Jakarta, CNN Indonesia -- Apapun bagi Sirlam, tak ada kata mundur. Dia menjadi seperti sekarang karena almarhum Ibu dan Ayahnya, orang rantau dari seberang gugusan kepulauan.
Orang tua Sirlam mendidiknya untuk berani benar dan berani jujur. Ibunya guru di sekolah Inpres sederhana, kuat dan konsisten untuk iman pendidikan dua anaknya. Hingga akhir hayat mengabdi pada dunia pendidikan.
Sirlam, tafakur di atas lantai dua, puncak dari kantor koran harian tempatnya bekerja. News adalah news. Fakta. Itulah kebenaran berita tak asal publik senang.
Berita telah disampaikan pada khalayak. Tak ada kata lain bagi Sirlam. “Lawan.” Hanya ada itu. “Pewarta. Pengabdian pada masyarkat hakikat hukum pers bagi Sirlam. Pengabdian!” Benak Sirlam, semakin menyala.
Adik Sirlam, Aisyah, juga mengikuti jejak Sirlam, reporter di media televisi terkemuka di kota lain, pernah mengungkap kasus besar perselingkuhan dana bantuan sosial oleh pemangku otoritas penting daerah.
“Abangku, kau masih tahan guncangan badaikan. Seperti ketika kau menyelamatkan aku dari hempasan badai di puncak Gunung Ceremai.” Sepotong perbincangan Sirlam dan adiknya.
Setelah beberapa kasus penting itu diungkap Sirlam, menjadi berita utama korannya, fakta kunci perbuatan korupsi, pembalakan hutan, pencurian habitat langka, spesies penting bunga anggrek, human trafficking dan terakhir menyoal pembantaian Orangutan.
Keduanya, senantiasa memberi semangat. Pelajaran sederhana dari orang tua mereka. Ayah Sirlam dan Aisyah pensiunan tentara. Turut berjuang, merebut wilayah negerinya bagian timur dari cengkeraman kolonial. Salah satu riwayat Ayah mereka dari sejumlah pengabdian untuk negerinya, manusia berdisiplin tinggi, berkomitmen kuat.
“Makamkan aku satu liang lahat dengan Ibumu.” Itu pesan Ayah Sirlam dan Aisyah. Sebelum wafat. Penghormatan negara pada anak negerinya dengan salvo upacara militer. Meski Ayah Sirlam dan Aisyah, tak di makamkan di Taman Makam Pahlawan.
Dukungan pada Sirlam dari tim koran hariannya siap menghadapi apapun. Jurnalis, mata rantai informasi publik, di dalam teksnya itulah sumber hakiki, sahih dan faktual. Berita tak boleh jadi slogan sekadar gosip golongan atau atas nama apapun. Bagi berita hanya ada, demi keadilan kemanusiaan atau hak asasi kemanusiaan.
“Jurnalis, tidak boleh senoktahpun memalingkan kebenaran berita untuk kepentingan intern perusahaan ataupun profit semata. Ungkap! Apapun hal negatif itu. Fakta kepada publik. Jadilah pewarta demi kemanusiaan, adil, beradab. Bukan demi badan usaha. Paham?” Itu bekal tak terlupakan dari almarhum Ayah mereka. Sirlam dan Aisyah, memegang teguh pesan itu.
“Kita lahir di sini harus menjadi berkat bagi sesama, begitu kan Bang kata Ibu, disusuinya kita. Ibu membimbing bersama Ayah. Beliau berdua pahlawan keluarga juga bagi negerinya. Semangat! Itu awal katamu membimbingku mendaki gunung. Kau pengganti Ayah. Bangga aku padamu.“ Suara Aisyah senantiasa memberi Sirlam nyala pelita.
Hanya satu kata “Lawan.” Lagi. Tegas Sirlam pada Dompit, sobat kentalnya di koran itu.
Investigasi Dompit, berhasil melengkapi berita, siapa dalang pembakar hutan.
“Respon publik positif. Beberapa lembaga kepentingan belum bersuara.” Dompit semangat.
“Bagus.” Jawab Sirlam juga semangat. “Tugas kita mengabarkan hakikat kebenaran untuk publik. Sobat, news bukan gado-gado.” Suara Sirlam menyatukan tugas mereka.
“Lanjut investigasi.” Dompit, menggaris bawahi.
“Oke. Tetap fokus.” Keduanya makin bersemangat. “Sore, jumpa di mejaku. Lanjut internal report.” Keduanya jabat tangan erat, memisahkan diri menuju tugas masing-masing.
Lembayung memerah pada senja. Mega-mega menghitam menebal bergulungan di dalamnya berkilatan badai dan suara gelegar. “Putar lagi data rekaman itu.” Suara Pemimpin Redaksi tegas, menyimak dengan seksama. “Sidang redaksi 20 menit lagi. Ungkap lebih melebar. Kirim beberapa reporter. Redaksional ke meja editor secepatnya.” Gelegar akan membahana.
Malam digulung waktu. Berita tak dapat ditolak. Siang semakin cerah. Genderang pertempuran telah dimulai. Peradaban tidak boleh gagap menghadapi kaum maling penghisap hak rakyat penyebar mental kebusukan tingkah polah koruptif. Bendera kebenaran wajib dikibarkan melawan kaum negatif. Fakta pada berita menuju publik pemilik negeri.
Berita para media menggelegar di angkasa. Kepanikan memicu para maling. Para jurnalis siap berhadapan demi kemanusiaan. Berita terus membumbung tinggi menjadi peradaban keadilan.
Koran harian, tempat Sirlam berjunalis siap menghadapi kemungkinan apapun. Publik melihat gelombang bergolak, kabut memberi tanda akan badai, dukungan pada koran Sirlam semakin kuat di antara batas cuaca dan gerimis. Seluruh media dan badan persatuan jurnalis berada di garda depan.
Hoho! Para dalang palsu sepihak dengan kaum negatif, bersiap membuka layar pengadeganan. Meski sutradara belum tampak menghadirkan wajahnya. Casting, siapa aktor laga dalam pertandingan di ring itu belum ditentukan. Tampaknya panggung masih harus diberi penerang. Sebelum gempa menyebar tsunami.
Kebenaran untuk publik harus terus dibangkitkan. Kisah tak boleh menjadi bharatayuda. Meski Rama dan Shinta, diselamatkan Anoman Obong. Para raksasa jungkir balik mati membakar diri. Para prajurit telah menyelesaikan tugasnya menuju labirin-labirin bersama lagenda heroiknya.
“Di sini. Di tanah ini aku dilahirkan. Di sana Bunda dan Ayah berbaring dipelukan cinta kasihNya.” Sirlam menutup tafakurnya. “Tuhan. Aku lahir dan aku ada.” Sirlam, terus menulis seperti tugasnya sebagai jurnalis.