Jakarta, CNN Indonesia -- Daku ganti namamu jadi mawar atau melati. Hiya! Daku jadi girang begini. Tidak akh. Tetap jadi tokoh Kembang Ayu Jagad, lebih terasa tradisi, futuristis. Getoh loh. Tak kemayu, tak cantik, indah dilihat, santun, bersinar tubuhmu. Ups! Jangan-jangan dia orang sakti. Wah! Dia dengar enggak ya. Semoga dia tak mendengarnya. “Klik!” Catet. Oke banget. Yes!
Belum pernah merasa ngawang begini. Tadi daku tak membuka suara. Umurmu? Namamu? Kembang Ayu Semangka. Eit! Salah. Kantil Ayu Kembang. Eit! Ngaco. Kembang Ayu Jagad. Tadi bertabrakan mata dikau senyum. Hih! Kaget. Untung diriku tak lompat kodok dibuatnya. Kembang Ayu Jagad. Itu saja ya namamu. “Klik!.” Masuk ke otak. “Klik!” Simpan.
Udara sejuk. Desa Empat Musim. Di antara gunung, ngarai, danau. Lestari. Matahari sinarnya lebih bagus dari biasanya. Tak ada awan tebal. Cuacanya cerah, nyaman. Pucuk-pucuk pohon seperti menyala. Pepohonan sekeliling hutan hujan bersinaran dari arah manapun. Mugkin di sebabkan danau memantulkan cahaya matahari. Oh! Begitu kiranya. “Klik!” Catet.
Kenapa daku sampai ke tempat ini ya. Oh! Berawal dari pasar di Desa Jeruk tadi. Daku beli jeruk tanpa menawar pada seorang Ibu menyendiri dari keramaian pasar. Lalu, ngapain lagi tadi ya. Oh! Daku tanya pada Ibu pedagang itu. “Desa Empat Musim di mana Ibu.” Dia memandangi daku sejenak. Daku menyimak penjelasannya. Tak terasa daku tiba di sini sekarang. Keren.
Oh! Seperti melangkah cepat di jalan setapak. Panjang sekali. Bertemu pohon-pohon hutan hujan. Ada tiga pohon lebih besar dari pohon sekitarnya. Daku menyentuh pohon kedua. “Blink!” Berada di ketinggian subak-subak. Harum bunga tropis. Oksigen lebih dari cukup. Kompas mati. Alat elektronik mati. Daku terpana, sebuah negeri tak asing. Semua kemiripan scenery itu…
Fokus pada scenery di pandangan mataku. Kabut semakin menipis. Baru daku lihat. Desa Empat Musim dari ketinggianku berada. Takjub. Seakan ngawang tubuh terangkat ke atas. Mirip sinar-sinar peri bunga menghampiri daku. Salah satunya terasa masuk lewat telinga. “Blar!” Beberapa cahaya itu, mungkin temannya, melenyap. Daku bertemu banyak orang. Semuanya tampak ramah.
“Oke. Oke. Apa ini. Tenangkan diri. Kendalikan degup jantung.” Membaca doa keselamatan. “Amin…” Itu suara di dalam benakku.
“Semua akan baik-baik saja.” Ada suara menjawab. Daku terkesiap.
“Daku terkesima.” Suara di dalam benakku lagi. Darimana dia tahu daku omong apa.
“Tak aneh. Ini dunia seperti asalmu.” Suara itu lagi. Oh! Sumbernya tak jauh dariku. Hanya beberapa meter saja. Namun pesonanya tak biasa. Tak bisa daku jelaskan. Nanti kalian pada nyusul kemari. Dia seperti memperhatikan. Selintas terdengar menyebutkan namanya. “Kemuning Ayu Kembang…” Pink! Lalu lenyap.
“Nah loh! Wah! Eror. Gawat. Daku atau dia?” Oke. Tenang. Tenang. Jangan panik. “Klik!” Simpan. “Klik!” Masuk otak.
Dari perbincangan dengan Ibu penjual jeruk itu. Meski singkat, pikiranku tergesa-gesa ingin segera ke desa ini. Menurut Ibu itu di Desa Empat Musim ini penghuninya sakti-sakti, baik hati dan tidak sombong. Tidak suka menghujat, menghina sesama ataupun menerakakan sesama ataupun mengkafirkan sesama. Ucapan dan perilakunya santun alami.
Sejak melenyapnya Kemuning Ayu Kembang. Hih! Dia bisa merubah namanya. Gawat! Oke. Tenang. Tubuhku terasa ringan. Ketakjuban apa lagi nih. Jadi aneh begini. Daku coba melompat sedikit. Duk! Tubuhku nabrak pohon tak jauh dariku. “Oke. Apapun ini…” Daku lompat sedikit, lagi, lebih berhati-hati. Aman. Lompat lebih tinggi lagi. “Up! Up!” Tubuhku seperti terbang meninggi. Meninggi. “Done.” Nah loh! Tubuhku turun pelahan.
“Oke. Tenangkan dirimu ya. Rileks. Fokus.” Suasana hening amat nyaman. Angin semilir menerpa tubuh. Pejamkan mata. Mengatur nafas, menenangkan jantung. Merentangkan tangan.
“Aauuum!” Suara itu!. Sontak tubuhku lompat ke atas. Jumpalitan tak terarah. Mulai panik. “Oke. Tenang. Tenang.” Suara di dalam benakku.
“Hahaha. Nyangkut tak bergeming seperti helikopter melayang.” Di ketinggianku baru terlihat lanskapnya. Hah! Sekawanan Harimau Sumatera. Tampak dari belangnya. “Wow! Gede amat. Ini jenis raksasakah.” Baru daku sadari sekeliling semua serba besar-besar, dari scenery tampak atas ini.“ Sedangkan Kemuning sobatku tadi sebaya daku penampakannya. Wah! Gawat!”
Daku curiga lembah ini sepertinya semacam oase hampa. Tapi, awal dari pohon besar tadi tak terasa semacam turbulensi atau guncangan apapun. Ini, padang electromagnetic virtual dreams semacam virtual reality. Huahua! Tampaknya daku menemukan persamaannya.
Coba daku jatuhkan benda padat di atasnya, mau lempar kompas ke bawah. Ups! Jangan. Jam tangan? Ups! Juga jangan. Oh! Cicin tengkorak jelek ini saja terbuat dari logam. Daku lempar dari atas sini. Kalau menimbulkan gelombang. Harimau Sumatera itu jadi noise coral, seperti gambar film rusak berarti benar, ini oasa gelombang electromagnetic.
“Berdoa selesai.” Satu. Dua. Tiga. “Go! Cicin tengkorak jelek. Go!” Satu. Dua. Tiga. Empat. Cincin tak berdampak reaksi apapun. Tak berapa detik kemudian. “Hei!” Suara riuh, pukulan Dak! Buk! Dig! Juga cubitan.
“Melanggar janji!” Suara Sukhita dan Makhita, serentak. Dua kembar identik, sahabat dekat. Daku dianggap bagian dari keluarga mereka. Meski dua burung kutilang itu kadang nyebelin dan si beruang Gorbha sobatku juga, badannya besar tinggi tapi tak gendut. Cuma nyengir kuda. Si patuh paling nyebelin. “Apes nih.” Suara Gorbha, cengar-cengir ngeselin.
Lanjut dua kutilang itu bergantian nyerocos. Duar! “Kamu bilang enggak bawa VR. Itu apa. Kami nunggu di Kandang Badak. Mau terus apa enggak pendakian. Gorbha! Sita! Semua barangnya. Buang ke kawah sekalian. Bilangnya mau nelusur kompasmu terjatuh. Tahunya mojok di sini. Sebel!” Keduanya minggat dengan cepat ke arah turun gunung.
Daku teriak sekerasnya. “Kutilang! Dengar dulu! Daku sedang meneliti hasil eksperimen game buatanku! Daku sudah cerita kan! Kalian bilang bagus! Suka! Ini! Daku sedang meneliti. Bentuk hutan Gunung Gede aslinya. Biar sama persis dengan game itu! Kutilang!” Oke, seperti teriak pada angin. “Hih! Keras kepala.” Di benakku. Ya! Daku salah. Bawa VR. Huh! Kacau semuanya.
“Hore! Rame kalau kutilang protes!” Suara Gorbha, tangannya masih tengadah. Meminta barang-barang juga benda-benda elektronik daku. “Semua Bro. Tugas adalah tugas. Termasuk kompas dan jam tangan dikau.” Suara Gorbha, menang. Daku serahkan semuanya.
“Backpack enggak sekalian. Nih! Bawa! Biar daku mati di sini. Puas!” Gorbha ngakak meninggalkan daku.