Solilokui, Episode Senandika Merah Marun

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 28 Nov 2016 17:13 WIB
Di antara kekacauan itu aku melihat seorang anak, berdiri diam dalam keharuan sangat, muskil, sekilas, tapi anak itu tidak menangis.
Foto: CNN Indonesia/REUTERS/Muhammad Hamed
Jakarta, CNN Indonesia -- Orang-orang berlari ke arah mana saja, ketika sesuatu terjadi dengan mendadak, berondongan senjata bertubi-tubi dari berbagai arah. Meski tidak pasti. Apakah itu suara senjata atau suara lain mirip dengan suara senjata. Seseorang berlari-lari menggendong seseorang, tak jelas wajahnya lelaki atau perempuan, karena situasi saat itu sangat mencekam bagiku dan orang banyak simpang siur, panik.

Dentuman berbunyi lagi, was-was nyaris waspada di antara keramaian, panik, oleh berbagai suara, berbagai bunyi, klakson mobil, sirine, truk-truk besar berdatangan dalam keadaan tertutup rapat, aku tak dapat melihat apa dan siapa di dalam truk-truk besar, dengan simbol seperti militer asing, tapi bukan, tapi mungkin, karena situasi tak terduga ini sangat mendadak. Orang-orang kehilangan orientasi arah.

Dentuman mengejutkan mendadak menggelegar di belakangku, persis, rasanya, terasa gempa bumi berguncang, telingaku mendadak tak dapat mendengar apapun. Mataku menjadi temaram, mungkin, karena pandangan tertutup asap hitam. Aku hanya melihat dalam situasi serba bisu. Aku melihat orang-orang seperti berteriak-teriak, melolong, histeria massal ini sungguh, aku, tak dapat mendengar apapun.

Di antara kekacauan itu aku melihat seorang anak, berdiri diam dalam keharuan sangat, muskil, sekilas, tapi anak itu tidak menangis, hanya memandang kosong entah kearah siapa. Aku berusaha, mencoba mendekat, tapi, situasi terkacau ini, tak mudah untuk mendekatinya. Aku terjengkang jungkir balik ketendang seseorang, lari dengan cepat kearahku, kepala sedikit pusing, tapi aku harus tetap fokus.

Mendadak anak itu hilang dari pandanganku. Mendadak dia ada lagi di tempat sama, dengan keadaan sama seperti tadi. Biar saja, mungkin dia setan kecil misterius, pembuat suasana menjadi kacau seperti ini. Aku harus waspada pada anak itu. Mataku seakan mengikatnya erat di dalam otakku, anak itu tak boleh dilepaskan. Anak itu harus terus diawasi. Sial mendadak dia menatapku tajam.

Terlihat dari matanya seperti keluar bola api. Benar, dia, setan kecil dari neraka barangkali. Oh! Apa ada, neraka? Ini di hadapanku terhampar neraka. Orang-orang mendadak menggelepar seperti ayam dipotong lehernya, seperti pembantaian hama tikus. Bau tak jelas menambah aroma baru pada situasi terkini, di sini, entah di mana, aku juga tidak jelas mengapa sampai tiba di sini. Entah tempat apa ini.

Aku sungguh tak paham aku berada di mana, di sebuah negara, neraka atau kehidupan setelah mati. Tapi aku belum mati. Aku masih hidup, meski telingaku terlalu pekak, akibat dentuman dahsyat di belakangku tadi. Aku tak dapat merasakan apapun, suara suara, tak ada, perasaan hilang. Apakah aku masih manusia. Wahai siapa saja, aku, sedang berteriak kepada siapa saja. Apa semua orang mendadak tak punya kuping?

Di langit kelihatan sesuatu menyala terang menyilaukan mata. Aku sadar. Mana setan kecil itu. Huh! Dia masih menatapku. Baru aku sadari, bola mata anak itu sama sekali tak ada, mirip transparan. Terasa ada sesuatu mengalir deras dari matanya. Semacam energi metafisis. Semacam energi atom mengalirkan tenaga listrik dengan kuat. Aku terpental lagi oleh seseorang, menerjangku, entah dari arah mana mirip semacam adegan di soap opera siang bolong.

Sadar atau tidak, aku tidak tahu lagi. Aku berteriak amat keras sekali, tapi sama sekali tak mendengar suaraku sendiri. Tubuhku terus bergulingan seperti ada angin memutar tubuhku. Aku berteriak minta tolong sekeras mungkin, tapi, benar-benar tak dapat mendengar suaraku sendiri. Aku menangis, meraung, mengaum seperti singa terluka, akan kembali menyerang dengan kekuatan hiper-realis Leonardo da Vinci, akan kupinjam kunci rumusan Pythagoras darinya. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER