi simfoni semesta.

Dedaunan di antara hutan pohonan purba lembab hijau lumutan. Cahaya pagi itu seperti putri melati menari-nari kian kemari. Pepohonan seakan terus menuju ke atas, seakan hendak menjangkau ketinggian metafisis metronom-metronom terpadukan seakan mencipta lagu bianglala setelah hujan rintik tak pasti.

Tampak di antara bingkai bumi dan langit. Biasan cahaya entah, meski matahari perdetik perlahan pada kepastian garis edarnya, tak juga mau terbit di ufuknya. Seraya menanti cahaya lain di balik embun.

Memandangi daun-daun di hijau pepohonan purba, menerbitkan tanya dalam kalbu. “Mengapa hari ini matahari terasa lambat memberi sinarnya pada daun-daun. Barangkali matahari hari ini sedang tak mau bersekutu dengan bumi?”

Jika hal itu terjadi, matahari mungkin marah dengan bumi. Kalau mereka tak mau saling menyapa, kemana perginya mencari cahaya matahari. Ke rembulan atau pada planet terdekat dari keduanya. Sulit menentukan.

Meski matahari memiliki komponen cahaya terbesar di antara planet-planet di jagad raya kesabaran. Hanya dengan kesabaran menunggu matahari menerbitkan cahaya untuk para embun berumah di dahan-dahan di daun-daun di kelopak-kelopak bunga-bunga pohonan beragam kepurbaan itu.

Dengan kesabaran, duduk di antara pepohonan, di antara ranting dan dedaunan, bersama harapan sedikit waktu lagi akan menjadi indah. Menjadi impian pemirsa, menjadi gambar-gambar imaji dunia baru.

Warna-warni akan memancar dari akibat pencahayaan matahari dari belakang para embun itu memantulkannya di cembungan embun bagai pecahan wajah cahaya matahari kelak. Fantastis, bagai pantulan cahaya ratna mutu manikam membiaskan berterbangan ke udara pada sejuk waktu ini.

Sistem memainkan peranan dalam persoalan waktu antar jeda imajinasi, bumi dan matahari, kedua benda planet tercipta dari gumpalan periode organisme zat, menjadi padat membentuk struktur material.

Mempercayai aksioma-aksioma molekuler inti pada titik didih, memaksimalisasikan alfa dalam bentukan bilangan gama memecah diri menjadi mata rantai gravitasi benda terlindung oksigen meruang di kosong antar eksak metafisis asalnya.

Dalam kesadaran diorama penciptaan tak sekadar takdir benturan, ledakan, guncangan jagad raya seperti kumparan mesin cuci berputar terbolak-balik, meletupkan zat-zat padat hingga terbentuknya para planet.

Namun mengapa hingga tengah hari matahari kini tak jua menyingsing. Tak ingin bertanya pada kesabaran, sekarang sedang menanti waktu itu tiba membawa pesan cahaya kepada embun seharusnya secara alamiah. “Mengapa tak jua terjadi?”

Meski telah memeriksa semua hal diperlukan untuk menyelesaikan tugas hari ini menemui embun dan matahari. Keduanya harus hadir serentak. Agar dari momen itu tercipta visual estetis, eksotis cahaya-cahaya. “Tapi mana mataharinya?”

Embun sudah sejak dini waktu menunggu. Seperti solis orkestra oleh satu gerakan partitur dirigen mengalunlah irama membentuk mozaik-mozaik menghiasi bingkai peradaban, tanpa filter sensor rentangan warna, alam memiliki caranya menemui iman kekasihnya.

Kesabaran masih menemani waktu, meski tak tahu kapan menghentikan jarum jam itu. Apakah waktu masih memberi garis edar antar bumi, embun dan matahari dari sudut belakang. Tak guna memikirkan itu, sekalipun detik bertambah di titik-titik waktu setiap kali detak mengolah nafas pada degup.

Panorama masih sama sejak tadi, matahari tak jua muncul seperti harapan membentang di dalam pesona perasaan jiwa. Harapan pada keindahan akan tampil, ketika awal cahaya matahari memberi makna dari belakang embun pada eskalasi puncak mistis tak semudah ditemukan di lain waktu di momen serupa sekalipun.

Cercah cahaya terlempar dari kejauhan di belakang para embun itu. “Mengagumkan sekali!” Suara girang tertahan senyum antara tangis terkesima, ingin semua perasaan sejak tadi di ekspresikan.

Cahaya itu terus melemparkan efeknya pada embun, kerlap-kerlip seperti kunang-kunang di malam hari. Mendekati para embun itu amat pelahan, cahaya di belakang embun itu bukan cahaya matahari seperti lazimnya. “Apakah itu?”

Belum selesai kagumku pada cahaya itu. Terasa pipi seperti di tepuk-tepuk beberapa kali. “Bangun Bung! Jangan tidur di kursi taman.” Aku terkejut bukan kepalang, kesadaranku belum merata di kepala, terlihat jelas sosok di depan mataku itu mirip sebuah gambar…

Ya! Pernah aku melihatnya di Museum Kota Tua, sama persis dengan lukisan di sudut Museum itu. Gambaran seorang Eropa berseragam lengkap Gubernur Jenderal. Aku mencoba bangun pelahan terhuyung beberapa kali, mengerjabkan mata berulang.

Benar! Dia Gubernur Jenderal itu perawakannya tinggi besar. Membantuku berdiri, menatapku sejenak, matanya biru kehijauan seperti kelereng bening. Tersenyum tak jelas benar, lalu dia melenyap di antara pohonan purba tak sempat aku memotretnya. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER