Jakarta, CNN Indonesia -- Usai sudah pentas Opera Kecoa Produksi Teater Koma ke 146, sejak November 20, 2016, di Graha Bhakti Budaya, Unit Pengelola Taman Ismail Marzuki (UP-TIM).
Kesenian seperti sinyal lampu mercusuar, bagai pelabuhan tempat banyak kapal berlabuh membuang sauh menuju kerinduan daratan, kegembiraan getir dan kangen membalut sunyi lautan ketika hati menjauh bersama ombak.
Sejarah seni drama Teater Koma, penuh liku getir, penuh pahit, penuh duka sedikit suka di antara luka bersama lara, ketika kesenian dicurgai kekuasaan Orde Baru (Orba) sebagai ancaman.
Koma diberedel, disetop sebelum pentas bahkan tengah pentas dilarang dilanjutkan, ketika kekuasaan ketakutan pada tolok ukur humanisme (HAM) dalam pesan naskah Opera Kecoa karya dan sutradara N. Riantiarno, orang Cirebon Indonesia, asli pesisir.
Kisah Opera Kecoa bukan sekadar kritik sosial, bukan. Itu kisah tentang realitas humanisme universal, bisa terjadi di negeri manapun, jika hegemoni kekuasaan melewati batas ambang arti kemanusiaan di keadabannya.
Ketika politik ekonomi menjadi mastodon bergulir di tengah kelompok asyik dalam pesta demokrasi kala menjadi primadona, ada hal terlewatkan, ada hal tak terlihat.
Nasib orang-orang kecil tak lagi memiliki trotoar, di tepian emperen mal sekalipun. Meski suaranya tetap diperlukan dalam suatu ajang pemilihan umum yang terbuka jujur dan adil.
Nasib orang-orang kecil dipeluk kembali oleh badut bercelana jenki berkostum warna-warni simbolik peran pesulap di naskah itu, berceloteh tentang dirinya sendiri meski dia kecoa sesungguhnya.
Nasib orang-orang kecil, diperlukan sebagai alat promo aksi pemikat suara. Setelah itu mencoba dilupakan hingga pada ketika waktu diperlukan kembali disayang dalam pelukan, seperti nasib tokoh Julini, dia bukan banci.
Tokoh Julini simbol mental pada masa Orde Baru, ketika sewaktu-waktu kekuasaan dapat berubah rupa dalam format ambiguitas, berwajah ganda antara manis dan raksasa, memainkan peranan kekuasaannya. Saat pers dibungkam lewat pesan telepon Pangkopkamtib atau atas nama Departemen Penerangan ketika itu.
Juga ketika tertib kota menghendaki kebersihan budaya kaki lima mereka orang-orang kecil di relokasi alias digusur entah kemana ketika itu di era Orde Baru. Agar lokomotif hedonis menggebyarkan iklan di billboard budaya dalam lenggang gaya hidup gemerlap neon-sign memikat dengan cinta palsu..
Hingga meletusnya gerakan mahasiswa Malari (Malapetaka Lima Belas January-15 Januari 1974) gerakan pelajar, mahasiswa dan rakyat bersatu hanya ingin mengembalikan kekuatan pembangunan untuk rakyat, bukan bagi segolongan elit korup. Namun gerakan damai Malari dikacaukan oleh penyusupan kelompok siluman, perancang kambing hitam.
Perkembangan politik ekonomi menumbuhkan konglomerasi hitam keabu-abuan, ketimpangan sosial dari tujuan di ranah tinjauan pembangunan untuk rakyat dikuasai para politik rentenir ekonomi kala itu. Mahasiswa terus mengembangkan kesadaran gerakan keadilan bagi rakyat, sejak Malari 1974, gerakan 1977-1978 (Tritura) 200 aktivis mahasiswa ditahan, hingga puncaknya pencapaian gerakan reformasi 1998.
Dinamika humanisme bagi suara rakyat, di dalamnya ada mahasiswa, pelajar dan publik. Tetap dicurigai dan diawasi, meski pencipta chaos sesungguhnya datang dari kelompok siluman pencipta kambing hitam.
N.Riantiarno, menuliskan peristiwa bersejarah di era Orde Baru itu dalam format humanis, kehidupan orang-orang kecil disayang, diperlukan dan dibutuhkan, demi proposal kekuasaan, dikisahkan dalam trilogi naskah BOM Waktu (1982), Opera Kecoa (1985) dan Opera Julini (1986).
Naskah seni drama, sebuah manuskrip kesejarahan dalam pemikiran seni dan perkembangan kebudayaan berlaku sepanjang zaman, jika melihatnya dengan tolok ukur kejernihan tanpa rasa curiga bahwa kesenian sebagai ancaman.
Maka seni drama bermanfaat, sebagai dasar-dasar pembelajaran kesadaran huminis bagi semua bangsa, universal. Salam Indonesia Unit.
(ded/ded)