Cerita Pendek: Bukan Akhir Perjalanan

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Sabtu, 04 Mar 2017 11:48 WIB
Tak seorang pun tahu, saat itu juga tangan Kor, sambil lalu ketika dia diseret-seret tentara pada temaram senja
Foto: Thinkstock/SteveCollender
Jakarta, CNN Indonesia -- Kekuasaan imperium memperlakukan tak sewajarnya. Penangkapan Kor, di Taman Cinta Bagi Semua. Dia tengah tafakur, doa keyakinannya bersama para sahabatnya, setelah bercengkerama tentang ilmu pengetahuan, budi pekerti dan hal-hal kesetaraan hidup bersama di planet bumi. Sin, Ams dan Amaranis tak sempat menemuinya. Tentara imperium mengepung taman itu.

Penangkapan itu bagi Kor, perjalanan menuju suatu pertemuan sesungguhnya, hadir dan ada bersama adanya dia dan ruhnya. Kor, lelaki itu dan senyum khasnya menghadapi kebiadaban perilaku tentara imperium, menyeretnya, mendorongnya, mengolok-ngoloknya.

Beberapa sahabat Kor, mencoba melakukan perlawanan semampunya. Namun pedang kekuasaan imperium nyaris melibas nyawa para sahabatnya. Meski salah satu sahabat Kor, tak sengaja menebas kuping salah satu tentara itu dengan ranting pohon, hingga nyaris putus.

Kor, mencoba melerai, melarang beberapa sahabatnya melakukan perlawanan. “Hentikan. Aku mohon para sahabatku. Pedang melawan amarah tak menyelesaikan apapun.” Suara Kor tegas.

Tak seorang pun tahu, saat itu juga tangan Kor, sambil lalu ketika dia diseret-seret tentara pada temaram senja, memberi penyembuhan, kuping tentara itu kembali seperti semula. Tentara itu tak mampu berkata sepatahpun, berdesir jiwanya. “Diakah orang itu.” Beku suara di benaknya.

Ams ke sekolah seperti biasanya diantar Bunda bersepeda. Setelah Ams sungkem pada Bunda. “Anak Bunda, titipkan ini pada Ibu Guru, untuk dibagikan pada teman-temanmu di kelas saat waktu istirahat nanti.” Zachriah, menyerahkan bungkusan penganan pada Ams.

Zachriah, segera akan mengayuh sepedanya. “Bunda di terminal atau berakhir di pasar?” Tanya Ams dengan senyum khasnya. Zachriah, menganggukan kepala, menatap Ams sejenak dengan lembut dan senyum kasih sayang, segera melaju dengan sepedanya menuju terminal, di tunggu pelanggan sarapannya.

Ams, segera berlari memasuki halaman sekolah. Larinya mendadak berhenti tepat di tiang bendera kebangsaannya. Ams, mencermati dua pekerja kebun, Pak Joh, tampak menyapu sisi halaman sekolah dan Pak Pite, sedang memangkas pohonan taman. Suara Ams. “Selamat pagi Bapak-bapak. Apakah sudah sarapan? Terimalah penganan ini untuk kudapan setelah bekerja nanti.” Ams, membuka bungkusan akan memberi sebagian dari penganan itu.

Pak Pite dan Pak Joh, serentak menjawab. “Terima kasih Ams.”

Suara Pak Joh “Kami sudah sarapan.” Suara Pak Pite, melanjutkan jawaban Pak Joh. “Ya. Ams. Penganan buatan Bundamu pasti enak. Sayang sekali kami sudah sarapan.”

Ams, memahami maksud baik keduanya. “Apakah mereka mendengar pesan Bunda tadi?” Suara hati Ams. Ketika Ams ingin bertanya lagi. Suara Pak Joh dan Pak Pite, seakan dekat, membisikan sesuatu ketelinga Ams.

“Terima kasih Pak Joh dan Pak Pite. Aku diingatkan.” Suara di benak Ams, seraya menghapiri keduanya, Ams mencium tangan keduanya sebagai ucapan terima kasih telah diingatkan. Ams, segera berlari menuju ruang kelas, teman-temannya telah menunggu dalam barisan di depan kelasnya.

Alam raya tak merubah sedikitpun garis-garis ekuator. Putaran episentrum waktu pararel, peradaban menuju peradaban sejajar dalam skala analogi alam, meski alam tak pernah memberitakan tentang hal itu pada makhluk hidup. Di frekuensi penentu jarak antara kecepatan cahaya di banding waktu kini dan lalu.

Membentuk celah setipis kertas, ruang penghubung antar waktu seperti ruh bersama badan. Berkat kecepatan dua gravitasi kembar sejajar, terbentuklah celah waktu antar peradaban dalam pusaran cepat tanpa suara. Bagai presisi white hole dan black hole, seperti koin di bolak-balik.

Tentara imperium terus mendera Kor. Menuju ruang pertanyaan-pertanyaan. Kor, dihujat, dihakimi, disoraki, diarak, sepanjang perjalanan menuju penjara, seakan pesakitan penjahat kelas kakap pencuri hak hidup. Kor, memilih bungkam bersama keteguhan hati dan keyakinannya.

Amaranis dan Ams, sejak melihat pengepungan tentara imperium dari jarak cukup dekat, di Taman Cinta Bagi Semua, terus membuntuti perjalanan Kor, menuju kuasa pertanyaan-pertanyaan para sektarian sekutu tentara imperium.

Sin, terus menyelinap, mengikuti perjalanan Kor, sengaja terpisah dari Ams dan Amaranis, masing masing menyaksikan kebiadaban tentara imperium pada Kor, dari sudut berbeda.

Sin, ingin mengatakan kepada khalayak bahwa anaknya Kor, tidak bersalah. “Dia Bukan kriminal, dia manusia biasa, hidup sederhana.” Suara di nuraninya. Namun kehendak seakan membisukan mulutnya untuk menyatakan perasaannya.

Bunda, Melihat sosok itu lagi sepintas di awan-awan terang cahaya sesiang itu di sekitarnya, senyum khasnya, tangan memberi salam kebahagian bagi dunia sepanjang abad. Luka itu pertanda dia sesungguhnya, ketika Zachriah, tengadah melihat mendung, seakan mimpinya terujud pada waktu dan jam sama persis setiap malam, meski hanya sejenak.

Tampaknya hari akan hujan. “Ams pasti sudah menunggu.” Suara cinta dan kasih sayang Zachriah pada Ams, segera mengayuh sepedanya secepat angin. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER