Jakarta, CNN Indonesia -- Aku merasa paling tahu bahwa, rambutnya yang ditutup dengan jilbab itu berwarna hitam, ikal dan panjang. Gadis berjilbab itu memang berleher jenjang. Ada lesung pipit di pipinya. Ada tahi lalat di dagunya. Ada sinar kedamaian di wajahnya. Ada nilai kepastian, pada langkah-langkahnya yang kecil.
Gadis berjilbab itu, adalah cakrawala senja yang teduh dan indah, di mana aku adalah matahari tenggelam yang tak ingin terburu-buru meninggalkan pesonanya. Gadis itu berwajah bulat, terpadu apik dengan jilbab bermotif bunga-bunga, lalu ingin kujadikan hatiku sebagai lebah-lebah yang menghinggapinya. Semenjak bertemu gadis berjilbab itu, seringkali aku berubah, dia pun berubah. Dia menjadi proton dan aku pun menjadi elektron. Aku sadar ada chemistry dengan gadis itu. Meski kami tak pernah berbicara, tapi aku tahu bahwa di setiap senyumnya, ada isyarat yang coba ia sampaikan.
Telah datang suatu masa ketika aku teringat gadis berjilbab itu, penglihatanku menjadi aneh serasa segalanya kembali ke sediakala, dunia menjadi indah. Kemudian kucoba periksakan ke dokter. Lantas setelah tahu apa yang terjadi, tiba-tiba gadis berjilbab itu meneleponku. Entah bagaimana kejadiannya sampai-sampai ia tahu kalau ada sesuatu yang terjadi denganku. Baru aku tahu bahwa suaranya begitu menyejukkan jiwa.
“Bagaimana? Kamu baik-baik saja kan?”, tanyanya.
“Pak dokter mengatakan ternyata ada sesuatu di mataku.”
Hening. Barangkali gadis itu terkejut mendengar jawabanku. Nampaknya benar, selama ini hatinya juga mearuh simpati kepadaku. Isyaratnya mulai terlihat jelas.
“ Apa yang Pak dokter katakan ? Aku khawatir dengan keadaanmu.“, lanjutnya.
Kuatur suaraku agar dapat menenangkannya,“ ternyata, di mataku, ada kamu.”
***
Pada kesempatan lain, ketika itu, bunyi gemericik hujan melantunkan melodi senja mengiringi sang surya kembali ke peristirahatnnya. Pohon-pohon di seberang jalan itu mungkin telah hafal dengan gemericik airnya yang terdengar ketika menempa atap-atap rumah, jalanan berdebu, mobil-mobil, motor-motor, dan orang-orang sibuk yang berteduh dibawahnya.
Hujan akhirnya turun sempurna. Semakin lama dimainkannya melodi gemericik itu, semakin menjadi kenangan-kenangan teringat lagi. Kupandangi wajah-wajah yang terhambur bersama tetesan air hujan itu. Kupandangi benar kaca jendela yang mulai basah. Dan inilah ilusi hujan sore hari yang dalam.
“Di rumah sedang hujankah dinda?”
“Iya abang. Lumayan deras. Kenapa ?“
Cahaya keoranyean merangsuk masuk melalui celah-celah awan gelap yang lalu menyinari kedamaian hati dua orang insani, yang tengah terjarak oleh rindu dan harapan. Aku sisipkan sebuah senyuman ketika menjawabnya,
“Bukan apa-apa. Kalau hujan disana, cobalah dinda hitung rintik hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Maka sebanyak itu pulalah, cinta abang kepadamu. “
Bunga-bunga malam sudah mekar di sisa hujan sore hari, dimana matahari masih bersinar redup menyinari rintik-rintik hujan. Pelangi pun muncul sesaat sebelum alam sah menjadi gelap. Gadis berjilbab itu menjadi matahari, aku menjadi rintik hujan. Dan pelangi adalah cinta kami. Indah di bawah naungan langit-Nya.
(ded/ded)