Jakarta, CNN Indonesia -- Dia diburu masa lalu selaku pemimpin pembantaian Neo-drone pada masa peralihan revolusi teknologi, itu dulu bisik hatinya. Sekarang dia gelandangan di tengah futuristis metropolis terkurung fantasi akronim-akronim diremang gosip merah jambu berbunyi monoton, sama persis ketika dia menjadi kuasa dirinya. Tak ada transisi estetis apapun kecuali para figuran intelektual genre bingung.
Diplomasi stimulus tak seindah warna aslinya di sisi nilai penampakan siluman degradasi stabilitas berjamur dalam selang saluran air. Dia konon tertipu sistem politisasi setara itu, terdesak kaumnya sendiri penyebab terjadinya peristiwa pembantaian itu. “Tangan ini robotik hidupku, musuhku diriku sendiri.” Pikirannya memvisualkan kelakuannya, hadir di kesendiriannya di sepi menakutkan, di sunyi merobek-robek kemanusiaannya.
Di musim perubahan berlangsung di kejatuhannya dari kursi-kursi imitasi buatannya mendemonya, dibentuk olehnya menghancur leburkan, merampas semua miliknya, koalisi kaum bentukannya menghempaskannya mengakhirinya. Ketika nilai menjadi pedoman isme abu-abu, di balik kuasanya menghisapnya terperangkap dia dalam polarisasi oportunistis. “Kejamnya diriku.” Liris menyayat di hatinya.
“Ohoi! Sesal kemudian tak berguna…” Suara itu lagi, hadir gegap gempita.
Orasi obat anti ngantuk untuk parlemennya pernah dia suarakan di podium massa aksi promo, sesungguhnya penyebab dia sekocak keadaannya kini, mirip badut tak lagi dikenali sebagai mantan Perdana Menteri, dia seperti ulat bulu di antara sesama gelandangan futuristis, meski dia dulu penjual modis operandi seni akting promo gaya menuju kursi plastik berkostum peri nyamuk seakan pembela kaum lemah.
Sebetulnya dia memang tidak pernah membela kaum siapapun. Dia pencipta mobilisasi kutu dan kecoa alat pencapaian tujuannya, pembohong nomor satu, boneka kaumnya mengeruk isi apapun seperti kepalsuan penampakan pengganda imaji berkostum peri bunga. “Wahai penciptaku, rasanya aku kurang pantas hidup lebih lama, matiin dong sekarang hiks hiks hiks.” Suara sedu sedan hanya dalam pikirannya.
“Ohoi! Sesal kemudian tak berguna…” Suara itu lagi, hadir gegap gempita.
“Cukupkan penderitaanku telah menjadi tua, menjelang buta, tidak ada satupun peduli. Mereka merampas semuanya. Peralihan cuaca jungkir balik akulah penyebabnya. Aku pengecut asli beraninya keroyokan, aku berani berteriak jika massal, sebenarnya aku pengecut selalu lari dari gelanggang jika aku sendirian. Aku sudah tak guna penciptaku hiks hiks hiks” Dia menangis terus seakan menggema pada waktu di dalam jiwanya.
“Ohoi! Sesal kemudian tak berguna…” Suara itu lagi, hadir gegap gempita.
Sebenarnya sih, dia sedang pura-pura kalah, sedang akting lagi agar bisa mencapai tujuannya lagi. Dia sudah menjadi lalat kadang juga menjadi kepinding, orientasi pikirannya tetap pada nilai manipulasi di metode diplomasi, sesungguhnya diam-diam dia dendam karena disingkirkan dirinya sendiri dikucilkan dari waktu pembelenggu kuasa robotiknya. “Penciptaku jangan membiarkan hidupku seperti ini, lebih lama menjadi tua.” Jantungnya berhenti sejenak.
Dia terus menangis, puncak dari rasa kehilangan entah apa, sesungguhnya dia tak pernah tahu, Hanya waktu dan musim terus berganti tak menaruh dendam apapun padanya, meski dia pernah menyakiti geoekologi secara geologis saat dia merasa bisa menyulap hutan, sawah, ladang dan gunung-gunung menjadi bukit emas. Akhir dari kuasanya direbut makhluk buatannya, dia selalu lupa pada dirinya, apa keinginannya sebenar-benarnya.
Bahkan dia tak pernah tahu kata-kata dari pikirannya, untuk siapa, di mana dan kapan. Waktu baginya adalah angan-angan, mimpi, muskil, abstraksi surealistik, pada kosong, mungkin pada sepi, mungkin pada aksioma, mencipta paradoks skema-skema. Matematis non visual, non nalar, non virtual, non visi.
Karena fiksi telah membunuh setiap molekul darah, merembes ke permukaan pori-pori kulitnya berlogam mulia.
(ded/ded)