Masih Pantaskah Aku Menuliskanmu Pahlawanku

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 11 Nov 2016 16:38 WIB
Bisakah aku tidak menghujat, tidak merugikan sesama insan kamil? Sudah begitu mahalkah kata maaf berkubang di lumpur amarah rasa curiga.
Foto: CNN Indonesia/Christie Stefanie
Jakarta, CNN Indonesia -- Menulis pahlawanku seperti menulis esai di atas mata air bening. Amat sulit menuliskannya, hal tak bisa dilupa sepanjang hayat beragam rupa kebaikanmu, perjuanganmu, kebenaranmu.

Ada banyak nama ada banyak inti kebaikan “the hero” tak bisa aku mengatakan sekadar berterima kasih, ketika nurani tak sebening mata air Ilahi, ketika nurani terisi dengki kata hujat menjadi budaya pada norma bagi kebaikan sesama dan rasa curiga sulit memberi maaf.

Bisakah aku tidak menghujat, tidak merugikan sesama insan kamil? Sudah begitu mahalkah kata maaf berkubang di lumpur amarah rasa curiga.

Aku malu akan menulis namamu pahlawanku, karena aku bukan manusia Indonesia seperti harapanmu. Manusia Indonesia tak pernah melupakan kesantunan, bertutur indah bagai pantun leluhur purba pada mazhab gurindam untaian rampak Melayu Deli nan estetis.

Aku ingin belajar lagi, dan lagi tak ada hentinya untuk tahu lebih benar bahasa Ibu Indonesiaku, pahlawanku. Aku hanya bisa menangisi luruhnya etikaku kini ketika aku tak bisa menghargai sesama di muka publik. Apakah aku masih pantas menuliskan namamu jika aku tak berperilaku baik untuk Bangsaku dan Negeriku? Masih pantaskah aku menyebut namamu. Wahai! Pahlawanku.

Aku termangu memandangi cakrawala di antara gambaran bagai film diputar ulang dari peristiwa ke peristiwa di negeriku ini, senantiasa kuat bertahan di tengah gejolak badai, percobaan makar komunisme, revolusi dan gemuruhnya gempuran kolonialisme liberalisme kaum majikan rentenir. Negeriku senantiasa terikat oleh kemuliaan budi baik dan tata krama sejak Indonesia dilahirkan Nusantara. Ampuh menggempur menghancurkan kekuatan raksasa hitam.

Rasanya ingin aku menaruh kepalaku di pangkuamu Kartini, merindukan belaian sejukmu, Bunda bagi semua kebaikan, kasih sayang, tak sekadar kesetaraan genre seperti kata sejarah kebenaranmu. Luasnya langit membuka cakrawala baru bagi hidup hanya ada kesetaraan tak hanya tentang perempuan Indonesia, lebih luas lagi tentang negeri selalu saling menghargai sesama, membaca surat-suratmu berterbangan di langit surgawi.

Biarkan aku merebahkan kepalaku sejenak di pangkuanmu Bunda Kartini, selalu kau tuliskan negeri ini bukan milik segelintir kaum feodalisme, ini negeri pepohonan, negeri sungai-sungai, negeri pegunungan, negeri ngarai hijau, negeri lautan teduh, negeri hijau kebiruan atlantis, negeri masa depan bagi anak-anakmu kini dan masa datang. Maafkanlah aku Bunda Kartini jika menurutmu aku belum pantas menjadi manusia Indonesia seperti harapanmu. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER